Pendiri Lembaga Survei Indonesia, Denny JA (kiri)/MI/Susanto
Pendiri Lembaga Survei Indonesia, Denny JA (kiri)/MI/Susanto

34 Buku Esai Angkatan Baru Puisi Tanah Air

Achmad Zulfikar Fazli • 27 Januari 2018 02:02
Jakarta: Sebanyak 170 penyiar menulis 34 buku puisi esai. Puisi tersebut menceritakan kisah nyata tantang peristiwa sosial dan fiksi.
 
Budayawan Denny JA mengatakan, buku puisi esai segera terbit di 34 provinsi seluruh Indonesia pada tahun ini. Buku ini akan menjadi tonggak lahirnya angkatan baru dalam puisi Indonesia. 
 
"Puisi esai itu sendiri ditulis oleh 170 penyair, penulis, aktivis, peneliti dan jurnalis dari Aceh hingga Papua," kata Denny JA dalam keterangan tertulisnya, Jumat, 26 Januari 2018.

Penggagas puisi esai itu memberi catatan di mana sebanyak 170 puisi itu memunculkan lima ciri yang sama. Pertama, semua 170 puisi ini menghadirkan fakta dan fiksi. Ada satu peristiwa sosial yang nyata di dalamnya.
 
Namun, dalam puisi ini tetap kisah fiksi yang utama. Kedua, semua 170 puisi ini panjang minimal 2000 kata. Umumnya puisi di zaman ini bisa ditulis cukup satu atau dua halaman. Tapi 170 puisi ini memakan hingga 10 halaman bahkan lebih.
 
Kemudian, 170 puisi ini memiliki minimal 10 catatan kaki. Seperti makalah ilmiah, hadir catatan kaki yang menunjukkan peristiwa sosial di dalam puisi adalah nyata. Ada sumber informasi yang bisa dilacak dan riset minimal dalam puisi ini.
 
Denny menambahkan, 170 puisi ini memiliki drama. Ada hubungan pribadi yang berkembang dalam puisi. Ini layaknya cerita pendek yang dipuisikan.
 
Terakhir, semua 170 puisi lahir di momen yang sama. Ia menjadi penanda sebuah masa dan karya sebuah generasi.
 
"Mengikuti kerangka yang dibuat oleh David Fishelov, syarat kelahiran sebuah genre dalam dunia sastra terpenuhi. Tentu kelima ciri puisi di atas bukan sama sekali baru. Masing-masing ciri sudah pernah ada," ujar dia.
 
Ia mengklaim, buku tersebut 100 persen baru. Namun kombinasi lima karya itu, kata Denny, dalam satu kesatuan, sehingga memberi corak baru. 
 
"Lima ciri itu tak bisa dimasukkan lagi dalam kerangka genre sebelumnya," ucap dia.
 
Ia mengakui masih ada pro dan kontra soal puisi esai. Namun, ia memandang hal itu menjadi magnet komunitas.
 
"Lahir pro dan kontra. Kritikus, komentator dan analis datang untuk memberikan review. Ada yang mendukung. Ada yang menolak," kata dia.
 
Ia mencontohkan tulisan sastrawan Sapardi Djoko Damono, "Ini sejenis karangan yang belum pernah saya dapati dalam kesusastraan Indonesia sebelumnya. Ia menyebutnya puisi esai."
 
"Belasan pro dan kontra para pakar soal puisi esai sudah dibukukan dalam buku 'Puisi Esai, Kemungkinan Baru Puisi Indonesia,' dengan editor Acep Zamzam Noor. Dalam buku ini terdapat tulisan Ignes Kleden, Leon Agusta, Maman S Mahayana, Jamal D Rahman, Agus Sarjono, dan sebagainya," tutur Denny.
 
Ia menambahkan, puisi esai sudah menjadi seminar internasional di Sabah Malaysia. Kritrikus dan sastrawan Asia Tenggara secara khusus membahas 22 buku puisi esai karyanya. 
 
"Itupun sudah dibukukan dalam 'Temu Sastrawan Asia Tenggara: Isu Sosial Dalam Puisi'," ucap dia.
 
Sudah sekitar 30 terakhir, tak ada gegap gempita dalam dunia sastra sebagaimana yang dialami oleh pro dan kontra puisi esai. Ini sendiri sebuah penanda bahwa puisi esai berhasil menjadi magnet zamannya.
 
Ia pun tak masalah dengan adanya petisi tentang puisi esai. Menurut dia, semua genre di masa awalnya selalu terjadi penolakan. Tak hanya di bidang sastra, tapi agama yang diyakini sebagai wahyu Tuhan tetap menghasilkan pro dan kontra yang sama.
 
"Soal puisi esai genre baru atau bukan, angkatan baru atau bukan, biarlah sejarah yang menilai. Jokowi punya prinsip: kerja, kerja, kerja. Prinsipnya seharusnya hanya peduli pada: karya, karya, karya," pungkas dia.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(JMS)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan