medcom.id, Jakarta: Media sosial menyajikan segalanya serba cepat. Bahkan, untuk sebuah kesimpulan dari sebabak peristiwa. Malah kesannya, keburu nafsu. Perkara ini tampaknya kian menggejala di Indonesia.
Ambil misal, insiden pengeroyokan yang dialami Hermansyah, seorang ahli teknologi informasi Institut Teknologi Bandung (ITB) saat melintasi Tol Jagorawi arah Depok pada Minggu dini hari, 9 Juli kemarin. Kejadian itu langsung dibilang sebagian warganet sebagai skenario terencana. Nahasnya, anggapan itu muncul cuma lantaran satu pertimbangan, sang korban pernah menyebut percakapan pornografi antara Rizieq Shihab dan Firza Husein, palsu.
Baca: Penganiayaan Hermasnyah Diminta tak Dikaitkan Kasus Rizieq
Tuduhan itu amat massif di media sosial. Padahal, soal hukum, pihak berwajib sudah hafal betul apa yang mesti dilakukan.
Pascakebenaran
Bukan perkara sepele, jika melulu dianggap wajar, asumsi yang belum teruji kebenarannya itu bisa jadi terus menggelombang. Takutnya, persis sebait ungkapan, kesalahan yang diulang-ulang bisa dianggap kebenaran.
Meski akhirnya, menyebut dugaan itu sebagai sebuah kesalahan pun tak kalah taajul. Namun paling tidak, 'kesalahan' yang dimaksud adalah kekeliruan menyimpulkan sesuatu tanpa lebih dulu menimbang sumber-sumber yang layak dan kredibel. Terutama, tidak menghargai proses dan prosedur hukum yang berlaku.
Indonesia sudah cukup kenyang dengan gelombang dugaan, yang di kemudian hari menjadi desakan yang datang dari dunia maya. Tidak sekali dua opini liar terbentuk. Bahkan, tanpa sadar dikendalikan atau dimanfaatkan sebagian kelompok untuk kepentingan tertentu.
Upaya membentuk opini lewat media sosial tanpa fakta pendukung ini lazim disebut post truth, alias pascakebenaran. Saking maraknya tren tersebut, para ahli bahasa dari seluruh dunia berniat membahasnya dalam Indonesia International Graduate Conference on Communication (Indo-IGCC) 2017 pada 11-12 Juli besok, di Kampus FISIP UI Depok.
"Kejadian atau hal yang diambil hanya yang sesuai untuk mendukung opininya. Itulah juga bagian praktik post-truth," ujar Wakil Ketua Panitia Indo-IGCC Hendriyani, sebagaimana dilansir Media Indonesia.
Baca: Telanjur Viral Padahal Hoax
Post-truth muncul akibat perebutan pengaruh satu-dua pihak yang berkepentingan. Targetnya, 'fakta' yang dihasilkan dari konsep tersebut bisa diterima dengan mudah oleh publik karena lebih menguras sisi rasionalitas, bukan fakta lapangan.
Istilah ini pun terbilang anyar. Kamus Oxford bahkan baru memasukan lema ini pada 2016 lalu. Kata post-truth dianggap menjadi pilihan tepat bagi negara-negara seperti Amerika Serikat (AS) dan Inggris yang kala itu tengah merasa diancam perpecahan akibat lebih mendahulukan emosi dibanding fakta.
Baca: Oxford Mendaulat 'Post-Truth' Sebagai Kata Tahun 2016
Guru besar Ilmu Komunikasi FISIP UI Ibnu Hamad menyebut, setidaknya ada tiga elemen yang melahirkan tren post-truth di tengah masyarakat. Dalam opininya berjudul Kritik Post Truth yang dimuat di Media Indonesia pada 7 Juli 2017, ia menulis, pemilihan muatan wacana menjadi faktor pertama yang memberikan pengaruh.
"Wacana dalam post-truth didedikasikan untuk mengaduk-aduk emosi sebanyak mungkin audiens," tulis Ibnu.
Elemen kedua, pemilihan tanda. Perkara ini bisa saja meliputi bentuk kata yang digunakan, istilah, simbol, frasa, slogan, termasuk ukuran, tipe, dan warna.
"Ketiga, penonjolan, yakni wacana itu sebisa mungkin sampai ke audiens melalui langkah-langkah secara simultan: memperbesar peluang untuk diakses (opportunity to access/OTA), peluang untuk dibaca (opportunity to read/OTR), peluang untuk diingat (opportunity to memorize/OTM) dan peluang untuk dibagi (opportunity to share/OTS)," tulis Ibnu masih dalam artikel yang sama.
Tren pascakebenaran memang tidak terbangun secara alamiah. Tapi, tidak mudah juga menemukan hulu tempat fenomena ini bermula.
Satu hal yang paling bisa melawan gelombang di jagat maya ini adalah kesadaran kritis dari masyarakat itu sendiri. Pengembangan literasi makin perlu dilakukan agar warganet mampu memilah sumber dan isi berita yang lebih faktual.
Realita-virtual
Jagat maya, tampaknya memang sudah diramal bakal melahirkan banyak kejutan. Termasuk, adanya kecenderungan-kecenderungan baru yang berdampak pada dunia nyata.
Pembentukan opini yang sebelumnya lebih banyak dituduhkan kepada media massa, kini boleh saja dibilang batal.
Dalam Lubang Hitam Kebudayaan (2002), Hikmat Budiman bahkan menyebut ada yang melampaui media komunikasi massa dalam pembentukan masyarakat secara lebih cepat. Yakni, cyberspace alias dunia maya.
"Kalau teknik cetak dan radio menuturkan realitas, panggung, TV dan film mempertontonkan realitas, cyberspace mewujudkannya," tulis Hikmat.
Kemenangan dunia maya sudah kentara sejak awal penggagasannya. Hikmat menyebut, sejak mula ia tidak lebih dari pengintegrasian gairah-gairah hidup yang baru ke dalam sirkuit yang dihasilkan oleh perpaduan antara perangkat-perangkat keras dan lunak komputer yang dirancang khusus.
Padahal, lingkungan virtual dari perwujudan itu tidak bisa secara akurat membuat simulasi dunia nyata. Ia hanya bisa tampil 'real' untuk pemakai komputer dalam konteks interaksi antara dirinya dengan lingkungan virtual tersebut.
"Artinya, teknologi virtual bekerja dengan menciptakan bentuk-bentuk tampilan data bagi pemakai komputer untuk memperdalam ilusi tentang sebuah lingkungan 'real' yang, walau bagaimana, berbeda dengan realitas sehari-hari," tulis Hikmat masih dalam buku yang sama.
Jatuhnya, realitas virtual cuma semacam upaya untuk menerjemahkan mimpi menjadi keboleh-jadian elektronis.
Adalah Jean Baudrillard, pemikir post-strukturalisme yang kali pertama menyebut adanya kemungkinan-kemungkinan virtual tersebut.
Dalam Simulacra and Simulation (1981), ia menuliskan bahwa substansi dari gagasan virtualitas pada dasarnya tentang bagaimana spesies manusia akan dilibatkan, tanpa mengetahuinya, dalam tugas pemrograman kode untuk pelenyapan secara otomatis karena sudah tidak ada lagi realitas yang asli.
"Yang tinggal hanya salinan-salinan identik (simulacra) yang bahkan lebih asli dari yang asli," tulis Baudrillard.
Di titik ini, diperkenalkanlah konsep dunia simulasi. Penceritaan bisa dihadirkan seolah-olah nyata meski pada dasarnya cuma sebuah rekayasa.
Sedangkan simulacra, merupakan hukum perwujudan daur ulang dari sebuah obyek peristiwa. Seolah sama, padahal maya.
Realitas virtual, dan apa yang disebut cyberspace, oleh Baudrillard memang dinilai sebagai sesuatu yang rawan dimanipulasi. Pada tingkatan yang lebih ekstrem, bisa tercipta apa yang disebut hyperreality, yaitu sebuah tiruan dari kenyataan yang dibuat dan ditampilkan menjadi jauh lebih baik, lebih hebat, atau lebih sempurna dari kenyataan sesungguhnya.
Itu makanya, orang-orang yang tidak bertanggungjawab merasa beruntung betul atas kehadiran teknologi internet dan media sosial. Apalagi, jumlah penggunanya yang makin hari kian bertambah.
Socialmediatoday.com merilis, sebanyak 85% pengguna menjadikan Facebook dan Twitter sebagai sumber pertama di pagi hari.
Facebook dipakai 1,7 miliar orang per bulan, sementara pengguna harian Twitter sekitar 140 juta orang.
Hal ini pun, menjadi sebab mengapa kedua platform media sosial itu lebih dipilih sebagai saluran penyebaran berita, baik yang kredibel maupun hoax.
Dunia maya memang menghadirkan dampak positif maupun negatif. Post-truth, pencitraan dan pembentukan opini liar, persebaran kabar palsu, hingga persekusi, menjadi bagian dari tantangan bangsa Indonesia belakangan hari.
Namun upaya buruk itu akan percuma, jika masyarakat makin kritis dan mampu menimbang dengan jeli fakta demi fakta.
medcom.id, Jakarta: Media sosial menyajikan segalanya serba cepat. Bahkan, untuk sebuah kesimpulan dari sebabak peristiwa. Malah kesannya, keburu nafsu. Perkara ini tampaknya kian menggejala di Indonesia.
Ambil misal, insiden pengeroyokan yang dialami Hermansyah, seorang ahli teknologi informasi Institut Teknologi Bandung (ITB) saat melintasi Tol Jagorawi arah Depok pada Minggu dini hari, 9 Juli kemarin. Kejadian itu langsung dibilang sebagian warganet sebagai skenario terencana. Nahasnya, anggapan itu muncul cuma lantaran satu pertimbangan, sang korban pernah menyebut percakapan pornografi antara Rizieq Shihab dan Firza Husein, palsu.
Baca: Penganiayaan Hermasnyah Diminta tak Dikaitkan Kasus Rizieq
Tuduhan itu amat massif di media sosial. Padahal, soal hukum, pihak berwajib sudah hafal betul apa yang mesti dilakukan.
Pascakebenaran
Bukan perkara sepele, jika melulu dianggap wajar, asumsi yang belum teruji kebenarannya itu bisa jadi terus menggelombang. Takutnya, persis sebait ungkapan,
kesalahan yang diulang-ulang bisa dianggap kebenaran.
Meski akhirnya, menyebut dugaan itu sebagai sebuah kesalahan pun tak kalah taajul. Namun paling tidak, 'kesalahan' yang dimaksud adalah kekeliruan menyimpulkan sesuatu tanpa lebih dulu menimbang sumber-sumber yang layak dan kredibel. Terutama, tidak menghargai proses dan prosedur hukum yang berlaku.
Indonesia sudah cukup kenyang dengan gelombang dugaan, yang di kemudian hari menjadi desakan yang datang dari dunia maya. Tidak sekali dua opini liar terbentuk. Bahkan, tanpa sadar dikendalikan atau dimanfaatkan sebagian kelompok untuk kepentingan tertentu.
Upaya membentuk opini lewat media sosial tanpa fakta pendukung ini lazim disebut
post truth, alias pascakebenaran. Saking maraknya tren tersebut, para ahli bahasa dari seluruh dunia berniat membahasnya dalam
Indonesia International Graduate Conference on Communication (Indo-IGCC) 2017 pada 11-12 Juli besok, di Kampus FISIP UI Depok.
"Kejadian atau hal yang diambil hanya yang sesuai untuk mendukung opininya. Itulah juga bagian praktik
post-truth," ujar Wakil Ketua Panitia Indo-IGCC Hendriyani, sebagaimana dilansir
Media Indonesia.
Baca: Telanjur Viral Padahal Hoax
Post-truth muncul akibat perebutan pengaruh satu-dua pihak yang berkepentingan. Targetnya, 'fakta' yang dihasilkan dari konsep tersebut bisa diterima dengan mudah oleh publik karena lebih menguras sisi rasionalitas, bukan fakta lapangan.
Istilah ini pun terbilang anyar. Kamus
Oxford bahkan baru memasukan lema ini pada 2016 lalu. Kata
post-truth dianggap menjadi pilihan tepat bagi negara-negara seperti Amerika Serikat (AS) dan Inggris yang kala itu tengah merasa diancam perpecahan akibat lebih mendahulukan emosi dibanding fakta.
Baca: Oxford Mendaulat 'Post-Truth' Sebagai Kata Tahun 2016
Guru besar Ilmu Komunikasi FISIP UI Ibnu Hamad menyebut, setidaknya ada tiga elemen yang melahirkan tren
post-truth di tengah masyarakat. Dalam opininya berjudul
Kritik Post Truth yang dimuat di
Media Indonesia pada 7 Juli 2017, ia menulis, pemilihan muatan wacana menjadi faktor pertama yang memberikan pengaruh.
"Wacana dalam
post-truth didedikasikan untuk mengaduk-aduk emosi sebanyak mungkin audiens," tulis Ibnu.
Elemen kedua, pemilihan tanda. Perkara ini bisa saja meliputi bentuk kata yang digunakan, istilah, simbol, frasa, slogan, termasuk ukuran, tipe, dan warna.
"Ketiga, penonjolan, yakni wacana itu sebisa mungkin sampai ke audiens melalui langkah-langkah secara simultan: memperbesar peluang untuk diakses
(opportunity to access/OTA), peluang untuk dibaca
(opportunity to read/OTR), peluang untuk diingat
(opportunity to memorize/OTM) dan peluang untuk dibagi
(opportunity to share/OTS)," tulis Ibnu masih dalam artikel yang sama.
Tren pascakebenaran memang tidak terbangun secara alamiah. Tapi, tidak mudah juga menemukan hulu tempat fenomena ini bermula.
Satu hal yang paling bisa melawan gelombang di jagat maya ini adalah kesadaran kritis dari masyarakat itu sendiri. Pengembangan literasi makin perlu dilakukan agar warganet mampu memilah sumber dan isi berita yang lebih faktual.
Realita-virtual
Jagat maya, tampaknya memang sudah diramal bakal melahirkan banyak kejutan. Termasuk, adanya kecenderungan-kecenderungan baru yang berdampak pada dunia nyata.
Pembentukan opini yang sebelumnya lebih banyak dituduhkan kepada media massa, kini boleh saja dibilang batal.
Dalam
Lubang Hitam Kebudayaan (2002), Hikmat Budiman bahkan menyebut ada yang melampaui media komunikasi massa dalam pembentukan masyarakat secara lebih cepat. Yakni,
cyberspace alias dunia maya.
"Kalau teknik cetak dan radio menuturkan realitas, panggung, TV dan film mempertontonkan realitas,
cyberspace mewujudkannya," tulis Hikmat.
Kemenangan dunia maya sudah kentara sejak awal penggagasannya. Hikmat menyebut, sejak mula ia tidak lebih dari pengintegrasian gairah-gairah hidup yang baru ke dalam sirkuit yang dihasilkan oleh perpaduan antara perangkat-perangkat keras dan lunak komputer yang dirancang khusus.
Padahal, lingkungan virtual dari perwujudan itu tidak bisa secara akurat membuat simulasi dunia nyata. Ia hanya bisa tampil
'real' untuk pemakai komputer dalam konteks interaksi antara dirinya dengan lingkungan virtual tersebut.
"Artinya, teknologi virtual bekerja dengan menciptakan bentuk-bentuk tampilan data bagi pemakai komputer untuk memperdalam ilusi tentang sebuah lingkungan
'real' yang, walau bagaimana, berbeda dengan realitas sehari-hari," tulis Hikmat masih dalam buku yang sama.
Jatuhnya, realitas virtual cuma semacam upaya untuk menerjemahkan mimpi menjadi keboleh-jadian elektronis.
Adalah Jean Baudrillard, pemikir
post-strukturalisme yang kali pertama menyebut adanya kemungkinan-kemungkinan virtual tersebut.
Dalam
Simulacra and Simulation (1981), ia menuliskan bahwa substansi dari gagasan virtualitas pada dasarnya tentang bagaimana spesies manusia akan dilibatkan, tanpa mengetahuinya, dalam tugas pemrograman kode untuk pelenyapan secara otomatis karena sudah tidak ada lagi realitas yang asli.
"Yang tinggal hanya salinan-salinan identik
(simulacra) yang bahkan lebih asli dari yang asli," tulis Baudrillard.
Di titik ini, diperkenalkanlah konsep dunia simulasi. Penceritaan bisa dihadirkan seolah-olah nyata meski pada dasarnya cuma sebuah rekayasa.
Sedangkan
simulacra, merupakan hukum perwujudan daur ulang dari sebuah obyek peristiwa. Seolah sama, padahal maya.
Realitas virtual, dan apa yang disebut
cyberspace, oleh Baudrillard memang dinilai sebagai sesuatu yang rawan dimanipulasi. Pada tingkatan yang lebih ekstrem, bisa tercipta apa yang disebut
hyperreality, yaitu sebuah tiruan dari kenyataan yang dibuat dan ditampilkan menjadi jauh lebih baik, lebih hebat, atau lebih sempurna dari kenyataan sesungguhnya.
Itu makanya, orang-orang yang tidak bertanggungjawab merasa beruntung betul atas kehadiran teknologi internet dan media sosial. Apalagi, jumlah penggunanya yang makin hari kian bertambah.
Socialmediatoday.com merilis, sebanyak 85% pengguna menjadikan
Facebook dan
Twitter sebagai sumber pertama di pagi hari.
Facebook dipakai 1,7 miliar orang per bulan, sementara pengguna harian
Twitter sekitar 140 juta orang.
Hal ini pun, menjadi sebab mengapa kedua platform media sosial itu lebih dipilih sebagai saluran penyebaran berita, baik yang kredibel maupun
hoax.
Dunia maya memang menghadirkan dampak positif maupun negatif.
Post-truth, pencitraan dan pembentukan opini liar, persebaran kabar palsu, hingga persekusi, menjadi bagian dari tantangan bangsa Indonesia belakangan hari.
Namun upaya buruk itu akan percuma, jika masyarakat makin kritis dan mampu menimbang dengan jeli fakta demi fakta.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id(SBH)