Jakarta: Komnas HAM menyebut ada empat klasifikasi penyebab sengketa dan konflik agraria. Hal tersebut perlu menjadi perhatian pemerintah sesuai permintaan presiden dalam percepatan penyelesaian konflik agraria saat Rapat Terbatas, 3 Mei 2019.
Komisioner Komnas HAM Amiruddin memaparkan perampasan lahan secara sewenang-wenang kerap kali disampaikan pengadu. Lahan yang dimiliki pengadu, kata dia, dirampas dan dinyatakan milik perusahaan sehingga membuat masyarakat perlu memperjuangkan haknya.
"Ujungnya ketika masyarakat mulai bersikap terhadap hak tanah karena tidak ada konfirmasi dan ganti rugi, masyarakat mulai marah, yang dikerahkan polisi atau TNI, ujungnya muncul masalah konflik polisi dan rakyat," katanya di Kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa, 14 Mei 2019.
Menurutnya, adanya tumpang tindih regulasi, tata ruang, dan izin konsensi. Pemerintah perlu memberikan otoritas kepada lembaga tertentu untuk bertanggung jawab atas pemberian izin agar tak adanya lempar tanggung jawab antar instansi maupun kelembagaan.
"Kalau terjadi sesuatu, yang memberi izin bertanggung jawab. Jadi tidak lepas tangan dan disampaikan ke komnas ham. Dengan demikian kita bisa melihat tata ruang akan seperti apa," ucap Amiruddin.
Dia juga mengatakan sengketa tapal batas perlu diperhatikan. Sebab kerap kali pemerintah memberikan izin daerah konsensi tanpa mengecek lahan tersebut dimiliki masyarakat atau tidak.
"Tapal batas yang dimaksud adalah suatu daerah konsensi perkebunan tiba-tiba mengatakan tapal batasnya disini. Yang peta awalnya enggak tahu (lokasi tapal batas), akibatnya bisa satu kampung bahkan satu desa masuk di tengah kebun," ungkapnya.
Dirinya menambahkan, ada ketidakpastian dan diskriminasi hukum terhadap masyarakat. Saat persoalan agraria tersebut dibawa kepengadilan, proses diperlama bahkan dibiarkan.
"Akibatnya masyarakat terkatung-katung hidupnya. Jadi tidak ada perhatian yang cepat terhadap persoalan ini, Impikasinya ada orang terpaksa atau dipaksa keluar dari wilayahnya," kata Amaruddin.
Untuk itu, Komnas HAM menuntut pemerintah menyelesaikan konflik agraria dengan pemenuhan hak-hak masyarakat terhadap kepemilikan dan pengelolaan tanah. Pemerintah perlu membentuk atau menunjuk satu instansi khusus penyelesaian konflik agraria.
"Intansi mana yang dipercaya paling depan untuk hal ini. Sehingga Komnas HAM tentu terbuka diajak berbicara dan memberikan pandangan masukan langkah-langkah penyelesaian konflik," pungkasnya.
Jakarta: Komnas HAM menyebut ada empat klasifikasi penyebab sengketa dan konflik agraria. Hal tersebut perlu menjadi perhatian pemerintah sesuai permintaan presiden dalam percepatan penyelesaian konflik agraria saat Rapat Terbatas, 3 Mei 2019.
Komisioner Komnas HAM Amiruddin memaparkan perampasan lahan secara sewenang-wenang kerap kali disampaikan pengadu. Lahan yang dimiliki pengadu, kata dia, dirampas dan dinyatakan milik perusahaan sehingga membuat masyarakat perlu memperjuangkan haknya.
"Ujungnya ketika masyarakat mulai bersikap terhadap hak tanah karena tidak ada konfirmasi dan ganti rugi, masyarakat mulai marah, yang dikerahkan polisi atau TNI, ujungnya muncul masalah konflik polisi dan rakyat," katanya di Kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa, 14 Mei 2019.
Menurutnya, adanya tumpang tindih regulasi, tata ruang, dan izin konsensi. Pemerintah perlu memberikan otoritas kepada lembaga tertentu untuk bertanggung jawab atas pemberian izin agar tak adanya lempar tanggung jawab antar instansi maupun kelembagaan.
"Kalau terjadi sesuatu, yang memberi izin bertanggung jawab. Jadi tidak lepas tangan dan disampaikan ke komnas ham. Dengan demikian kita bisa melihat tata ruang akan seperti apa," ucap Amiruddin.
Dia juga mengatakan sengketa tapal batas perlu diperhatikan. Sebab kerap kali pemerintah memberikan izin daerah konsensi tanpa mengecek lahan tersebut dimiliki masyarakat atau tidak.
"Tapal batas yang dimaksud adalah suatu daerah konsensi perkebunan tiba-tiba mengatakan tapal batasnya disini. Yang peta awalnya enggak tahu (lokasi tapal batas), akibatnya bisa satu kampung bahkan satu desa masuk di tengah kebun," ungkapnya.
Dirinya menambahkan, ada ketidakpastian dan diskriminasi hukum terhadap masyarakat. Saat persoalan agraria tersebut dibawa kepengadilan, proses diperlama bahkan dibiarkan.
"Akibatnya masyarakat terkatung-katung hidupnya. Jadi tidak ada perhatian yang cepat terhadap persoalan ini, Impikasinya ada orang terpaksa atau dipaksa keluar dari wilayahnya," kata Amaruddin.
Untuk itu, Komnas HAM menuntut pemerintah menyelesaikan konflik agraria dengan pemenuhan hak-hak masyarakat terhadap kepemilikan dan pengelolaan tanah. Pemerintah perlu membentuk atau menunjuk satu instansi khusus penyelesaian konflik agraria.
"Intansi mana yang dipercaya paling depan untuk hal ini. Sehingga Komnas HAM tentu terbuka diajak berbicara dan memberikan pandangan masukan langkah-langkah penyelesaian konflik," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(EKO)