Jakarta: Sekolah merupakan instansi yang seharusnya membentuk karakter penerus bangsa. Namun, sekolah justru dianggap belum memadai sebagai tempat penanaman nilai toleransi.
"Sekolah kita yang seharusnya menjadi tempat strategis untuk penanaman nilai yang inklusif yang damai dan terbuka terhadap segala perbadaan, masih belum memadai," kata Senior Officer Media dan Kampanye Wahid Foundation Siti Kholisoh dalam diskusi Polemik Trijaya FM, Sabtu, 24 Agustus 2020.
Penilaian tersebut didapatkan usai Wahid Foundation mendampingi sekolah di empat provinsi di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Pendampingan dilakukan saat Wahid Foundation melakukan survei Toleransi Rohaniawan Islam di Indonesia pada 2018.
Setidaknya ada dua faktor yang membuat sekolah tidak memadai sebagai tempat penanaman nilai toleransi. Pertama, guru terlalu memaksakan penilaian siswa terhadap suatu ideologi.
Baca: PGRI: Jangan Remehkan Intoleransi dan Radikalisme di Sekolah
Padahal, kata Siti, seorang guru harus bersikap terbuka. Tenaga pengajar tidak boleh memaksa murid harus berpandangan sama dengannya terhadap suatu ideologi.
"Seharusnya yang perlu dilakukan guru adalah membuka ruangan yang sangat terbuka dalam proses belajar mengajar," ungkap dia.
Kedua, ketidakpuasan siswa terhadap informasi keagamaan di sekolah. Murid yang haus informasi kemudian berpaling ke internet.
Hal ini sangat mengkhawatirkan karena referensi yang dibaca berpotensi intoleran atau radikal. Pengetahuan yang didapat siswa memudarkan nilai toleransi siswa pada keberagaman yang menjadi kekhasan Indonesia.
Jakarta: Sekolah merupakan instansi yang seharusnya membentuk karakter penerus bangsa. Namun, sekolah justru dianggap belum memadai sebagai tempat penanaman nilai
toleransi.
"Sekolah kita yang seharusnya menjadi tempat strategis untuk penanaman nilai yang inklusif yang damai dan terbuka terhadap segala perbadaan, masih belum memadai," kata Senior Officer Media dan Kampanye Wahid Foundation Siti Kholisoh dalam diskusi Polemik Trijaya FM, Sabtu, 24 Agustus 2020.
Penilaian tersebut didapatkan usai Wahid Foundation mendampingi sekolah di empat provinsi di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Pendampingan dilakukan saat Wahid Foundation melakukan survei Toleransi Rohaniawan Islam di Indonesia pada 2018.
Setidaknya ada dua faktor yang membuat sekolah tidak memadai sebagai tempat penanaman nilai toleransi. Pertama, guru terlalu memaksakan penilaian siswa terhadap suatu ideologi.
Baca:
PGRI: Jangan Remehkan Intoleransi dan Radikalisme di Sekolah
Padahal, kata Siti, seorang guru harus bersikap terbuka. Tenaga pengajar tidak boleh memaksa murid harus berpandangan sama dengannya terhadap suatu ideologi.
"Seharusnya yang perlu dilakukan guru adalah membuka ruangan yang sangat terbuka dalam proses belajar mengajar," ungkap dia.
Kedua, ketidakpuasan siswa terhadap informasi keagamaan di sekolah. Murid yang haus informasi kemudian berpaling ke internet.
Hal ini sangat mengkhawatirkan karena referensi yang dibaca berpotensi intoleran atau
radikal. Pengetahuan yang didapat siswa memudarkan nilai toleransi siswa pada keberagaman yang menjadi kekhasan Indonesia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SUR)