medcom.id, Jakarta: Tes Keperawanan yang dilakukan bagi wanita calon prajurit TNI dan petugas Polri dinilai tidak penting dan dapat merusak budaya Indonesia yang dikental dengan ketimuran.
Anggota Komisi VIII DPR Arzetty Bilbina Setyawan secara tegas menolak tes keperawanan dilakukan. Menurutnya, tes ‘dua jari’ itu tidak ada manfaatnya dan menimbulkan trauma calon prajurit.
“Tes ini membawa dampak psikologis yang buruk. Apalagi bagi wanita yang berasal dari daerah yang menganut budaya timur yang kuat, kita harus menjaga aurat. Tes keperawanan ini merusak budaya Indonesia,” kata Arzetty, ketika dihubungi, Jumat (15/5/2015).
Menurutnya, tes keperawanan tidak bisa memastikan apakah wanita itu masih perawan atau tidak, karena hasil hubungan badan hanya bisa diperiksa selaput dara. "Maaf, bisa saja sobek karena alasan lain," kata dia.
"Tes dua jari" terhadap perempuan calon tentara dan calon istri tentara sejatinya sudah jadi rahasia umum. Kasus ini meledak baru-baru ini setelah Human Rights Watch (HRW) mengeluarkan hasil wawancara mereka dengan 11 perempuan.
Hasil wawancara HRW cukup mencengangkan. Ternyata, mereka yang menjalankan tes keperawanan mengaku ujian itu menyakitkan, memalukan, dan meninggalkan trauma.
Tes keperawanan dilakukan berdasarkan Peraturan Kepala Polri Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pedoman Pemeriksaan Kesehatan Penerimaan Calon Anggota Polri. Pasal 36 menyebutkan calon anggota perwira perempuan harus menjalani pemeriksaan “obstetrics dan gynaecology” (rahim dan genitalia).
Tes dilakukan pada awal proses seleksi kesehatan sebagai bagian dari pemeriksaan fisik. Pusat Kedokteran dan Kesehatan (Pusdokkes Polri) biasa melakukan tes ini di Rumah Sakit Bhayangkara.
medcom.id, Jakarta: Tes Keperawanan yang dilakukan bagi wanita calon prajurit TNI dan petugas Polri dinilai tidak penting dan dapat merusak budaya Indonesia yang dikental dengan ketimuran.
Anggota Komisi VIII DPR Arzetty Bilbina Setyawan secara tegas menolak tes keperawanan dilakukan. Menurutnya, tes ‘dua jari’ itu tidak ada manfaatnya dan menimbulkan trauma calon prajurit.
“Tes ini membawa dampak psikologis yang buruk. Apalagi bagi wanita yang berasal dari daerah yang menganut budaya timur yang kuat, kita harus menjaga aurat. Tes keperawanan ini merusak budaya Indonesia,” kata Arzetty, ketika dihubungi, Jumat (15/5/2015).
Menurutnya, tes keperawanan tidak bisa memastikan apakah wanita itu masih perawan atau tidak, karena hasil hubungan badan hanya bisa diperiksa selaput dara. "Maaf, bisa saja sobek karena alasan lain," kata dia.
"Tes dua jari" terhadap perempuan calon tentara dan calon istri tentara sejatinya sudah jadi rahasia umum. Kasus ini meledak baru-baru ini setelah Human Rights Watch (HRW) mengeluarkan hasil wawancara mereka dengan 11 perempuan.
Hasil wawancara HRW cukup mencengangkan. Ternyata, mereka yang menjalankan tes keperawanan mengaku ujian itu menyakitkan, memalukan, dan meninggalkan trauma.
Tes keperawanan dilakukan berdasarkan Peraturan Kepala Polri Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pedoman Pemeriksaan Kesehatan Penerimaan Calon Anggota Polri. Pasal 36 menyebutkan calon anggota perwira perempuan harus menjalani pemeriksaan “obstetrics dan gynaecology” (rahim dan genitalia).
Tes dilakukan pada awal proses seleksi kesehatan sebagai bagian dari pemeriksaan fisik. Pusat Kedokteran dan Kesehatan (Pusdokkes Polri) biasa melakukan tes ini di Rumah Sakit Bhayangkara.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id(FZN)