Jakarta: Banyak kejanggalan ditemukan dalam kasus pencabulan anak yang menimpa seorang anak di Jakarta Selatan (Jaksel). Kasus ini terungkap setelah korban mengadu ke orang tuanya lantaran merasakan sakit di bagian kemaluan.
Peristiwa itu terjadi pada 17 Desember 2018. Ketika itu korban diajak oleh pelaku ke suatu tempat, kemudian korban dilecehkan secara seksual. Mirisnya, pelaku adalah mandor di tempat ayah korban bekerja. Alhasil, kedua orang tua korban melaporkan kejadian tersebut ke Polres Metro Jakarta Barat pada 21 Desember 2018.
Namun, pihak keluarga menemukan kejanggalan saat polisi memproses kasus tersebut. Pengacara korban, Ratunissa, mengatakan polisi tidak langsung menangkap pelaku, padahal bukti-bukti yang diserahkan korban sudah lengkap.
"Akhirnya ditangkap, itu pun karena keluarga korban mendesak. Khawatir pelaku melarikan diri karena bukti permulaan sudah cukup," kata Ratunissa di kawasan Blok M, Jakarta, pekan lalu.
Dalam proses penyelidikan dan penyidikan, polisi juga dianggap tidak transparan. Menurut Ratunissa, keluarga korban tidak pernah dipanggil sebagai saksi atas kasus tersebut.
"Setelah itu prosesnya panjang lagi, bahkan sampai 60 hari. Padahal bukti sudah cukup. Pelimpahan berkas sangat lama," ucap Ratunissa.
Selain itu, kejanggalan juga ditemukan saat berkas sudah di kejaksaan. Ratunissa mengaku keluarga korban tidak diberitahu oleh kejaksaan bahwa berkas atas perkara tersebut telah lengkap.
Fakta itu baru diketahui ketika Ratunissa berinisiatif mendatangi Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan pada April 2019 lalu. Bahkan saat menanyakan langsung ke jaksa, perkara itu malah sudah masuk persidangan.
"Katanya sidang sudah jalan. Keluarga korban enggak tahu kalau proses dakwaan sudah dilewati. Proses eksepsi sudah dilewati. Keluarga juga enggak terima surat dakwaan," kata Ratunissa.
Hingga kini, keluarga juga tidak dikabarkan oleh jaksa perihal jadwal sidang perkara tersebut. Padahal, pada Senin 27 Mei 2019, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kembali menggelar sidang.
"Jadwal sidang diubah jadi Senin tanpa ada konfirmasi baik terhadap keluarga korban apalagi pendamping hukum. Jadi, kita enggak tahu agenda sidang apa dan kapan," kata dia.
Pembengkakan rahim
Keluarga korban juga sudah melapor ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) atas peristiwa ini. LPSK merekomendasikan pemeriksaan medis terhadap AS.
Dari hasil pemeriksaan medis, korban diketahui mengalami luka sobek di bagian kelamin. Bahkan, terjadi pembengkakan pada rahim.
"Itu yang menyebabkan sering kali korban merasakan demam, sehingga diarahkan untuk diperiksa oleh dokter kandungan. Risiko terburuk apabila terus mengalami pembengkakan adalah pengangkatan rahim," ucap Ratunissa.
Untuk hasil pemeriksan psikologis, keluarga korban masih menunggu hasilnya. Namun, dari keterangan sementara, korban mengalami ketakutan karena pernah diancam dibunuh oleh pelaku
"Sehingga korban berkeberatan bercerita tentang peristiwa yang dialami. Korban kerap bereaksi memegang tangan psikolog. Memeluk, berteriak, dan merengek agar tidak bertanya soal itu. Korban juga selalu menghindar saat diberi pertanyaan seputar kejadian yang menimpa dirinya dengan cara meminta makan, memutari kursi, dan meminta keluar dari ruangan," kata Ratunissa.
Jakarta: Banyak kejanggalan ditemukan dalam kasus pencabulan anak yang menimpa seorang anak di Jakarta Selatan (Jaksel). Kasus ini terungkap setelah korban mengadu ke orang tuanya lantaran merasakan sakit di bagian kemaluan.
Peristiwa itu terjadi pada 17 Desember 2018. Ketika itu korban diajak oleh pelaku ke suatu tempat, kemudian korban dilecehkan secara seksual. Mirisnya, pelaku adalah mandor di tempat ayah korban bekerja. Alhasil, kedua orang tua korban melaporkan kejadian tersebut ke Polres Metro Jakarta Barat pada 21 Desember 2018.
Namun, pihak keluarga menemukan kejanggalan saat polisi memproses kasus tersebut. Pengacara korban, Ratunissa, mengatakan polisi tidak langsung menangkap pelaku, padahal bukti-bukti yang diserahkan korban sudah lengkap.
"Akhirnya ditangkap, itu pun karena keluarga korban mendesak. Khawatir pelaku melarikan diri karena bukti permulaan sudah cukup," kata Ratunissa di kawasan Blok M, Jakarta, pekan lalu.
Dalam proses penyelidikan dan penyidikan, polisi juga dianggap tidak transparan. Menurut Ratunissa, keluarga korban tidak pernah dipanggil sebagai saksi atas kasus tersebut.
"Setelah itu prosesnya panjang lagi, bahkan sampai 60 hari. Padahal bukti sudah cukup. Pelimpahan berkas sangat lama," ucap Ratunissa.
Selain itu, kejanggalan juga ditemukan saat berkas sudah di kejaksaan. Ratunissa mengaku keluarga korban tidak diberitahu oleh kejaksaan bahwa berkas atas perkara tersebut telah lengkap.
Fakta itu baru diketahui ketika Ratunissa berinisiatif mendatangi Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan pada April 2019 lalu. Bahkan saat menanyakan langsung ke jaksa, perkara itu malah sudah masuk persidangan.
"Katanya sidang sudah jalan. Keluarga korban enggak tahu kalau proses dakwaan sudah dilewati. Proses eksepsi sudah dilewati. Keluarga juga enggak terima surat dakwaan," kata Ratunissa.
Hingga kini, keluarga juga tidak dikabarkan oleh jaksa perihal jadwal sidang perkara tersebut. Padahal, pada Senin 27 Mei 2019, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kembali menggelar sidang.
"Jadwal sidang diubah jadi Senin tanpa ada konfirmasi baik terhadap keluarga korban apalagi pendamping hukum. Jadi, kita enggak tahu agenda sidang apa dan kapan," kata dia.
Pembengkakan rahim
Keluarga korban juga sudah melapor ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) atas peristiwa ini. LPSK merekomendasikan pemeriksaan medis terhadap AS.
Dari hasil pemeriksaan medis, korban diketahui mengalami luka sobek di bagian kelamin. Bahkan, terjadi pembengkakan pada rahim.
"Itu yang menyebabkan sering kali korban merasakan demam, sehingga diarahkan untuk diperiksa oleh dokter kandungan. Risiko terburuk apabila terus mengalami pembengkakan adalah pengangkatan rahim," ucap Ratunissa.
Untuk hasil pemeriksan psikologis, keluarga korban masih menunggu hasilnya. Namun, dari keterangan sementara, korban mengalami ketakutan karena pernah diancam dibunuh oleh pelaku
"Sehingga korban berkeberatan bercerita tentang peristiwa yang dialami. Korban kerap bereaksi memegang tangan psikolog. Memeluk, berteriak, dan merengek agar tidak bertanya soal itu. Korban juga selalu menghindar saat diberi pertanyaan seputar kejadian yang menimpa dirinya dengan cara meminta makan, memutari kursi, dan meminta keluar dari ruangan," kata Ratunissa.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(UWA)