Pakar Hukum, Slamet Pribadi. Dok. IG Slamet Pribadi
Pakar Hukum, Slamet Pribadi. Dok. IG Slamet Pribadi

Wacana Mereposisi Polri di Bawah Kemendagri atau TNI Dinilai Ancaman dan Sangat Membahayakan Reformasi

M Rodhi Aulia • 04 Desember 2024 10:51
Jakarta: Pasca-Pilkada 2024, wacana mereposisi Polri di bawah TNI atau Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) kembali mencuat dan menjadi perdebatan hangat. Menurut Pakar Hukum, Slamet Pribadi, gagasan tersebut tidak hanya keliru secara hukum, tetapi juga melukai amanah reformasi yang telah diperjuangkan sejak 1998.
 
"Pemilu itu adalah pesta demokrasi, ruang bagi masyarakat untuk memilih pemimpinnya dengan hati nurani. Tapi ketika hasilnya tidak sesuai harapan, elite tertentu malah melontarkan wacana yang sangat emosional dan berpotensi memecah belah bangsa," ujar Slamet Pribadi dalam keterangannya, Rabu 4 Desember 2024.

Sejarah Panjang Pemisahan Polri dan TNI

Slamet mengingatkan, pemisahan Polri dari TNI bukanlah keputusan sesaat, melainkan proses panjang yang melibatkan berbagai presiden, mulai dari Soeharto hingga Megawati Soekarnoputri. Reformasi ini dilandasi semangat memperkuat profesionalisme kedua institusi negara tersebut, sebagaimana tertuang dalam berbagai produk hukum, seperti:
  1. Inpres No. 2 Tahun 1999 - Mengatur langkah pemisahan Polri dari ABRI.
  2. Kepres No. 89 tahun 2000- Menegaskan Kedudukan Kepolisian Negara RI
  3. Tap MPR No. VI/MPR/2000 - Menegaskan pemisahan peran TNI dan Polri.
  4. Tap MPR No. VII/MPR/2000 - Menegaskan peran TNI dan peran Kepolisian Negara RI,
  5. UU No. 2 Tahun 2002 - Mengatur independensi dan fungsi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

“Pemisahan ini adalah buah reformasi yang memperjuangkan demokrasi. Mengembalikan Polri di bawah TNI atau Kemendagri sama saja dengan mengkhianati amanah reformasi,” tegas Slamet.
 
Baca juga: Legislator PDIP Terlapor Tuduhan Partai Cokelat Disanksi Teguran Tertulis

Narasi Politik yang Berbahaya

Wacana reposisi Polri ini, menurut Slamet, lahir dari narasi emosional akibat kekalahan politik. Beberapa elite mengklaim bahwa Polri diduga terlibat mendukung calon tertentu, yang kemudian memicu seruan untuk mengubah struktur institusi tersebut.

“Framing seperti ini hanya menunjukkan ketidakdewasaan politik. Memanfaatkan institusi negara sebagai kambing hitam kekalahan adalah langkah berbahaya dan tidak berdasar secara hukum,” ujar Slamet.

Penolakan dari Berbagai Pihak

Mayoritas fraksi di parlemen, Menteri Dalam Negeri, dan masyarakat luas menolak usulan ini. Dari delapan fraksi di DPR, tujuh di antaranya secara tegas menolak gagasan reposisi Polri. Slamet juga menekankan bahwa masyarakat kini semakin cerdas dalam memilah narasi politik.
 
“Masyarakat sudah paham mana kritik yang konstruktif dan mana yang sekadar ekspresi kekecewaan. Jika wacana ini dibiarkan, maka potensi memecah belah bangsa semakin besar,” tambahnya.
 
Slamet mengingatkan pentingnya menjaga profesionalisme Polri dan menghormati semangat reformasi. “Mengelola negara bukan soal membalikkan keputusan reformasi karena emosi politik sesaat. Kita harus menghormati perjuangan panjang yang melibatkan berbagai presiden dan masyarakat,” tutup Slamet.
 
Wacana reposisi Polri ini diharapkan tidak menjadi bahan spekulasi lebih jauh. Pendidikan politik yang baik, adu gagasan yang sehat, dan penghormatan terhadap reformasi menjadi kunci menjaga demokrasi tetap berjalan sesuai amanah rakyat.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(DHI)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan