medcom.id, Jakarta: Furqon Ulya Hermawan, meraih penghargaan Diversity Award 2016. Karya jurnalistik yang dibuat oleh jurnalis Media Indonesia itu terpilih menjadi berita media cetak terbaik versi Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk).
Berita hasil karya Furqon yang meraih Diversity Award 2016 berjudul "Toleransi Memudar di Kota Pelajar". Dalam berita itu, Furqon coba memotret kejadian intoleransi yang ada di Kota Pelajar, Yogyakarta.
Furqon bercerita, ide bermula ketika dirinya melihat banyak tindakan intoleransi yang terjadi di Yogyakarta. Padahal, kota pelajar itu terkenal sebagai 'City of Tolerant' sejak 2010-an.
"Kemudian dicoreng sendiri oleh orang-orang yang mengaku sebagai warga Jogja. Orang-orang yang mengaku beragama, tapi melakukan tindakan intoleran," ungkap Furqon kepada Metrotvnews.com usai menerima penghargaan di Goethe-Institute, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (31/8/2016).
Furqon Ulya Hermawan (Foto:MTVN/Arga Sumantri)
Pada 2015 misalnya, kata Furqon, banyak tindakan intoleransi terjadi di Yogyakarta. Mulai dari pembubaran acara diskusi, acara nonton film, dan acara-acara seni lainnya yang dinilai bertentangan dengan pemahaman keagamaan sejumlah warga. Pernah juga terjadi pembubaran terhadap pondok waria, bahkan sempat ada pula rencana penggusuran.
"Itu kan sebenarnya merupakan tindakan intoleran. Mereka membenarkan melakukan tindakan tersebut berdasarkan doktrin agama yang mereka miliki. Intinya, selain kelompok dia, salah semua," terang Furqon.
Kebetulan, kata furqon, The Wahid Institute dan Setara Institute menobatkan Yogyakarta sebagai kota intoleran. Kota yang khas dengan makanan gudeg itu ada di deretan lima kota terbesar di Indonesia yang melakukan tindakan intoleran.
"Ini jadi dipertanyakan, karena Jogja sebagai City of Tolerant, tapi melakukan tindakan intoleran. Ini kan menarik jadi pertanyaan," kata Furqon.
Furqon menyisihkan dua jurnalis lainnya dalam daftar nominasi peraih Diversity Award 2016 kategori media cetak. Mereka adalah Kodrat Setiawan dari Koran Tempo, dan jurnalis Media Indonesia lainnya, Ardhy Winata Sitepu. Berita hasil karya Kodrat berjudul Pembongkaran Gereja Diwarnai Isak Tangis Jemaat, sementara berita hasil karya Ardhy yang masuk daftar nominasi berjudul Polemik Pendidikan Agama di Aceh Singkil.
Hasil karya Furqon Ulya Hermawan (Foto:MTVN/Arga Sumantri)
Selain kategori media cetak, penghargaan Diversity Award 2016 juga diberikan untuk kategori radio. Jurnalis radio yang masuk nominasi antara lain Rio Tuasikal dari Radio KBR68H dan Margi Ernawati dari Radio Elshinta Semarang. Pemenang Diversity Award 2016 kategori Radio dimenangkan oleh Margi Enawati.
Sejuk juga memberikan penghargaan Diversity Award 2016 untuk kategori media foto. Ada tiga fotografer yang masuk daftar nominasi, yakni dua fotografer AFP Aman Rohman dan Hotli Simanjuntak (AFP), juga fotografer Antara Jessica H Wyusang. Penghargaan untuk kategori media foto diraih Jessica H Wuysang.
Sedangkan, dalam kategori media online, ada dua jurnalis yang masuk nominasi, yakni Abraham Utama dari CNN Indonesia dengan judul berita Yahudi dalam Bingkai Kebhinekaan Indonesia. Satu lagi Heyder Affan dari BBC Indonesia dengan judul berita Aliran Wahabi dan Wajah Islam Moderat di Indonesia. Penghargaan dimenangkan oleh Heyder Affan.
Terakhir adalah kategori media televisi, dua paket berita Net TV yang mengangkat soal isu di Tolikara dan tentang toleransi beragama di Sulawesi Utara, masuk daftar nominasi. Satu nominator lainnya adalah paket berita dari Tempo Channel yang mengangkat cerita anak-anak Gafatar. Namun, panitia memutuskan tak memberikan penghargaan untuk kategori televisi.
Pengurus Sejuk yang sekaligus jadi salah satu juri dalam penghargaan Diversity Award 2016, Andy Budiman mengatakan, juri memutuskan tidak memberikan hadiah pada TV manapun. Alasannya, karya televisi yang masuk dianggap belum memenuhi standar untuk mendapatkan penghargaan Diversity Award 2016.
"Ini sekaligus sebagai sebuah usaha kita, ini kesempatan teman-teman televisi untuk merefleksikan diri. Karena terasa sekali kemampuan teman-teman televisi dalam mengemas berita khususnya tentang intoleransi, jauh tertinggal. Media televisi sangat penting, sebab 90 persen masyarakat menerima informasi dari TV," jelas Andy.
Diversity Award 2016 adalah penghargaan karya jurnalistik tentang toleransi beragama. Program ini merupakan inisiatif Sejuk untuk memberikan apresiasi atas kerja-kerja jurnalistik yang mengimani bahwa keberagaman mesti dihargai dan dirayakan.
Selain Diversity Award 2016, Sejuk juga menggelar program Fellowship Liputan Keberagaman 2016. Program ini merupakan bantuan terbatas kepada jurnalis di Indonesia untuk melakukan liputan isu keberagaman dengan bersetia pada Konstitusi dan HAM.
Ada delapan jurnalis yang lolos seleksi untuk mendapat program Fellowship Liputan Keberagaman 2016. Kategori media cetak didapat oleh Evangeline Lita Aruperes, Kontributor Sulawesi Utara The Jakarta Post dan Rahmi Amin dari Harian Radar Makassar. Kategori media online didapat oleh Kresna dari tirto.id, Reni Susanti dari Kompas.com, Irwan Amrizal dari Madinaonline.id, dan Febriana Firdaus (Freelancer). Kategori radio didapat Ardhi Rosyadi dari Elshinta Semarang, sedangkan kategori televisi diraih Rio Rizalino dari Jawa Pos TV.
medcom.id, Jakarta: Furqon Ulya Hermawan, meraih penghargaan Diversity Award 2016. Karya jurnalistik yang dibuat oleh jurnalis Media Indonesia itu terpilih menjadi berita media cetak terbaik versi Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk).
Berita hasil karya Furqon yang meraih Diversity Award 2016 berjudul "Toleransi Memudar di Kota Pelajar". Dalam berita itu, Furqon coba memotret kejadian intoleransi yang ada di Kota Pelajar, Yogyakarta.
Furqon bercerita, ide bermula ketika dirinya melihat banyak tindakan intoleransi yang terjadi di Yogyakarta. Padahal, kota pelajar itu terkenal sebagai 'City of Tolerant' sejak 2010-an.
"Kemudian dicoreng sendiri oleh orang-orang yang mengaku sebagai warga Jogja. Orang-orang yang mengaku beragama, tapi melakukan tindakan intoleran," ungkap Furqon kepada
Metrotvnews.com usai menerima penghargaan di Goethe-Institute, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (31/8/2016).
Furqon Ulya Hermawan (Foto:MTVN/Arga Sumantri)
Pada 2015 misalnya, kata Furqon, banyak tindakan intoleransi terjadi di Yogyakarta. Mulai dari pembubaran acara diskusi, acara nonton film, dan acara-acara seni lainnya yang dinilai bertentangan dengan pemahaman keagamaan sejumlah warga. Pernah juga terjadi pembubaran terhadap pondok waria, bahkan sempat ada pula rencana penggusuran.
"Itu kan sebenarnya merupakan tindakan intoleran. Mereka membenarkan melakukan tindakan tersebut berdasarkan doktrin agama yang mereka miliki. Intinya, selain kelompok dia, salah semua," terang Furqon.
Kebetulan, kata furqon, The Wahid Institute dan Setara Institute menobatkan Yogyakarta sebagai kota intoleran. Kota yang khas dengan makanan gudeg itu ada di deretan lima kota terbesar di Indonesia yang melakukan tindakan intoleran.
"Ini jadi dipertanyakan, karena Jogja sebagai City of Tolerant, tapi melakukan tindakan intoleran. Ini kan menarik jadi pertanyaan," kata Furqon.
Furqon menyisihkan dua jurnalis lainnya dalam daftar nominasi peraih Diversity Award 2016 kategori media cetak. Mereka adalah Kodrat Setiawan dari Koran Tempo, dan jurnalis Media Indonesia lainnya, Ardhy Winata Sitepu. Berita hasil karya Kodrat berjudul Pembongkaran Gereja Diwarnai Isak Tangis Jemaat, sementara berita hasil karya Ardhy yang masuk daftar nominasi berjudul Polemik Pendidikan Agama di Aceh Singkil.
Hasil karya Furqon Ulya Hermawan (Foto:MTVN/Arga Sumantri)
Selain kategori media cetak, penghargaan Diversity Award 2016 juga diberikan untuk kategori radio. Jurnalis radio yang masuk nominasi antara lain Rio Tuasikal dari Radio KBR68H dan Margi Ernawati dari Radio Elshinta Semarang. Pemenang Diversity Award 2016 kategori Radio dimenangkan oleh Margi Enawati.
Sejuk juga memberikan penghargaan Diversity Award 2016 untuk kategori media foto. Ada tiga fotografer yang masuk daftar nominasi, yakni dua fotografer AFP Aman Rohman dan Hotli Simanjuntak (AFP), juga fotografer Antara Jessica H Wyusang. Penghargaan untuk kategori media foto diraih Jessica H Wuysang.
Sedangkan, dalam kategori media online, ada dua jurnalis yang masuk nominasi, yakni Abraham Utama dari CNN Indonesia dengan judul berita Yahudi dalam Bingkai Kebhinekaan Indonesia. Satu lagi Heyder Affan dari BBC Indonesia dengan judul berita Aliran Wahabi dan Wajah Islam Moderat di Indonesia. Penghargaan dimenangkan oleh Heyder Affan.
Terakhir adalah kategori media televisi, dua paket berita Net TV yang mengangkat soal isu di Tolikara dan tentang toleransi beragama di Sulawesi Utara, masuk daftar nominasi. Satu nominator lainnya adalah paket berita dari Tempo Channel yang mengangkat cerita anak-anak Gafatar. Namun, panitia memutuskan tak memberikan penghargaan untuk kategori televisi.
Pengurus Sejuk yang sekaligus jadi salah satu juri dalam penghargaan Diversity Award 2016, Andy Budiman mengatakan, juri memutuskan tidak memberikan hadiah pada TV manapun. Alasannya, karya televisi yang masuk dianggap belum memenuhi standar untuk mendapatkan penghargaan Diversity Award 2016.
"Ini sekaligus sebagai sebuah usaha kita, ini kesempatan teman-teman televisi untuk merefleksikan diri. Karena terasa sekali kemampuan teman-teman televisi dalam mengemas berita khususnya tentang intoleransi, jauh tertinggal. Media televisi sangat penting, sebab 90 persen masyarakat menerima informasi dari TV," jelas Andy.
Diversity Award 2016 adalah penghargaan karya jurnalistik tentang toleransi beragama. Program ini merupakan inisiatif Sejuk untuk memberikan apresiasi atas kerja-kerja jurnalistik yang mengimani bahwa keberagaman mesti dihargai dan dirayakan.
Selain Diversity Award 2016, Sejuk juga menggelar program Fellowship Liputan Keberagaman 2016. Program ini merupakan bantuan terbatas kepada jurnalis di Indonesia untuk melakukan liputan isu keberagaman dengan bersetia pada Konstitusi dan HAM.
Ada delapan jurnalis yang lolos seleksi untuk mendapat program Fellowship Liputan Keberagaman 2016. Kategori media cetak didapat oleh Evangeline Lita Aruperes, Kontributor Sulawesi Utara The Jakarta Post dan Rahmi Amin dari Harian Radar Makassar. Kategori media online didapat oleh Kresna dari tirto.id, Reni Susanti dari Kompas.com, Irwan Amrizal dari Madinaonline.id, dan Febriana Firdaus (Freelancer). Kategori radio didapat Ardhi Rosyadi dari Elshinta Semarang, sedangkan kategori televisi diraih Rio Rizalino dari Jawa Pos TV.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ALB)