Patung Gajah Mada di Pusat Informasi Majapahit Kecamatan Trowulan Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur/MI/HERRY SUSETYO
Patung Gajah Mada di Pusat Informasi Majapahit Kecamatan Trowulan Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur/MI/HERRY SUSETYO

FOKUS

Fenomena Baru Arkeologi Semu

Sobih AW Adnan • 21 Juni 2017 22:34
medcom.id, Jakarta: Geger Majapahit, bukan sebuah judul buku baru bertema sejarah. Tapi, istilah ini mungkin agak pas untuk menyebut sebabak kehebohan media sosial belakangan hari.
 
Bermula dari akun Facebook atas nama Arif Barata yang menelurkan kata kunci 'Gaj Ahmada'. Warganet, kemudian menyebar ulang tulisan singkat tentang 'fakta' nama asli Mahapatih Majapahit Gajah Mada.   Pemisahan baru dalam penyebutan Gaj Ahmada, dianggap menjadi bukti kuat bahwa sosok pemegang sumpah legendaris Palapa itu tak lain ialah seorang muslim.
 
Lebih lanjut, Arif mengarahkan opini bahwa Majapahit sejatinya berbentuk kesultanan Islam. Koin gobog bertuliskan lafaz 'La ilaha illallahu' yang kini tedapat di Museum Nasional, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, diduga sebagai penanda kuat, bahwa Majapahit telah menjadikan Islam sebagai agama resmi kerajaan.
 
Opini Arif, tidak sendirian dan tidak pula muncul serta merta. Di akhir tulisannya, ia mendaku mendapat data-data itu dari Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pengurus Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Yogyakarta.
 
Yang dimaksud Arif, tiada lain adalah dua buku berjudul Fakta yang Tersembunyi (2010) dan Fakta Mengejutkan Majapahit Kerajaan Islam (2014). Buku yang ditulis Herman Sinung Janutama itu memang pernah didiskusikan dan difasilitasi PDM Yogyakarta.
 
Pseudo-arkeologi
 
Arkeolog senior Universitas Gadjah Mada (UGM) Daud Aris Tanudirjo, mengaku tak begitu kaget dengan ingar bingar yang terjadi di jagat maya itu. Meskipun, ia bilang hal tersebut merupakan fenomena baru.
 
"Istilah di arkeologi, itu namanya pseudo-science atau pseudo-arkeologi," kata Daud kepada Metrotvnews.com, Rabu 21 Juni 2017.
 
Fenomena baru yang, kata Daud, tidak berdiri sendiri. Fenomena Gaj Ahmada, sama polanya dengan isu-isu lain yang turut heboh sebelumnya. Ambil misal, Borobudur peninggalan Nabi Sulaiman, gelombang asumsi bumi datar, atau keterkaitan situs Gunung Padang dengan Piramida di Mesir.
 
Akarnya, menurut Daud, suatu temuan ditafsirkan tanpa melalui metodologi yang kuat. Istilah guyonnya, bersifat cocokologi. Serta lemah dalam hal pertanggung-jawabannya.
 
Dalam pengetahuan arkeologi, dikenal perangkat keilmuan yang ketat. Terlebih dalam mengawal sebuah proses penelitian. "Contoh, sebuah benda atau manuskrip, diyakini para arkeolog dibuat dalam konteks tertentu. Jadi, tidak semua orang bisa menafsirkan itu. Ada kondisi sosial yang melingkupi," ujar Daud.
 
Mengamati teks saja, tidak cukup. Arkeolog mesti dibekali pemahaman konteks yang mendalam. 
 
"Koin bertulis Arab, konteksnya, Majapahit memang kosmopolitan. Orang datang dari mana-mana. Mereka, tak jarang membawa koin dan alat tukar tersendiri. Tak ada bukti kuat bahwa uang itu merupakan alat tukar resmi negara yang dikeluarkan Majapahit," kata Daud.
 
Dunia arkeologi menyebut, era Majapahit mengenal banyak alat tukar. Yang banyak beredar, koin gobog, kepeng dari Tiongkok, juga ada juga logam bertulis huruf Jawa.
 
"Negara (Majapahit) mengakomodasi berbagai kelompok dengan latar belakang yang berbeda. Sebagai sebuah pengakuan bahwa mereka merupakan bagian dari kerajaan," ujar Daud.
 
Kalah populer
 
Perkaranya, mengapa yang lebih masyhur justru hasil dari mereka yang menyeberang dari pakem arus utama. Menanggapi ini, Daud bilang, salah satu faktornya adalah penggunaan bahasa dan kemasan.
 
Para arkeolog, sedari mendiskusikan hingga mempublikasi hasil penelitian melulu dalam kerangka akademik. Pola-pola ini memang dianggap berat bagi orang-orang yang jarang bersentuhan dengan keilmuan itu.
 
"Medianya pun terbatas. Apalagi, syarat pemuatannya harus berupa jurnal. Artikel lempeng seperti itu siapa yang mau baca? Karena memang kepentingannya juga berbeda," kata Daud.
 
Media sosial, mendorong semuanya menjadi lebih. Kemasan bahasa yang ringan, dan alat publikasi yang bisa menjangkau lebih banyak orang membuat klaim kebenaran fakta ini kian liar.
 
"Banyak orang menafsirkan menurut kehendaknya masing-masing. Malah, terkadang tidak terkendali," kata dia.
 
Tulisan-tulisan serupa menjadi viral, kata Daud, sebenarnya bukan soal. Hanya saja, kekeliruan yang dibesar-besarkan, sekali waktu bisa dianggap menjadi sebuah kebenaran.
 
Jika sudah seperti itu, maka, sejarah akan mendapat pekerjaan rumah yang lebih berat lagi.
 
Ojo gumunan
 
Ada dua dugaan di balik tak sedikitnya netizen yang mendukung persebaran opini itu. Pertama, melemahnya nalar kritis masyarakat. Kedua, ada yang memang sengaja mengendalikan sudut pandang sejarah yang bias demi kepentingan kelompok tertentu.
 
Ihwal nalar kritis, Daud menjelaskan bahwa dalam dunia arkeologi hal ini amat menjadi patokan. Ada istilah atau tahapan yang disebut kritik sumber. Artinya, ketika seseorang menemukan sebuah data, maka para arkeolog tak jarang menghabiskan waktu untuk tuntas terlebih dahulu pada tahapan tersebut.
 
"Dalam menemukan fakta sejarah Majapahit, sejarawan menggunakan sumber utama Pararaton dan Nagarakretagama. Kedua kitab itu ditimbang-timbang lama dari segi corak atau motif penulisannya," ujar Daud.
 
Kritik sumber inilah, dikatakan Daud, sebagai pintu utama dalam penelitian yang dilakukan para arkeolog sehingga fakta-fakta yang dikemukakan bisa menjadi kuat.
 
"Tak kalah penting, metodologi yang dipakai. Maka, sumberdaya manusia atau latar belakang pendidikan dan pengalaman peneliti juga penting menjadi pertimbangan," kata Daud.
 
Masyarakat, dalam hal ini bisa ambil gampang. Tak semua orang harus paham tentang metodologi penelitian dalam dunia arkeologi dan sejarah. Hanya saja, publik harus tetap memanfaatkan kewenangannya untuk berpikir kritis dan menanyakan ulang setiap sajian data yang dianggap meragukan.
 
"Istilah jawanya, ojo gumunan. Jangan kagetan. Tangkap informasi seluas-luasnya, lalu timbang sekritis-kritisnya," kata dia.
 
Lantaran bukan tak berdampak, kata Daud. Sikap apatis dan menelan informasi bulat-bulat bisa menghasilkan sesuatu yang kurang baik bagi kehidupan sosial masa selanjutnya. Sejarah yang bersifat konstruktif, akan sangat mudah digunakan sebagai alat pandangan dan pedoman hidup masyarakat.
 
"Ciri khas dari pseudo-arkeologi adalah ada ideologi yang menggerakkan. Ini poin keduanya," kata dia.
 
Daud menyebut, fenomena Gaj Ahmada maupun opini-opini sejarah yang condong pada sensitifitas agama merupakan bagian dari politik identitas yang menguntungkan satu pihak. "Ini, tak jauh dari pengaruh proses politik yang terjadi," kata Daud.
 
Sejarah tak pernah final
 
Sejarawan Universitas Indonesia (UI) Anhar Gonggong berpendapat, kritik yang dilakukan para peneliti terhadap adanya fenomena 'arkeologi semu' itu bukan sembarang. Bukan pula bermaksud memonopoli sebuah ilmu pengetahuan kepada satu-dua kelompok yang mengaku lebih andal.
 
"Sejarah tak pernah final. Semua orang berhak meneliti dan membincang fakta sejarah yang sudah terbentuk. Hanya saja, bukti dan metodologi yang dipakai tetap menjadi acuan utama," kata Anhar saat dihubungi Metrotvnews.com, Selasa, 20 Juni 2017.
 
Perangkat lengkap dibutuhkan dalam proses penggalian fakta sejarah. Jika ini diabaikan, Anhar menyebut cerita yang dihasilkan bisa-bisa sekadar dongeng yang bersumber dari imajinasi.
 
"Orang bisa mengklaim menggunakan metodologi berbeda, baru, atau apapun. Tapi selama perangkat itu tidak memenuhi standar penelitian, hasilnya boleh disangsikan," kata Anhar.
 
Dalam sebuah video pendek yang diunggah di media sosial Youtube, penulis dua buku yang menjadi rujukan opini viral itu menjelaskan tahap pertahap bagaimana penelitian tentang Gaj Ahmada dilakukan.
 
Herman, memang mengaku menggunakan metodologi yang berbeda dari keumuman yang dipakai arkeolog di Indonesia.
 
"Baik berupa artefak, manuskrip, cerita tutur, silsilah, cerita berbasis mitologi, kami jadikan semua sebagai sumber primer," kata Herman dalam video berjudul Metodologi Penulisan Sejarah Gajah (ah) mada itu.
 
Membaca sumber internal seperti ini, kata Herman, maka harus menggunakan metodologi yang dikenal dalam tradisi Jawa, tradisi nenek moyang. Tidak bisa sekadar menganut pada metodologi penelitian dunia yang bersumber dari Barat.
 
"Inilah epistemologi versi kita. Kita terima semua sumber data, kemudian baru dilanjutkan ke tahap penelitian," ucap dia.

Di beberapa potongan gambar lain, Herman, memang sudah lama gencar melakukan penelitian dengan metode yang diyakininya lebih memadai itu. Dia, semacam sedang melakukan perlawanan terhadap kiblat dan pakem penelitian yang tidak berasal dari nenek moyang sendiri.
 
Bagaimana tidak? Menurut Herman, orang-orang yang merumuskan metodologi itu belum tentu paham teradap obyek penelitian yang tengah ia hadapi.
 
"Misalnya keris. Apakah orang Barat paham keris? Keris itu artefak. Keris adalah indeksikal menunjuk fakta sejarah," kata Herman dalam Ilmuwan Sejarah Nusantara tak paham keris?
 
Hal itu, kata Herman, yang membuat ia secara terus terang ragu dengan fakta-fakta sejarah yang dihasilkan para filolog dunia. Sekelas, De Graff atau Peter L Carey sekali pun, kata Herman, amat diragukan.
 
"Pertanyaannya sekarang, mana mungkin saya membicarakan hal-hal begini di level viral? Nggak mungkin. Karena kita berbicara kerapian metodologi. Kerapian metodologi ini membuat kita harus mengetahui materi penelitian kita, subjek materialnya, karena itu yang akan menghasilkan data, itulah yang akan menyentuh data. Maka, saya menyiapkan mesin metodologinya. Saya bilang, selamat datang data-data. Data-data akan datang sendiri. Ini bukan mitologi, tapi, spirit ilmiah," jelas Herman.
 
Islam dan Majapahit
 
Hubungan Islam dan Majapahit, atau sebaliknya, memang tidak dipungkiri oleh fakta arkeologi yang menjadi acuan hari ini. Meski, hal itu tidak lantas membenarkan bahwa Islam kemudian menjadi agama resmi kerajaan.
 
Pada abad ke-14, Majapahit mencapai puncak kekuasaannya. Ketika itu, pedagang-pedagang muslim telah membentuk hubungan perdagangan dengan kerjaaan besar tersebut. Hal itu dibuktikan oleh temuan batu nisan di situs-situs Troloyo dekat Trowulan, ibu kota Majapahit.
 
Dalam Sejarah Indonesia Modern 1200–2008 (2008), Merle Calvin Ricklefs menulis, batu-batu tersebut, memang mengesankan bahwa beberapa elite Majapahit yang merupakan kerajaan Hindu-Budha telah memeluk agama Islam. Apalagi, nisan-nisan itu merupakan bukti pertama tentang orang-orang Jawa yang beragama Islam. 
 
"Tidak dapat dikatakan secara pasti bahwa orang-orang yang dikubur  itu adalah orang-orang Jawa yang pertama-tama memeluk Islam," tulis Rickelfs.
 
Slamet Muljana, dalam Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara (2008) menuliskan, turunnya pamor Majapahit, selain karena konflik politik internal, ada pula tekanan dari luar. Terutama, adanya serangan dari Kerajaan Islam Demak.
 
"Serbuan tentara Islam Demak yang terdiri dari orang-orang Tionghoa dan Jawa yang telah masuk Islam sebagai pengikut Jinbun dan Bong Swi Hoo, terjadi pada 1478," tulis Slamet.
 
Logika takluknya Majapahit terhadap kekuatan Islam, rupanya belum banyak disentuh para pendukung opini. Fakta hancurnya 'Negara Islam' yang diperangi oleh kerajaan yang juga Islam ini lah yang makin menyebabkan temuan-temuan 'arkeologi' baru itu masih dianggap; semu.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SBH)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan