medcom.id, Jakarta: Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai perlu ada perbaikan mendasar terhadap model pengenalan sekolah kepada siswa baru. Hal itu merujuk banyaknya siswa baru yang mengalami kekerasan fisik saat mengikuti kegiatan masa orientasi siswa (MOS).
Komisioner KPAI bidang Pendidikan, Susanto, mengatakan MOS secara konseptual positif. Tapi, praktik MOS identik dengan kekerasan dan pelembagaan kekerasan yang dilakukan secara terstruktur.
"Sehingga perlu upaya extraordinary untuk memutus mata rantai kekerasan atas nama MOS, dimulai dari penghapusan istilah MOS dan perumusan model pengenalan sekolah terhadap siswa baru yang ramah anak," ujar Susanto dalam keterangan tertulis kepada Metrotvnews.com, Selasa (4/8/2015).
Menurutnya, MOS secara psikologis masih menjadi metode legal buat oknum kakak kelas melakukan kekerasan. Baik itu karena senioritas, dendam sejarah maupun kekerasan yang sudah dianggap sebagai budaya biasa saat pengenalan lingkungan sekolah pada siswa baru.
Pengenalan proses belajar, lingkungan dan program sekolah, kata dia, perlu dirumuskan kembali agar dapat menjadi wahana konstruktif untuk membentuk jati diri siswa baru menjadi 'pembelajar,' bukan menjadi momentum 'pewaris' budaya kekerasan.
"Jika ini dibiarkan, kita akan kehilangan generasi berkualitas. Karena sekolah yang sejatinya sebagai laboratorium nilai, berubah menjadi laboratorium yg tidak disadari men-sahihkan kekerasan," tukas Susanto.
medcom.id, Jakarta: Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai perlu ada perbaikan mendasar terhadap model pengenalan sekolah kepada siswa baru. Hal itu merujuk banyaknya siswa baru yang mengalami kekerasan fisik saat mengikuti kegiatan masa orientasi siswa (MOS).
Komisioner KPAI bidang Pendidikan, Susanto, mengatakan MOS secara konseptual positif. Tapi, praktik MOS identik dengan kekerasan dan pelembagaan kekerasan yang dilakukan secara terstruktur.
"Sehingga perlu upaya extraordinary untuk memutus mata rantai kekerasan atas nama MOS, dimulai dari penghapusan istilah MOS dan perumusan model pengenalan sekolah terhadap siswa baru yang ramah anak," ujar Susanto dalam keterangan tertulis kepada Metrotvnews.com, Selasa (4/8/2015).
Menurutnya, MOS secara psikologis masih menjadi metode legal buat oknum kakak kelas melakukan kekerasan. Baik itu karena senioritas, dendam sejarah maupun kekerasan yang sudah dianggap sebagai budaya biasa saat pengenalan lingkungan sekolah pada siswa baru.
Pengenalan proses belajar, lingkungan dan program sekolah, kata dia, perlu dirumuskan kembali agar dapat menjadi wahana konstruktif untuk membentuk jati diri siswa baru menjadi 'pembelajar,' bukan menjadi momentum 'pewaris' budaya kekerasan.
"Jika ini dibiarkan, kita akan kehilangan generasi berkualitas. Karena sekolah yang sejatinya sebagai laboratorium nilai, berubah menjadi laboratorium yg tidak disadari men-sahihkan kekerasan," tukas Susanto.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id(TII)