Jakarta: Ibadah puasa sejatinya memberikan banyak manfaat. Di antara manfaat di dunia adalah puasa dapat menjaga kesehatan tubuh dan menjauhkan dari penyakit.
Karena puasa Ramadan juga memiliki manfaat dari sisi medis, tidak jarang dalam puasanya seseorang menyertakan niat melakukan diet dengan tujuan mengatur pola makan untuk kesehatan atau menurunkan berat badan.
Lalu bagaimana hukum berpuasa dengan niat diet? Melansir laman Nu Online, puasa merupakan ibadah yang membutuhkan niat. Sehingga tidak sah berpuasa tanpa niat. Hal ini berdasarkan hadis Nabi:
“Keabsahan beberapa amal bergantung kepada niat-niatnya” (HR al-Bukhari).
Adapun batas minimal yang mencukupi dalam niat puasa adalah dengan menyebutkan qashdul fi‘li dan ta’yin. Maksud dari qashdul fi’li adalah menyengaja melakukan puasa, misalnya “aku niat berpuasa”. Ta’yin artinya menentukan jenis puasanya, sekira bisa dibedakan dengan jenis puasa yang lain, semisal puasa Ramadan, puasa qadha Ramadhan, puasa kafarat, dan lain sebagainya.
Kewajiban menentukan jenis puasa berlandaskan hadis Nabi:
“Dan bagi tiap-tiap orang hanya mendapat pahala sesuai yang ia niatkan” (HR al-Bukhari).
Al-Imam al-Nawawi berkata dalam kitab al-Majmu’:
“Imam Syafi’i dan para muridnya berkata; tidak sah puasa Ramadhan, qadha, kafarat, nadzar, fidyah haji, dan puasa wajib lainnya kecuali dengan menentukan niat, karena hadits Nabi: Dan bagi tiap-tiap orang hanya mendapat pahala sesuai yang ia niatkan. Hadits ini jelas dalam menyaratkan penentuan niat, karena dasar pensyaratan niat telah dipaham dari permulaan hadits; Keabsahan beberapa amal bergantung kepada niat-niatnya” (al-Imam al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, juz 6, hal. 294).
Penentuan jenis puasa (ta’yin) disyaratkan dalam puasa wajib. Sedangkan puasa sunnah sah dilakukan dengan niat yang mutlak, semisal “aku niat berpuasa” tanpa menentukan jenis puasanya. Menurut Imam al-Nawawi dalam kitab al-Majmu’, pengecualian berlaku untuk jenis puasa sunnah rawatib, yaitu puasa yang rutin dilakukan yang memiliki waktu khusus seperti puasa Asyura, puasa Arafah, puasa enam hari Syawal dan lain sebagainya, maka wajib menentukan jenis puasa-puasa tersebut dalam pelaksanaan niatnya. Semisal “aku niat puasa Syawal”, “Aku niat puasa Asyura” dan lain sebagainya.
Untuk puasa Ramadan, contoh niatnya adalah “aku niat berpuasa Ramadan”, dan contoh niat yang paling sempurna adalah “aku niat berpuasa di esok hari karena menjalankan kewajiban Ramadan tahun ini karena Allah”.
Standar minimal niat puasa sebagaimana penjelasan di atas wajib dilakukan untuk jenis puasa apa pun, artinya tidak sah berpuasa tanpa tata cara niat sebagaimana penjelasan tersebut, misalnya orang berpuasa Ramadan niatnya “aku niat berpuasa karena diet”, yang demikian ini tidak sah, sebab tidak menyebutkan kata Ramadan dalam pelaksanaan niat.
Lalu bagaimana jika sudah niat puasa sesuai standar fiqih, namun disertai motivasi lain di luar ibadah, semisal diet.
Dalam hal ini diperinci menjadi dua kasus. Pertama, niat diet disertakan saat pelaksanaan niat puasa, semisal “aku niat berpuasa Ramadhan dan diet”. Ulama berbeda pendapat mengenai keabsahan puasanya. Menurut pendapat yang kuat, puasa Ramadannya tetap sah. Kasus yang demikian jarang sekali terjadi, bahkan hampir tidak ada.
Kedua, ada motivasi melakukan diet di luar pelaksanaan niat puasa. Kasus yang kedua ini banyak terjadi. Artinya, seseorang tetap niat puasa seperti aturan fiqih, namun ia memilki motivasi lain di luar puasa, yakni melakukan diet. Dalam hal ini, puasanya tetap dihukumi sah, sebab puasa telah dilakukan dengan niat sesuai standar fiqih.
Sedangkan untuk pahala, ulama berbeda pendapat. Menurut al-Imam al-Zarkasyi dan Izzuddin bin Abdissalam, tidak mendapat pahala puasa secara mutlak. Menurut Syekh Ibnu Hajar, mendapat pahala secara mutlak, baik tujuan ibadah lebih dominan, berimbang atau bahkan dikalahkan oleh tujuan diet.
Menurut Imam al-Ghazali diperinci, jika tujuan diet lebih dominan, maka pahala puasa tidak didapat, jika lebih dominan tujuan puasa, maka mendapat pahala. Jika keduanya berimbang, maka saling berguguran. Menurut sebagian ulama, bila dua tujuan berimbang, tetap mendapat pahala.
Jakarta: Ibadah
puasa sejatinya memberikan banyak manfaat. Di antara manfaat di dunia adalah puasa dapat menjaga kesehatan tubuh dan menjauhkan dari penyakit.
Karena puasa
Ramadan juga memiliki manfaat dari sisi medis, tidak jarang dalam puasanya seseorang menyertakan niat melakukan diet dengan tujuan mengatur pola makan untuk kesehatan atau menurunkan berat badan.
Lalu bagaimana hukum berpuasa dengan niat diet? Melansir laman
Nu Online, puasa merupakan ibadah yang membutuhkan niat. Sehingga tidak sah berpuasa tanpa niat. Hal ini berdasarkan hadis Nabi:
“Keabsahan beberapa amal bergantung kepada niat-niatnya” (HR al-Bukhari).
Adapun batas minimal yang mencukupi dalam niat puasa adalah dengan menyebutkan
qashdul fi‘li dan
ta’yin. Maksud dari
qashdul fi’li adalah menyengaja melakukan puasa, misalnya “aku niat berpuasa”.
Ta’yin artinya menentukan jenis puasanya, sekira bisa dibedakan dengan jenis puasa yang lain, semisal puasa Ramadan, puasa qadha Ramadhan, puasa kafarat, dan lain sebagainya.
Kewajiban menentukan jenis puasa berlandaskan hadis Nabi:
“Dan bagi tiap-tiap orang hanya mendapat pahala sesuai yang ia niatkan” (HR al-Bukhari).
Al-Imam al-Nawawi berkata dalam kitab al-Majmu’:
“Imam Syafi’i dan para muridnya berkata; tidak sah puasa Ramadhan, qadha, kafarat, nadzar, fidyah haji, dan puasa wajib lainnya kecuali dengan menentukan niat, karena hadits Nabi: Dan bagi tiap-tiap orang hanya mendapat pahala sesuai yang ia niatkan. Hadits ini jelas dalam menyaratkan penentuan niat, karena dasar pensyaratan niat telah dipaham dari permulaan hadits; Keabsahan beberapa amal bergantung kepada niat-niatnya” (al-Imam al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, juz 6, hal. 294).
Penentuan jenis puasa (
ta’yin) disyaratkan dalam puasa wajib. Sedangkan puasa sunnah sah dilakukan dengan niat yang mutlak, semisal “aku niat berpuasa” tanpa menentukan jenis puasanya. Menurut Imam al-Nawawi dalam kitab al-Majmu’, pengecualian berlaku untuk jenis puasa sunnah rawatib, yaitu puasa yang rutin dilakukan yang memiliki waktu khusus seperti puasa Asyura, puasa Arafah, puasa enam hari Syawal dan lain sebagainya, maka wajib menentukan jenis puasa-puasa tersebut dalam pelaksanaan niatnya. Semisal “aku niat puasa Syawal”, “Aku niat puasa Asyura” dan lain sebagainya.
Untuk puasa Ramadan, contoh niatnya adalah “aku niat berpuasa Ramadan”, dan contoh niat yang paling sempurna adalah “aku niat berpuasa di esok hari karena menjalankan kewajiban Ramadan tahun ini karena Allah”.
Standar minimal niat puasa sebagaimana penjelasan di atas wajib dilakukan untuk jenis puasa apa pun, artinya tidak sah berpuasa tanpa tata cara niat sebagaimana penjelasan tersebut, misalnya orang berpuasa Ramadan niatnya “aku niat berpuasa karena diet”, yang demikian ini tidak sah, sebab tidak menyebutkan kata Ramadan dalam pelaksanaan niat.
Lalu bagaimana jika sudah niat puasa sesuai standar fiqih, namun disertai motivasi lain di luar ibadah, semisal diet.
Dalam hal ini diperinci menjadi dua kasus. Pertama, niat diet disertakan saat pelaksanaan niat puasa, semisal “aku niat berpuasa Ramadhan dan diet”. Ulama berbeda pendapat mengenai keabsahan puasanya. Menurut pendapat yang kuat, puasa Ramadannya tetap sah. Kasus yang demikian jarang sekali terjadi, bahkan hampir tidak ada.
Kedua, ada motivasi melakukan diet di luar pelaksanaan niat puasa. Kasus yang kedua ini banyak terjadi. Artinya, seseorang tetap niat puasa seperti aturan fiqih, namun ia memilki motivasi lain di luar puasa, yakni melakukan diet. Dalam hal ini, puasanya tetap dihukumi sah, sebab puasa telah dilakukan dengan niat sesuai standar fiqih.
Sedangkan untuk pahala, ulama berbeda pendapat. Menurut al-Imam al-Zarkasyi dan Izzuddin bin Abdissalam, tidak mendapat pahala puasa secara mutlak. Menurut Syekh Ibnu Hajar, mendapat pahala secara mutlak, baik tujuan ibadah lebih dominan, berimbang atau bahkan dikalahkan oleh tujuan diet.
Menurut Imam al-Ghazali diperinci, jika tujuan diet lebih dominan, maka pahala puasa tidak didapat, jika lebih dominan tujuan puasa, maka mendapat pahala. Jika keduanya berimbang, maka saling berguguran. Menurut sebagian ulama, bila dua tujuan berimbang, tetap mendapat pahala.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(PRI)