medcom.id, Jakarta: Langkah pemerintah yang mengeluarkan izin kepada stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) swasta untuk menjual bahan bakar minyak (BBM) bermutu rendah menuai kritik. Kebijakan tersebut dinilai menjadi kemunduran dalam menerapkan standar emisi gas buang.
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menilai, kadar oktan dalam produk BBM menjadi indikator kualitas standar emisi kendaraan bermotor. Menurutnya, pemerintah telah melakukan langkah mundur lantaran memberikan izin dengan kehadiran penjualan BBM yang memiliki nilai oktan di bawah standar Euro 2.
"Oktan 88 sama dengan Premium yang dijual Pertamina yang saat ini sedang dikurangi konsumsi dan distribusinya. Oktan 88 adalah oktan terendah dan tidak memenuhi standar Euro2," kata Tulus melalui keterangan tertulis, Kamis 1 November 2017
Tulus mengatakan, dengan kebijakan tersebut Indonesia malah makin mejauh dengan standar dunia saat ini yang mewajibkan kendaraaan memiliki standar emisi Euro 4. Bahkan, SPBU di negeri jiran Malaysia sudah lebih dulu menjual BBM dengan kadar oktan paling rendah 95.
"Mengapa pemerintah Indonesia malah mendukung SPBU baru menjual BBM dengan oktan 88? Itu tidak konsisten dan langkah mundur. Di saat negara lain berjibaku untuk lolos standar Euro3 dan Euro4, Indonesia masih belum lolos Euro2 karena masih melanggengkan BBM beroktan 88," tuturnya.
Menurut Tulus, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi memang membolehkan pihak swasta ikut bersaing di sektor minyak dan gas, baik di sisi hulu dan hilir. Kehadiran SPBU swasta di luar PT Pertamina merupakan keniscayaan atas Undang-Undang Migas tersebut dengan kehadiran sejumlah SPBU swasta asing di Jakarta dan kota-kota besar lainnya.
"Benar bila semakin banyak SPBU akan memudahkan akses konsumen untuk membeli BBM dengan harga dan kualitas yang kompetitif. Namun, kehadiran SPBU yang menjual BBM berkualitas rendah memunculkan anomali terhadap kebijakan pemerintah sendiri," ujarnya.
Sebelumnya, pemerintah akan memberi izin penjualan bahan bakar minyak (BBM) RON 89 bagi Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) lainnya. Hal itu menyusul izin yang diberikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) kepada PT Vivo Energy Indonesia.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Ego Syahrial mengatakan izin diberikan dengan syarat badan usaha yang bersangkutan membangun SPBU di wilayah Timur Indonesia khususnya daerah 3T (terluar, terpencil dan tertinggal).
"Ya boleh. Syaratnya cuma satu, bangun di Timur. Kalau enggak bangun di Papua ya percuma. Mau bangun di Sumbawa, Papua itu pemerintah yang tentukan. Itu kontrolnya di situ," kata Ego di Gedung Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat 27 Oktober 2017.
Ego menegaskan, ketentuan itu juga berlaku bagi Vivo, pemerintah menunggu pembangunan SPBU yang menjual varian RON 89 sekelas premium milik PT Pertamina (Persero) di Pulau Seram tahun ini. Hal serupa juga diwajibkan bagi SPBU milik asing yang berkeinginan menjual BBM Ron 89.
"Harus. Tadi dia kita panggil, yang pertama di Seram. Kalau enggak ya tutup. Gampangnya gitu," tutur dia.
Ego menambahkan, kebijakan tersebut segera disosialisasikan dalam waktu dekat oleh Menteri ESDM Ignasius Jonan kepada seluruh direksi Pertamina, Migas, BPH Migas dan SKK Migas. Dengan demikian, dia berharap tak ada lagi pihak yang merasa dirugikan.
"Tujuannya satu. Kita kan cuma mikirin bangsa ini. Yang penting harga murah dan terjangkau. Jadi masing-masing punya cara pandang berbeda," tandasnya.
medcom.id, Jakarta: Langkah pemerintah yang mengeluarkan izin kepada stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) swasta untuk menjual bahan bakar minyak (BBM) bermutu rendah menuai kritik. Kebijakan tersebut dinilai menjadi kemunduran dalam menerapkan standar emisi gas buang.
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menilai, kadar oktan dalam produk BBM menjadi indikator kualitas standar emisi kendaraan bermotor. Menurutnya, pemerintah telah melakukan langkah mundur lantaran memberikan izin dengan kehadiran penjualan BBM yang memiliki nilai oktan di bawah standar Euro 2.
"Oktan 88 sama dengan Premium yang dijual Pertamina yang saat ini sedang dikurangi konsumsi dan distribusinya. Oktan 88 adalah oktan terendah dan tidak memenuhi standar Euro2," kata Tulus melalui keterangan tertulis, Kamis 1 November 2017
Tulus mengatakan, dengan kebijakan tersebut Indonesia malah makin mejauh dengan standar dunia saat ini yang mewajibkan kendaraaan memiliki standar emisi Euro 4. Bahkan, SPBU di negeri jiran Malaysia sudah lebih dulu menjual BBM dengan kadar oktan paling rendah 95.
"Mengapa pemerintah Indonesia malah mendukung SPBU baru menjual BBM dengan oktan 88? Itu tidak konsisten dan langkah mundur. Di saat negara lain berjibaku untuk lolos standar Euro3 dan Euro4, Indonesia masih belum lolos Euro2 karena masih melanggengkan BBM beroktan 88," tuturnya.
Menurut Tulus, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi memang membolehkan pihak swasta ikut bersaing di sektor minyak dan gas, baik di sisi hulu dan hilir. Kehadiran SPBU swasta di luar PT Pertamina merupakan keniscayaan atas Undang-Undang Migas tersebut dengan kehadiran sejumlah SPBU swasta asing di Jakarta dan kota-kota besar lainnya.
"Benar bila semakin banyak SPBU akan memudahkan akses konsumen untuk membeli BBM dengan harga dan kualitas yang kompetitif. Namun, kehadiran SPBU yang menjual BBM berkualitas rendah memunculkan anomali terhadap kebijakan pemerintah sendiri," ujarnya.
Sebelumnya, pemerintah akan memberi izin penjualan bahan bakar minyak (BBM) RON 89 bagi Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) lainnya. Hal itu menyusul izin yang diberikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) kepada PT Vivo Energy Indonesia.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Ego Syahrial mengatakan izin diberikan dengan syarat badan usaha yang bersangkutan membangun SPBU di wilayah Timur Indonesia khususnya daerah 3T (terluar, terpencil dan tertinggal).
"Ya boleh. Syaratnya cuma satu, bangun di Timur. Kalau enggak bangun di Papua ya percuma. Mau bangun di Sumbawa, Papua itu pemerintah yang tentukan. Itu kontrolnya di situ," kata Ego di Gedung Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat 27 Oktober 2017.
Ego menegaskan, ketentuan itu juga berlaku bagi Vivo, pemerintah menunggu pembangunan SPBU yang menjual varian RON 89 sekelas premium milik PT Pertamina (Persero) di Pulau Seram tahun ini. Hal serupa juga diwajibkan bagi SPBU milik asing yang berkeinginan menjual BBM Ron 89.
"Harus. Tadi dia kita panggil, yang pertama di Seram. Kalau enggak ya tutup. Gampangnya gitu," tutur dia.
Ego menambahkan, kebijakan tersebut segera disosialisasikan dalam waktu dekat oleh Menteri ESDM Ignasius Jonan kepada seluruh direksi Pertamina, Migas, BPH Migas dan SKK Migas. Dengan demikian, dia berharap tak ada lagi pihak yang merasa dirugikan.
"Tujuannya satu. Kita kan cuma mikirin bangsa ini. Yang penting harga murah dan terjangkau. Jadi masing-masing punya cara pandang berbeda," tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(DHI)