Gunung Sinabung menyemburkan material vulkanik ketika erupsi, di Karo, Sumatera Utara. (ditandai dengan erupsi dan luncuran awan panas yang terjadi menyebabkan sejumlah desa tertutup debu vulkanik. ANTARA FOTO/Maz Yons)
Gunung Sinabung menyemburkan material vulkanik ketika erupsi, di Karo, Sumatera Utara. (ditandai dengan erupsi dan luncuran awan panas yang terjadi menyebabkan sejumlah desa tertutup debu vulkanik. ANTARA FOTO/Maz Yons)

Potensi Bencana dan Kemakmuran Indonesia di Jalur Cincin Api

Sobih AW Adnan • 25 Mei 2016 21:33
medcom.id, Jakarta: Gugusan pulau yang jumlahnya ribuan, baik besar maupun kecil, membentuk negara kepulauan Indonesia. Sebanyak 13.487 pulau membentang dari ujung timur ke ujung barat di wilayah kedaulatan Indonesia.
 
Namun, dibalik itu semua, Indonesia termasuk negara yang rawan bencana. Karena posisinya berada di jalur cincin api yang mengelilingi cekungan Samudera Pasifik. Kawasan di jalur ini akrab dengan peristiwa letusan gunung berapi, gempa bumi, hingga tsunami.
 
Cincin api Pasifik ditandai dengan banyaknya gunung berapi yang mengelilingi cekungan Samudra Pasifik. Untuk Indonesia, terdapat tiga lempeng benua yang kerap bertumbuk dan mengakibatkan gempa, tsunami,  juga letusan gunung berapi. Antara lain lempengan Indo-Australia di  sebelah selatan, lempengan Eurasia di utara, juga lempengan Pasifik di bagian timur.

Apalagi, Indonesia memiliki 127 gunung berapi aktif. Pun saat ini, setidaknya 20 gunung berapi menyandang status di atas normal. Satu gunung berstatus “awas”, dua “siaga”, serta 17 lainnya “waspada”.
 
Peristiwa terbaru yang terjadi di gunung berapi Indonesia adalah musibah erupsi Gunung Sinabung di Kabupaten Karo, Sumatera Utara pada Sabtu (21/5/2016) lalu. Dalam musibah ini, sebanyak tujuh orang dikabarkan tewas akibat awan panas serta dua orang lainnya kritis dan perlu mendapatkan perawatan di rumah sakit.
 

 
Baca: Terinfeksi, Satu Korban Gunung Sinabung Terpaksa Diamputasi
 
Bukan kali ini saja Gunung Sinabung memuntahkan awan panas dan debu vulkanik dari dalam perutnya. Hampir di sepanjang tahun sejak 2010, gunung dengan tinggi 2.451 meter ini juga mengalami erupsi. Semburan lahar panas hampir secara berurutan terjadi pada 2010, 2013, 2014, dan 21 Mei 2016 kemarin.
 
Meskipun terkesan rutin, letusan Sinabung tak dapat menghindarkan munculnya korban baru. Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho menyebut keseluruhan korban pada erupsi Sinabung terakhir merupakan warga Desa Gamber Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo, yang tak lain merupakan desa yang sudah dikategorikan ke dalam zona merah sejak 31 Oktober 2014 lalu.
 
“Faktor utamanya adalah ekonomi. Mereka biasanya ingin tetap berkebun, karena kebunnya masih bisa ditanami. Meskipun mereka hanya ke kebun pada waktu siang hari sementara malamnya kembali ke pengungsian tapi tetap saja wilayah itu masuk zona merah, wilayah berbahaya,” kata Sutopo Kepada metrotvnews.com, Rabu (25/5/2016).
 
Paparan awan panas dan debu vulkanis terus meluas. Sutopo bahkan pesimistis entah sampai kapan Sinabung bisa kembali ke status normal. Sebelumnya, paparan debu hanya mengena di  tiga desa, yakni Bakerah, Simacem, dan Sukameriah. Tiga desa dengan 370 kepala keluarga (KK) itu terpaksa direlokasi.
 
Tetapi, Sinabung kemudian meletus lagi. Sehingga akhirnya wilayah yang terdampak letusan bertambah empat desa lagi,  yaitu Guru Kinayan, Berasitepu, Gamber, dan Desa Kota Tunggal. "Di dalamnya ada 1.683 KK di luar yang sudah diungsikan tadi,” kata Sutopo.
 
Selama masa penanggulangan bencana erupsi Sinabung, Sutopo mengklaim kendala terberat adalah tidak tersedianya lahan yang dapat dijadikan sebagai tempat relokasi. Memanfaatkan lahan pertanian warga, kata Sutopo, bukan pilihan. Untuk sementara, BNPB hanya bisa memanfaatkan kawasan hutan lindung, seperti di Desa Siosar.
 
“Tapi memanfaatkan hutan lindung terus tidak mungkin, karena izinnya pun harus dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan,” kata Sutopo.
 
Kendala yang ditemui berikutnya adalah kekurang tanggapan pemerintah daerah terkait terhadap peristiwa bencana yang terjadi. Sutopo menilai, baik Pemerintah Kabupaten Karo maupun pihak Pemerintah Provinsi Sumatra Utara belum dapat melakukan komunikasi dengan baik.
 
Sutopo berharap, erupsi Sinabung bisa menjadi perhatian bersama untuk bisa meningkatkan komunikasi dan kepedulian. Di luar itu, kata Sutopo, semangat tanggap bencana warga pun mesti kembali ditingkatkan.
 
“Kami akan terus menginformasikan wilayah-wilayah yang tidak boleh lagi dilintasi warga, semoga kita bisa sama-sama waspada,” kata Sutopo.
 
 Menengok ke Merapi
 
Selain Sinabung, Yogyakarta dan sekitarnya juga memiliki ragam cerita ihwal erupsi. Gunung berapi dengan titik puncak di ketinggian 2.930 m dpl ini mengalami erupsi hebat pada 2006 dan 2010.
 
Soal partisipasi warga, Yogyakarta dinilai mampu menjadikan erupsi Merapi sebagai momen untuk menggalang kekuatan dalam menghadapi bencana. Bermula pada 2006, warga setempat saling melakukan penyebaran informasi secara cepat guna membantu relokasi warga dan mencegah bertambahnya korban yang terpapar awan panas melalui gerakan Jalin Merapi alias Jaringan Informasi Lingkar Merapi.
 
Jalin Merapi memanfaatkan ragam media seadanya. Mulai dari radio komunitas, media sosial semacam Facebook dan Twiiter, pengeras suara, radio panggil (handy talky/HT), maupun melalui tulisan di blog.
 
Koordinator Jalin Merapi, Sukiman, mengatakan secara garis besar gagasan warga itu muncul karena beranggapan informasi bisa menentukan keselamatan seseorang pada saat-saat yang mendesak. Informasi yang dimaksud juga akan semakin mengena jika dikelola oleh warga setempat untuk membantu penyebaran informasi secara lebih luas.
 
“Warga lokal itu biasanya lebih paham. Karena ada istilah-istilah yang memang hanya bisa dipahami oleh mereka. Misal, penulisan atau penyebutan nama desa saja. Belum lagi yang lain-lain,” kata Sukiman kepada metrotvnews.com, Rabu (25/5/2016).
 
Melalui gerakan Jalin Merapi, ada banyak hal penting yang bisa diinformasikan warga. Biasanya, mereka yang berada di posisi terdekat akan mengabarkan tentang kondisi dan pergerakan awan panas. Informasi itu lantas diteruskan secara berantai ke warga-warga yang bermukim di desa terancam.
 
“Meskipun saat 2006 kendala cukup berat. Karena banyak warga lain yang belum familiar dengan gerakan ini. Tapi pada erupsi 2010 lalu, relawan bertambah, dan persebaran informasi semakin baik. Kini Jalin Merapi sudah terkoneksi sebanyak 3000 relawan,” kata dia.
 
Partisipasi publik yang berbentuk gerakan tanggap bencana ini penting dilakukan bukan sekadar pada tujuan mengurangi korban jiwa. Menurut Sukiman, Jalin Merapi juga mampu menginisiasi warga untuk melakukan transparansi dan pemerataan distribusi bantuan bencana.
 
“Contoh, terutama pada 2010 lalu, dengan menggunakan hashtag #TerimaKasih sesorang akan bisa membaca bantuan itu dari siapa dan sudah ada di mana?. Keuntungannya, tentu transparansi bantuan. Yang berikutnya adalah agar bantuan tidak menumpuk di titik-titik tertentu saja,” ujar Sukiman.
 
Akibat kegigihan dan keberhasilan Jalin Merapi dalam membangun semangat warga dalam menerapkan tanggap bencana melalui penyebaran informasi, pada 15-19 Juli 2013 lalu, Sukiman diundang Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mempresentasikan tema komunikasi warga dalam bencana pada forum The annual UN Economic and Social Council (ECOSOC) Humanitarian Affairs Segment (HAS) di Genewa.
 
“Kelanjutan dari itu, Jepang juga mengundang tahun lalu memberi kesempatan saya berbagi gagasan di JICA Kansai. Pembicaraannya ya seputar gagasan untuk menggerakkan semangat warga dalam memanfaatkan alat komunikasi tanggap bencana,” kata dia.
 
Apa yang dicapai Jalin Merapi tentu tidak hanya diambil manfaat untuk negeri lain nun jauh di sana. Di negeri sendiri, Jalin Merapi kerap dijadikan rujukan partisipasi warga untuk melakukan tanggap bencana, terutama saat erupsi gunung berapi.
 
“Tahun 2013 lalu kami juga berbagi banyak di Sinabung. Kami menyarankan teman-teman di sana agar lebih tanggap lagi dalam melakukan persebaran informasi, minimal dengan memanfaatkan media sosial,” ujar Sukiman.
 
Tidak melulu merugikan
 
Keberadaan gunung api di Indonesia tidak hanya berhubungan dengan bencana. Di sisi lain, keberadaan paku bumi itu banyak mendatangkan manfaat bagi warga yang tinggal di sekitarnya.
 
Ahli vulkanologi Surono menyatakan gunung berapi terlanjur dipersepsikan buruk lantaran letusannya menjadi bencana yang kerap menimbulkan korban jiwa. Padahal, jika pemerintah bisa lebih peduli dengan masyarakat melalui edukasi terkait deteksi dini bencana erupsi, tentu bisa mencegah korban bencana dalam jumlah besar.
 
Selain itu, pemerintah dipandang belum serius memanfaatkan potensi gunung berapi. Dengan ratusan gunung berapi yang tersebar di seluruh Nusantara ini, mestinya bisa dijadikan sumber kemakmuran. Bukannya sekadar dipandang sebagai sumber bencana.
 
Menurut Surono, keberadaan gunung api membawa manfaat baik sebelum maupun sesudah terjadi erupsi. Keindahan alam dan banyaknya cadangan air di kaki gunung api menjadi potensi wisata tersendiri.
 
“Daerah Puncak (Jawa Barat) itu tidak ada artinya kalau tidak ada Gunung Gede,” kata Surono kepada metrotvnews.com, Rabu (25/5/2016).
 
Manfaat berikutnya, justru muncul akibat erupsi. Tanah yang telah dilintasi lava dan lahar gunung akan menjadi tambah subur. Ini tentu berdampak pada kualitas produk pertanian.
 
“Dengan lahannya menjadi lebih subur, itu bisa menghasilkan produk unggulan pertanian. Karena abu vulkanik dari yang halus sampai pasir ini membuatnya menjadi subur. Kandungan dan komposisi yang dibutuhkan tanaman hampir semua ada di dalamnya,” kata Surono.
 
Kenyataan ini yang menurut Surono belum menjadi perhatian serius pemerintah.  Belum pernah gunung api menjadi ikon kehidupan masyarakat modern. Gunung berapi selalu dilekatkan dengan citra masyarakat kuno dan terbelakang. Padahal, dulu gunung api ditempatkan sebagai ikon yang dihormati masyarakat.
 
Sebagai negara dengan gunung api terbanyak di dunia, menurut Surono, Indonesia berpeluang terus meningkatkan kemakmurannya dengan menghadirkan produk pertanian bermutu tinggi.
 
“Meskipun ekosistem banyak yang rusak saat erupsi, tapi hutan baru akan cepat muncul menggantikannya. Selain itu, banyak manfaat lain seperti munculnya geyser (sumber air panas) dan juga tambang pasir,” kata Surono.
 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ADM)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan