medcom.id, Jakarta: Pengamat Komunikasi Sosial Devie Rahmawati menilai pascaorde baru negara tidak lagi mampu memberikan jaminan keamanan dan kenyamanan bagi warganya. Imbasnya, aksi tawuran kerap terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia.
"Ini akan terus ada. Karena sejak selepas era orba tidak ada lagi negara yang menjamin stabilitas keamanan dan kenyamanan di antara warganya," ujar Devie, dalam Metro News, Senin 13 Maret 2017.
Menurut dia, aksi tawuran sudah berevolusi menjadi serangan antarkelompok. Padahal sebelumnya tawuran biasa terjadi antara penguasa dan rakyat.
Devie sepakat jika persoalan ekonomi menjadi salah satu sebab terjadinya tawuran. Hal itu biasanya terjadi karena perebutan sumber daya lahan seperti parkir, juga soal fanatisme antarpemeluk agama dan masalah eksistensi dan pengakuan diri pada remaja.
"Yang terjadi adalah demokratisasi kekerasan. Kekerasan menemukan bentuknya kembali dan membuat orang mencari sosial bonding di antara mereka, ini yang kemudian mendorong kekerasan dan ekonomi menjadi pemicunya," katanya.
Menurut Devie ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk meminimalisasi aksi tawuran. Di antaranya adalah tidak melabeli mereka dengan pengacau atau sampah masyarakat.
"Yang harus dilakukan adalah mendekati mereka. Karena persoalan identitas ternyata menjadi persoalan yang banyak tersamarkan terkait alasan ekonomi," katanya.
Khusus untuk remaja, kata dia, perlu perlakuan istimewa sebab tidak semua mereka bisa menjuarai olimpiade misalnya untuk mendapat pengakuan. Remaja ini biasanya mencari eksistensi dari sebuah kelompok untuk mendapatkan pengakuan.
"Dengan melakukan serangan kepada kelompok lain, mereka mendapatkan rasa hormat yang tidak mereka dapatkan di sekolah," ungkapnya.
Terakhir, kata dia, pemerintah mesti turun ke wilayah-wilayah yang rawan dan kerap menjadi lahan tawuran untuk memetakan kebutuhan di masyarakat. Misalnya membuat ruang untuk masyarakat dalam menyalurkan hobinya, sehingga keinginan untuk berkumpul dengan kelompok yang salah bisa diantisipasi.
medcom.id, Jakarta: Pengamat Komunikasi Sosial Devie Rahmawati menilai pascaorde baru negara tidak lagi mampu memberikan jaminan keamanan dan kenyamanan bagi warganya. Imbasnya, aksi tawuran kerap terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia.
"Ini akan terus ada. Karena sejak selepas era orba tidak ada lagi negara yang menjamin stabilitas keamanan dan kenyamanan di antara warganya," ujar Devie, dalam
Metro News, Senin 13 Maret 2017.
Menurut dia, aksi tawuran sudah berevolusi menjadi serangan antarkelompok. Padahal sebelumnya tawuran biasa terjadi antara penguasa dan rakyat.
Devie sepakat jika persoalan ekonomi menjadi salah satu sebab terjadinya tawuran. Hal itu biasanya terjadi karena perebutan sumber daya lahan seperti parkir, juga soal fanatisme antarpemeluk agama dan masalah eksistensi dan pengakuan diri pada remaja.
"Yang terjadi adalah demokratisasi kekerasan. Kekerasan menemukan bentuknya kembali dan membuat orang mencari sosial bonding di antara mereka, ini yang kemudian mendorong kekerasan dan ekonomi menjadi pemicunya," katanya.
Menurut Devie ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk meminimalisasi aksi tawuran. Di antaranya adalah tidak melabeli mereka dengan pengacau atau sampah masyarakat.
"Yang harus dilakukan adalah mendekati mereka. Karena persoalan identitas ternyata menjadi persoalan yang banyak tersamarkan terkait alasan ekonomi," katanya.
Khusus untuk remaja, kata dia, perlu perlakuan istimewa sebab tidak semua mereka bisa menjuarai olimpiade misalnya untuk mendapat pengakuan. Remaja ini biasanya mencari eksistensi dari sebuah kelompok untuk mendapatkan pengakuan.
"Dengan melakukan serangan kepada kelompok lain, mereka mendapatkan rasa hormat yang tidak mereka dapatkan di sekolah," ungkapnya.
Terakhir, kata dia, pemerintah mesti turun ke wilayah-wilayah yang rawan dan kerap menjadi lahan tawuran untuk memetakan kebutuhan di masyarakat. Misalnya membuat ruang untuk masyarakat dalam menyalurkan hobinya, sehingga keinginan untuk berkumpul dengan kelompok yang salah bisa diantisipasi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(MEL)