Jakarta: Wacana transformasi Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) menjadi Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (KP2MI) menuai perhatian serius dari berbagai pihak. Aznil Tan, Direktur Eksekutif Migrant Watch, mengingatkan bahwa langkah ini tidak cukup hanya dilakukan melalui perubahan struktural atau pergeseran tugas dan fungsi.
Menurutnya, perubahan yang direncanakan harus disertai dengan revisi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, guna memberikan kepastian hukum yang jelas.
Baca juga: Prabowo Gelar Sidang Kabinet Perdana Hari Ini, Apa yang Dibahas?
“Transformasi BP2MI menjadi kementerian tidak bisa dilakukan hanya dengan perubahan tugas dan fungsi. Ini sudah menyentuh ranah revisi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017,” tegas Aznil saat diwawancarai di Jakarta, Rabu 23 Oktober 2024.
Aznil menyoroti bahwa Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 139 Tahun 2024, yang menjadi dasar pembentukan KP2MI, tidak dapat mengesampingkan aturan yang sudah diatur secara rinci dalam Undang-Undang tersebut. Menurutnya, perpres ini tidak cukup kuat untuk menggantikan aturan utama yang mengatur tata cara penempatan dan pelindungan pekerja migran.
Risiko Legalisme
Aznil juga memberikan peringatan keras bahwa tanpa revisi undang-undang, operasional KP2MI berpotensi melanggar hukum. Tata cara penempatan dan pelindungan pekerja migran yang sangat ketat diatur dalam UU Nomor 18 Tahun 2017, membuat perubahan mendasar seperti transformasi menjadi kementerian membutuhkan landasan hukum yang lebih kokoh.
“Jika Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dipaksakan beroperasi tanpa revisi undang-undang, tata cara penempatan dan pelindungan PMI akan menjadi ilegal atau tidak sah,” lanjut Aznil.
Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Jika operasional KP2MI dijalankan tanpa dukungan regulasi yang tepat, nasib ratusan ribu pekerja migran yang bergantung pada pelindungan hukum dan prosedural dapat terancam. Pelanggaran hukum terkait penempatan tenaga kerja migran sering kali berdampak langsung pada nasib para pekerja di luar negeri, yang bisa terjerat dalam situasi hukum yang sulit atau bahkan perdagangan manusia.
Urgensi Revisi UU
Aznil mendesak Menteri Tenaga Kerja dan Kepala BP2MI yang baru untuk segera mengambil langkah konkrit dengan memastikan revisi undang-undang menjadi prioritas utama sebelum KP2MI resmi dibentuk. Ia menegaskan bahwa reformasi kelembagaan harus berjalan seiring dengan perbaikan regulasi agar proses penempatan dan pelindungan pekerja migran tetap berjalan sesuai dengan hukum.
"Transformasi ini tidak boleh menghentikan proses penempatan dan pelindungan PMI. Menteri Tenaga Kerja dan Kepala BP2MI yang baru harus memastikan bahwa seluruh proses berjalan sesuai hukum agar tidak menimbulkan masalah hukum di kemudian hari," ungkapnya.
Kepastian Hukum untuk Pelindungan PMI
Transformasi BP2MI menjadi kementerian adalah langkah besar dalam peningkatan pelayanan dan pelindungan pekerja migran. Namun, tanpa landasan hukum yang kuat, upaya ini bisa menjadi senjata makan tuan. Kepastian hukum tidak hanya melindungi negara dari persoalan legalitas, tetapi yang paling penting, melindungi para pekerja migran dari potensi eksploitasi dan ketidakpastian hukum di luar negeri.
Wacana ini menegaskan pentingnya kolaborasi antara legislatif dan eksekutif untuk memberikan kepastian hukum yang lebih baik bagi Pekerja Migran Indonesia (PMI), yang kontribusinya sangat besar dalam perekonomian negara. Terlebih lagi, setiap kebijakan yang berkaitan dengan tenaga kerja migran harus mempertimbangkan aspek pelindungan dan hak asasi manusia mereka.
Dalam konteks ini, revisi UU Nomor 18 Tahun 2017 adalah syarat mutlak untuk memastikan bahwa reformasi kelembagaan yang diharapkan benar-benar dapat memberikan dampak positif bagi para PMI dan meminimalisir risiko hukum yang mungkin timbul di masa depan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id