medcom.id, Jakarta: Pengamatan perubahan perilaku satwa, khususnya mamalia laut, Lumba-lumba terhadap fenomena gerhana matahari total di Indonesia baru sekali dilakukan. Namun, pengamatan belum maksimal karena hanya dilakukan di Ocean Dream Samudra, Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta Utara saat GMT berlangsung, Rabu 9 Maret.
Menurut Peneliti Biodiversitas dan Konservasi Sumber Daya Laut Pusat Penelitian Oseanografi LIPI Hagi Yulia Sugeha, pengamatan seharusnya dilakukan di laut lepas dan menggunakan kapal. Butuh waktu cukup lama pula untuk mengamati perubahan perilaku hewan pada fenomena GMT. Pengamatan memakan biaya besar.
"Paling (yang melakukan pengamatan di laut lepas) hanya di Amerika maupun Eropa, tapi di Indonesia, bahkan Asean belum pernah ada," kata Yuli di kawasan Ancol, Jakarta Utara, Rabu (913/2016).
Yuli mengakui, pengamatan yang dilakukan di Ancol saat GMT terhadap lumba-lumba sebetulnya secara ilmiah tidak memenuhi standar. Dalam sebuah pengamatan, tidak boleh terdapat banyak kerumunan orang.
"Idealnya pengamatan itu tidak boleh banyak orang, tapi karena ada unsur edukasi, ini lebih dari cukup," kata dia.
Yuli mengaku telah mendapatkan hasil pengamatan meski sebetulnya tingkah laku lumba-lumba tersebut tidak natural.
"Bisa dilihat bahwa walaupun pada kondisi yang diatur treatment-nya, masih terlihat karakter alamiah hewan yang pada dasarnya melindungi diri," ujar Yuli.
Yuli menjelaskan, belum banyak fenomena yang menjelaskan perubahan perilaku hewan terkait GMT. Yang pasti, lumba-lumba tersebut tidak hanya merespons ketika sinar matahari terhalang bulan, namun juga merespons adanya aktivitas gravitasi matahari maupun bulan ke bumi.
"Saya kira itu jadi trigger, memengaruhi hewan, ada sesuatu yang terjadi. Ada perubahan hormon, sehingga memicu stres. Tapi itu saya rasa normal," ungkapnya.
Hasil pengamatan kali ini, lanjutnya, bisa dijadikan referensi untuk LIPI terkait perubahan perilaku lumba-lumba terhadap GMT. Yuli juga menyebut, hasil pengamatan bakal dipublikasikan di sebuah jurnal riset Indonesia.
Namun, ia juga berharap, ke depan Indonesia bisa melakukan pengamatan di laut lepas.
"Di alam itu pasti beda. Karena sekarang sudah dapat yang di sini. Kalau di sini kan dia sembunyi. Kalau di alam seberapa jauh sih? Apa dia bergerombol terus? Kita akan bandingkan. Saya kira akan berbeda," jelas dia.
Sementara itu, dokter hewan yang menangani lumba-lumba di Ancol Yus Angoro Saputra menyebut, sebelum GMT pihaknya tidak melakukan persiapan khusus. Pasalnya, ia juga ingin mengetahui lebih jauh respons lumba-lumba terhadap GMT.
"Tidak ada persiapan khusus. Kita ingin tahu juga, maka kita kerja sama dengan LIPI, kita adakan acara pengamatan, walaupun sederhana. Paling tdk kita akan tahu adanya perubahan walau tidak signifikan," ucapnya.
medcom.id, Jakarta: Pengamatan perubahan perilaku satwa, khususnya mamalia laut, Lumba-lumba terhadap fenomena gerhana matahari total di Indonesia baru sekali dilakukan. Namun, pengamatan belum maksimal karena hanya dilakukan di Ocean Dream Samudra, Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta Utara saat GMT berlangsung, Rabu 9 Maret.
Menurut Peneliti Biodiversitas dan Konservasi Sumber Daya Laut Pusat Penelitian Oseanografi LIPI Hagi Yulia Sugeha, pengamatan seharusnya dilakukan di laut lepas dan menggunakan kapal. Butuh waktu cukup lama pula untuk mengamati perubahan perilaku hewan pada fenomena GMT. Pengamatan memakan biaya besar.
"Paling (yang melakukan pengamatan di laut lepas) hanya di Amerika maupun Eropa, tapi di Indonesia, bahkan Asean belum pernah ada," kata Yuli di kawasan Ancol, Jakarta Utara, Rabu (913/2016).
Yuli mengakui, pengamatan yang dilakukan di Ancol saat GMT terhadap lumba-lumba sebetulnya secara ilmiah tidak memenuhi standar. Dalam sebuah pengamatan, tidak boleh terdapat banyak kerumunan orang.
"Idealnya pengamatan itu tidak boleh banyak orang, tapi karena ada unsur edukasi, ini lebih dari cukup," kata dia.
Yuli mengaku telah mendapatkan hasil pengamatan meski sebetulnya tingkah laku lumba-lumba tersebut tidak natural.
"Bisa dilihat bahwa walaupun pada kondisi yang diatur treatment-nya, masih terlihat karakter alamiah hewan yang pada dasarnya melindungi diri," ujar Yuli.
Yuli menjelaskan, belum banyak fenomena yang menjelaskan perubahan perilaku hewan terkait GMT. Yang pasti, lumba-lumba tersebut tidak hanya merespons ketika sinar matahari terhalang bulan, namun juga merespons adanya aktivitas gravitasi matahari maupun bulan ke bumi.
"Saya kira itu jadi
trigger, memengaruhi hewan, ada sesuatu yang terjadi. Ada perubahan hormon, sehingga memicu stres. Tapi itu saya rasa normal," ungkapnya.
Hasil pengamatan kali ini, lanjutnya, bisa dijadikan referensi untuk LIPI terkait perubahan perilaku lumba-lumba terhadap GMT. Yuli juga menyebut, hasil pengamatan bakal dipublikasikan di sebuah jurnal riset Indonesia.
Namun, ia juga berharap, ke depan Indonesia bisa melakukan pengamatan di laut lepas.
"Di alam itu pasti beda. Karena sekarang sudah dapat yang di sini. Kalau di sini kan dia sembunyi. Kalau di alam seberapa jauh sih? Apa dia bergerombol terus? Kita akan bandingkan. Saya kira akan berbeda," jelas dia.
Sementara itu, dokter hewan yang menangani lumba-lumba di Ancol Yus Angoro Saputra menyebut, sebelum GMT pihaknya tidak melakukan persiapan khusus. Pasalnya, ia juga ingin mengetahui lebih jauh respons lumba-lumba terhadap GMT.
"Tidak ada persiapan khusus. Kita ingin tahu juga, maka kita kerja sama dengan LIPI, kita adakan acara pengamatan, walaupun sederhana. Paling tdk kita akan tahu adanya perubahan walau tidak signifikan," ucapnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OJE)