Jakarta: Komite Aksi Transportasi Online (KATO) menyesalkan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), yang menolak permohonan uji materi Pasal 47 ayat (3) UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ). Keputusan MK soal legalitas ojek daring itu dinilai tidak menjunjung rasa keadilan.
"Hukum itu paling tinggi keadilan bukan hanya rule of the game tapi law enforcement penegakan aturan yaitu rasa keadilan karena hukum diciptakan untuk menciptakan keadilan," kata Ketua Koordinator KATO Said Iqbal di kantor LBH Jakarta, Jakarta Pusat, Minggu, 1 Juli 2018.
Menurut Said, ojek daring jelas tak pernah menabrak UUD 1944 atau UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang LLAJ. Keputusan hakim jelas tak berpihak kepada masyarakat.
"Hukum tertinggi kita UUD 1945, ini negara kekuasaan apa negara hukum?" sesal dia.
Dalam amar putusan disebutkan ojek daring tak bisa dimasukkan dalam kategori kendaraan transportasi karena membahayakan penumpang. Dalil itu dipertanyakan Said dan pengemudi ojek daring.
Said bahkan meminta MK menguji bahaya ojek daring terhadap penumpang sebagaimana tertuang dalam amar putusan. "Gimana mungkin proses materi belum diuji tapi sudah dinyatakan ini membahayakan? Ini yang enggak ada hati nurani itu, rasa keadilan jadi hilang, hak konstitusi sebagian orang hilang," ujar dia.
MK memutuskan menolak melegalkan ojek daring sebagai alat transportasi. Putusan diambil untuk uji materi perkara nomor 41/PUU-XVI/2018 yang diajukan pengemudi ojek daring.
Dalam permohonan, 54 pengemudi ojek daring menggugat Pasal 47 ayat (3) UU LLAJ. Mereka keberatan karena ketentuan pasal tersebut tidak mengatur motor sebagai angkutan umum.
Jakarta: Komite Aksi Transportasi Online (KATO) menyesalkan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), yang menolak permohonan uji materi Pasal 47 ayat (3) UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ). Keputusan MK soal legalitas ojek daring itu dinilai tidak menjunjung rasa keadilan.
"Hukum itu paling tinggi keadilan bukan hanya rule of the game tapi law enforcement penegakan aturan yaitu rasa keadilan karena hukum diciptakan untuk menciptakan keadilan," kata Ketua Koordinator KATO Said Iqbal di kantor LBH Jakarta, Jakarta Pusat, Minggu, 1 Juli 2018.
Menurut Said, ojek daring jelas tak pernah menabrak UUD 1944 atau UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang LLAJ. Keputusan hakim jelas tak berpihak kepada masyarakat.
"Hukum tertinggi kita UUD 1945, ini negara kekuasaan apa negara hukum?" sesal dia.
Dalam amar putusan disebutkan ojek daring tak bisa dimasukkan dalam kategori kendaraan transportasi karena membahayakan penumpang. Dalil itu dipertanyakan Said dan pengemudi ojek daring.
Said bahkan meminta MK menguji bahaya ojek daring terhadap penumpang sebagaimana tertuang dalam amar putusan. "Gimana mungkin proses materi belum diuji tapi sudah dinyatakan ini membahayakan? Ini yang enggak ada hati nurani itu, rasa keadilan jadi hilang, hak konstitusi sebagian orang hilang," ujar dia.
MK memutuskan menolak melegalkan ojek daring sebagai alat transportasi. Putusan diambil untuk uji materi perkara nomor 41/PUU-XVI/2018 yang diajukan pengemudi ojek daring.
Dalam permohonan, 54 pengemudi ojek daring menggugat Pasal 47 ayat (3) UU LLAJ. Mereka keberatan karena ketentuan pasal tersebut tidak mengatur motor sebagai angkutan umum.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OJE)