Quraish Shihab (kiri) bersama penulis Latief Siregar (dua Kiri) dan Mauluddin Anwar di toko buku Gramedia Matraman, Jakarta, Rabu 8 Juli 2015. Foto: MI/Ramdani
Quraish Shihab (kiri) bersama penulis Latief Siregar (dua Kiri) dan Mauluddin Anwar di toko buku Gramedia Matraman, Jakarta, Rabu 8 Juli 2015. Foto: MI/Ramdani

Cahaya, Cinta, dan Canda Quraish

Cerita Quraish Menemani Pak Harto Makan

Tri Kurniawan • 09 Juli 2015 11:09
medcom.id, Jakarta: Bertakziah atas meninggalnya Ibu Tien jadi momentum Quraish Shihab semakin dekat dengan keluarga Cendana. Setiap malam hingga hari ke-40, Quraish mendampingi Soeharto berdoa sekaligus memimpin tahlilan.
 
Karena itu, ada yang menyebut Quraish guru spritual Pak Harto. Muncul juga anggapan bahwa kedekatan itu menjadi 'tiket' yang mengantarkannya menjadi Menteri Agama dua bulan sebelum Pak Harto lengser dari kursi Presiden.
 
Namun, menurut Quraish, kedekatan dengan keluarga Cendana sudah terjalin bertahun-tahun sebelum Ibu Tien wafat. Pertengahan 1988, pria lulusan Kairo, Mesir, itu sudah dekat dengan anak ketiga Soeharto, Bambang Trihatmodjo dan istri Halimah.

Mantan Rektor IAIN Syarif Hidayatullah itu kerap menjadi penceramah pada pengajian rutin yang digelar Halimah dan belakangan menjadi pembimbing pada biro perjalanan umroh-haji yang dimodali menantu Soeharto itu.
 
Pada 1988, ia mendampingi Bambang dan Halimah menunaikan ibadah haji. Lewat pasangan suami istri itu lah, Quraish akrab dengan Pak Harto.
 
Saat bertamu ke Cendana, Quraish sering diajak Pak Harto menemaninya makan siang atau malam. Sebagai pribadi, Quraish menilai pria kelahiran Dusun Kemusuk, Bantul, sosok yang santun dan menjunjung tinggi tata krama Jawa.
 
"Kalau satu meja makan, Pak Harto akan sodorkan lebih dulu makanan ke tamunya. Dia yang menyendokkan. Makanan yang dikonsumsinya sederhana dan tidak berlebihan," cerita Quraish.
 
Kata Quraish, di sela-sela makan mantan Panglima ABRI itu biasanya lebih banyak mendengar percakapan, dan tak berpanjang lebar saat menanggapi.
 
Bicara G-30-S PKI
 
Sebelum dipertemukan Bambang, Quraish telah bersua Pak Harto ketika diminta menjadi penerjemah. Kala itu ada kunjungan kepala negara dari Uni Emirat Arab di Istana Negara. Di tengah persiapan, Pak Harto mendatangi Quraish dan mengajaknya makan siang bersama.
 
Quraish menceritakan, Pak Harto mengumbar senyumnya yang khas dan memperlakukan Quraish seperti kawan yang sudah sering berjumpa. Obrolannya rileks dan sangat cair. Qurasih pun merasa sedang berhadapan dengan manusia biasa yang sederhana, bukan seorang Presiden.
 
Karena itu, Quraish memberanikan diri untuk bertanya tentang hal yang sudah lama ia pendam. "Pak Harto, apa yang menyebabkan bapak memutuskan mengambil alih komando setelah peristiwa G-30-S PKI?" tanya Quraish.
 
Pertanyaan itu sangat sensitif untuk ukuran saat itu. Pak Harto malah tersenyum. "Entahlah Pak Quraish, saya hanya merasakan ada dorongan yang begitu kuat dari dalam hati untuk melakukan itu. Saya juga tidak mengetahui persis bagaimana saya bisa tampil dengan begitu tegas."
 
Quraish takjub dengan jawaban Pak Harto yang terus terang dengan raut muka sungguh-sungguh. Quraish pun menimpali, "Pak Harto, itulah dorongan dari Tuhan Yang Mahakuasa kepada Bapak untuk menyelamatkan bangsa dan negara pada saat genting itu."
 

Cerita tersebut dikutip dari buku Cahaya, Cinta, dan Canda Quraish Shihab karya Mauluddin Anwar, Latief Siregar, dan Hadi Mustofa yang diterbitkan Lentera Hati.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(TRK)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan