Presiden Jokowi memakai baju adat Bugis dalam Sidang Tahunan MPR (16/8/2017)/ANTARA/Akbar Nugroho Gumay/M Agung Rajasa
Presiden Jokowi memakai baju adat Bugis dalam Sidang Tahunan MPR (16/8/2017)/ANTARA/Akbar Nugroho Gumay/M Agung Rajasa

FOKUS

Nasionalisme dalam Sepotong Kain

Sobih AW Adnan • 16 Agustus 2017 23:31
medcom.id, Jakarta: Dipintal dari kokon, sebutan ulat sutra di Sulawesi Selatan, kain Bugis menjadi idaman banyak orang sejak berabad-abad silam.
 
Polanya, kebanyakan kotak-kotak. Motif berukuran kecil berwarna cerah, disebut Balo Renni, khusus dikenakan para lajang. Sementara kotak-kotak besar dengan warna merah lebih terang dan agak keemasan, dinamakan Balo Lobang. Corak ini, lebih lazim dipakai orang dewasa yang telah memiliki pasangan.
 
Sejarawan asal Selandia Baru Anthony Reid, dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 1: Tanah di Bawah Angin (1993) menyebut, model kotak-kotak tak sembarang muncul dalam tradisi produksi kain abad 17. Bisa jadi, Bugis menjadi satu-satunya penggebrak pasar melalui produk dengan corak yang langka itu.

"Pakaian mereka mencapai satu reputasi istimewa akan tenunannya yang halus dan kuat serta warna-warnanya yang cerah," tulis Reid.
 
Penampilan Presiden Joko widodo dalam Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI, hari ini, sedikit banyak menggugah ingatan tentang kegemilangan Bugis di masa lampau. Selebihnya, ada banyak yang bisa diserap. Mulai dari pesan keberagaman, nasionalisme, hingga amanat persatuan.
 
Bukan sembarang nasionalisme
 
Yang serupa peci dikenakan Presiden Jokowi, dinamakan recca'. Ada pula yang menyebutnya, passapu. Sedangkan kain yang melingkar mirip sarung itu, disebut lipa garusuk. 
 
Maka, Bugis benar, ketika melihat Presiden pun melengkapi dirinya dengan Bella Dada, istilah untuk jas hitam lengan panjang yang begitu elegan berhias rantai emas, pengait kancing dan kantung saku di sebelah kiri.
 
Presiden Jokowi, memang layak menjadi sorotan. Apalagi, belum pernah ada dalam riwayat, sidang tahunan yang formal itu dihadiri kepala negara dengan berpakaian adat. Dan makna yang ingin disampaikan itu cukup terang ketika Jokowi bilang, bangsa Indonesia tiada lain, adalah bangsa yang besar.
 
"Bangsa kita bangsa besar, bangsa petarung," katanya saat menyampaikan pidato kenegaraan di Gedung MPR, Jakarta, Rabu, 16 Agustus 2017.
 
Dari segi sejarah kepemimpinan Indonesia, kata kunci 'Bangsa besar', 'pertarungan', dan 'persatuan' ini sering pula dijadikan andalan Presiden Soekarno saat menyampaikan pidato-pidato kenegaraan. 
 
"Kita bangsa besar, kita bukan bangsa tempe. Kita tidak akan mengemis, kita tidak akan minta-minta apalagi jika bantuan-bantuan itu diembel-embeli dengan syarat ini syarat itu! Lebih baik makan gaplek tetapi merdeka, dari pada makan bestik tetapi budak," seru Soekarno dalam pidato hari ulang tahun (HUT) Kemerdekaan Indonesia pada 1963.
 
Kuncinya, persatuan dalam keberagaman. Soekarno memasukkan semangat itu dalam prinsip nasionalisme. 
 
Peter Kasenda, dalam Bung Karno Panglima Revolusi (2014) mengatakan, semangat yang ditawarkan Soekarno itu bukanlah nasionalisme dalam arti sempit. Nasionalisme ala-Bung Besar dibarengi dengan saran pentingnya menghormati bangsa-bangsa lain. 
 
"Soekarno menawarkan alternatif yang mampu menampung aspirasi masyarakat Indonesia yang majemuk," tulis Peter.
 
Serupa Soekarno di masanya, rupanya, Jokowi tengah merasa penting untuk mengulang pemahaman nasionalisme yang kian menghadapi tantangan.
 
Baca: [Fokus] Siapa Indonesia?
 
Bukan melulu mayoritas
 
Presiden Jokowi, sadar betul bahwa nasionalisme hari ini sejurus dengan nasib demokrasi. Keduanya, sama-sama dipahami tak sedikit orang hanya berpatokan pada makna 'kebanyakan'.
 
Nasionalisme dan demokrasi cuma diukur dari dalih kebutuhan mayoritas. Padahal, kedua nilai hasil pemufakatan para pendiri bangsa itu lebih pas difungsikan sebagai alternatif untuk memenuhi kepentingan dan cita-cita bersama sebagai negara bangsa.
 
Termasuk, ihwal kemerdekaan Indonesia. Anugerah itu diraih secara berdarah-darah oleh para pejuang yang tak lain terdiri dari suku, ras, agama, dan golongan yang tidak tunggal.
 
"Pakaian (adat) itu untuk mengingatkan perjuangan pahlawan di masa lalu. Kita yang bersuku-suku, jika bersatu, akan menjadi kekuatan," kata Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
 
Pesan lain yang sedang ditampilkan Presiden Jokowi bisa tampak dari kesepakatannya saling bertukar pakaian adat dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK). 
 
Nasionalisme dalam Sepotong Kain
Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mengenakan pakaian adat Jawa/ANTARA/Nugroho Gumay/M Agung Rajasa
 
JK yang asli keturunan Bugis, malah mengenakan baju Beskap Jawa. Pakaian adat yang sebenarnya lebih pas dipakai Jokowi.
 
"Kita sekarang sudah mencair. Tidak harus orang Jawa pakai baju Jawa. (Tidak harus) orang Makassar pakai baju Makassar. Semua sebagai bangsa Indonesia," ujar Teten.
 
Alhasil, pentas baju adat dalam acara kenegaraan hari ini bukan sembarang. Di dalamnya, terselip pesan nasionalisme, kebinekaan, dan persatuan.
 


 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SBH)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan