Jakarta: Wakil Presiden Jusuf Kalla menganggap perubahan penyebutan kata kafir menjadi nonmuslim tak seharusya dipersoalkan. Sebab, arti dari kedua kata itu tak berbeda.
Menurut JK, secara aqidah buat yang menganut agama di luar Islam memang disebut kafir. Namun, dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia harus ada kata yang lebih lembut. Alhasil, kata nonmuslim dipilih karena lebih lembut dari kafir.
"Kan pengertiannya tidak beda, cuma lebih lembut. Coba bayangin apabila ada ustaz naik doa, mula-mula tentu dia bilang, saya akan pimpin berdoa dalam agama Islam, yang nonmuslim sesuaikan kepercayaan masing-masing. Kalau diganti gimana? bagaimana kalau saya berdoa dalam agama Islam, yang kafir agar (sesuai kepercayaanya). Kan tidak bagus," ujar JK di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Selasa, 12 Maret 2019.
Menurut dia, kata kafir maupun nonmuslim sama baiknya. Hanya penyebutan kata tersebut harus disesuaikan dengan kondisi dan lokasinya.
"Kalau kita berada di ruang yang multi kepercayaan di sini, tentu kita bicara sesuai tempatnya. Tapi kalau pengajian tempat yang terbatas, tentu juga karena berdasarkan Alquran ya sesuai dengan Alquran," kata dia.
(Baca: NU Minta Nonmuslim Tak Disebut Kafir)
Bahtsul Masail Maudluiyah memutuskan tidak menggunakan istilah kafir bagi nonmuslim di Indonesia. Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Abdul Moqsith Ghazali mengatakan, istilah kafir menyakiti sebagian kelompok nonmuslim yang dianggap mengandung unsur kekerasan teologis.
Para alim ulama NU menyepakati istilah muwathinun untuk kelompok nonmuslim, bukan istilah kafir. Menurut dia, muwathinun berarti warga negara. Artinya, nonmuslim sama sebagai warga negara.
Kesepakatan tersebut bukan berarti menghapus kata kafir. Namun, penyebutan kafir terhadap nonmuslim di Indonesia dirasa tidak bijak.
"Tetapi memberikan label kafir kepada warga Indonesia yang ikut merancang desain negara Indonesia rasanya kurang bijaksana," kata Moqsith, di Banjar, Jawa Barat, Kamis, 28 Februari 2019.
Jakarta: Wakil Presiden Jusuf Kalla menganggap perubahan penyebutan kata kafir menjadi nonmuslim tak seharusya dipersoalkan. Sebab, arti dari kedua kata itu tak berbeda.
Menurut JK, secara aqidah buat yang menganut agama di luar Islam memang disebut kafir. Namun, dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia harus ada kata yang lebih lembut. Alhasil, kata nonmuslim dipilih karena lebih lembut dari kafir.
"Kan pengertiannya tidak beda, cuma lebih lembut. Coba bayangin apabila ada ustaz naik doa, mula-mula tentu dia bilang, saya akan pimpin berdoa dalam agama Islam, yang nonmuslim sesuaikan kepercayaan masing-masing. Kalau diganti gimana? bagaimana kalau saya berdoa dalam agama Islam, yang kafir agar (sesuai kepercayaanya). Kan tidak bagus," ujar JK di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Selasa, 12 Maret 2019.
Menurut dia, kata kafir maupun nonmuslim sama baiknya. Hanya penyebutan kata tersebut harus disesuaikan dengan kondisi dan lokasinya.
"Kalau kita berada di ruang yang multi kepercayaan di sini, tentu kita bicara sesuai tempatnya. Tapi kalau pengajian tempat yang terbatas, tentu juga karena berdasarkan Alquran ya sesuai dengan Alquran," kata dia.
(
Baca: NU Minta Nonmuslim Tak Disebut Kafir)
Bahtsul Masail Maudluiyah memutuskan tidak menggunakan istilah kafir bagi nonmuslim di Indonesia. Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Abdul Moqsith Ghazali mengatakan, istilah kafir menyakiti sebagian kelompok nonmuslim yang dianggap mengandung unsur kekerasan teologis.
Para alim ulama NU menyepakati istilah muwathinun untuk kelompok nonmuslim, bukan istilah kafir. Menurut dia, muwathinun berarti warga negara. Artinya, nonmuslim sama sebagai warga negara.
Kesepakatan tersebut bukan berarti menghapus kata kafir. Namun, penyebutan kafir terhadap nonmuslim di Indonesia dirasa tidak bijak.
"Tetapi memberikan label kafir kepada warga Indonesia yang ikut merancang desain negara Indonesia rasanya kurang bijaksana," kata Moqsith, di Banjar, Jawa Barat, Kamis, 28 Februari 2019.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(JMS)