Jakarta: Halloween merupakan perayaan internasional yang diperingati setiap tanggal 31 Oktober. Untuk merayakannya, masyarakat di seluruh dunia akan mengenakan kostum bernuansa horor.
Halloween pada dasarnya adalah malam perayaan Hari All Saints atau All Hallows’. Halloween merupakan singkatan dari All Hallows Eve.
Melansir laman History, Halloween berawal dari festival Samhain di antara Celtic kuno. Bangsa Celtic yang hidup 2.000 tahun lalu, yang sebagian tinggal di wilayah yang kini menjadi Irlandia, Inggris, dan Prancis bagian utara, merayakan tahun baru mereka pada tanggal 1 November.
Hari tersebut menandai akhir musim panas dan panen, serta awal musim dingin. Karena suasana cenderung gelap dan dingin, malam sebelum tahun baru kerap dikaitkan dengan kematian manusia.
Perayaan Halloween pada 31 Oktober selalu dirayakan oleh masyarakat di seluruh dunia. Perayaan Halloween merupakan tradisi dari Barat yang lekat dengan aliran kepercayaan Pagan.
Hukum merayakan Halloween dalam Islam?
Seiring berjalannya waktu, perayaan Halloween juga kerap diikuti oleh umat muslim. Lalu bagaimana hukum merayakan Halloween dalam Islam?
Mengutip laman NU Online, hal ini dijelaskan dalam hadis riwayat Abu Dawud:
Artinya: Siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari mereka (HR: Abu Dawud)
Dalam syarah Sunan Abi Dawud berjudul Aunul Ma’bud disebutkan:
Artinya: Maksud redaksi “siapa yang menyerupai suatu kaum” menurut pendapat Munawi dan Al-Alaqami adalah berbusana seperti busana mereka, berjalan, bertingkah seperti mereka. Sedangkan menurut Ali al-Qari adalah siapapun yang menyamakan dirinya dengan misalnya busana atau apapun yang berkaitan dengan kaum kafir, atau dengan kaum fasik, kaum durjana, atau dengan ahli tasawuf maupun orang-orang shalih.
Lebih jelasnya, bahwa seseorang yang menyerupai suatu kaum, baik kaum kafir, pelaku dosa, orang shaleh dan sebagainya itu sama dengan mencerminkan dirinya sendiri; Siapa saja yang merayakannya dalam rangka rela dengan kemaksiatan, kekufuran, kemungkaran, maka ia termasuk di dalamnya. Pun siapa saja yang merayakan maulud Nabi dan mengekspresikan kegembiraannya dengan perayaan topeng muludan, maka ia termasuk di dalamnya.
Lantas bagaimana hukumnya berbusana menyerupai orang kafir?
Artinya: Kesimpulan dari pernyataan ulama tentang berbusana menyerupai orang-orang kafir adalah; adakalanya dalam berbusana menyerupai mereka itu karena timbul rasa suka kepada agama mereka dan bertujuan untuk bisa serupa dengan mereka dalam syiar-syiar kafir atau agar bisa bepergian bersama mereka ke tempat peribadatan mereka, maka dalam dua hal ini dia menjadi kafir; adakalanya tidak bertujuan semacam itu, yakni hanya sekedar menyerupai mereka dalam perayaan hari raya atau sebagai media agar bisa berinteraksi sosial dengan mereka dalam beberapa hal yang diperkenankan, maka ia berdosa (tidak sampai kafir); adakalanya ia setuju dengan busana orang kafir tanpa ada suatu tujuan apapun, maka hukumnya makruh seperti mengikat selendang dalam shalat. (Bughyah al-Mustarsyidiin, I/529).
Dari sini jelas bahwa hukum berpakaian menyerupai orang kafir tidak bisa digeneralisir, dan bisa diklasifikasin sebagai berikut:
1. Bila penyerupaannya bertujuan meniru orang kafir untuk ikut menyemarakkan kekafirannya maka hukumnya menjadi kafir.
2. Bila penyerupaannya bertujuan hanya meniru tanpa disertai untuk ikut menyemarakkan kekafirannya, maka hukumnya tidak kafir, namun berdosa.
3. Bila penyerupaannya tidak sengaja meniru sama sekali, akan tetapi sekedar menjalani sesuatu yang kebetulan sama dengan mereka, maka tidak haram tetapi makruh.
Oleh karenanya, merayakan pesta Halloween dengan berbusana menyerupai orang kafir tidak serta merta langsung dihukumi kafir, sebab pesta Halloween telah mengalami akulturasi antara Celtic dan Romawi.
Perayaan Halloween menjadi haram, bahkan mengakibatkan kafir apabila pelakunya senang mengenakan busana peribadatan agama lain (misal busana pastur, suster dan lainnya) yang cenderung agama lain.
Jakarta:
Halloween merupakan perayaan internasional yang diperingati setiap tanggal 31 Oktober. Untuk merayakannya, masyarakat di seluruh dunia akan mengenakan kostum bernuansa
horor.
Halloween pada dasarnya adalah malam perayaan Hari All Saints atau All Hallows’. Halloween merupakan singkatan dari All Hallows Eve.
Melansir laman
History, Halloween berawal dari festival Samhain di antara Celtic kuno. Bangsa Celtic yang hidup 2.000 tahun lalu, yang sebagian tinggal di wilayah yang kini menjadi Irlandia, Inggris, dan Prancis bagian utara, merayakan tahun baru mereka pada tanggal 1 November.
Hari tersebut menandai akhir musim panas dan panen, serta awal musim dingin. Karena suasana cenderung gelap dan dingin, malam sebelum tahun baru kerap dikaitkan dengan kematian manusia.
Perayaan Halloween pada 31 Oktober selalu dirayakan oleh masyarakat di seluruh dunia. Perayaan Halloween merupakan tradisi dari Barat yang lekat dengan aliran kepercayaan Pagan.
Hukum merayakan Halloween dalam Islam?
Seiring berjalannya waktu, perayaan Halloween juga kerap diikuti oleh umat muslim. Lalu bagaimana hukum merayakan Halloween dalam Islam?
Mengutip laman
NU Online, hal ini dijelaskan dalam hadis riwayat Abu Dawud:
Artinya: Siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari mereka (HR: Abu Dawud)
Dalam syarah Sunan Abi Dawud berjudul Aunul Ma’bud disebutkan:
Artinya: Maksud redaksi “siapa yang menyerupai suatu kaum” menurut pendapat Munawi dan Al-Alaqami adalah berbusana seperti busana mereka, berjalan, bertingkah seperti mereka. Sedangkan menurut Ali al-Qari adalah siapapun yang menyamakan dirinya dengan misalnya busana atau apapun yang berkaitan dengan kaum kafir, atau dengan kaum fasik, kaum durjana, atau dengan ahli tasawuf maupun orang-orang shalih.
Lebih jelasnya, bahwa seseorang yang menyerupai suatu kaum, baik kaum kafir, pelaku dosa, orang shaleh dan sebagainya itu sama dengan mencerminkan dirinya sendiri; Siapa saja yang merayakannya dalam rangka rela dengan kemaksiatan, kekufuran, kemungkaran, maka ia termasuk di dalamnya. Pun siapa saja yang merayakan maulud Nabi dan mengekspresikan kegembiraannya dengan perayaan topeng muludan, maka ia termasuk di dalamnya.
Lantas bagaimana hukumnya berbusana menyerupai orang kafir?
Artinya: Kesimpulan dari pernyataan ulama tentang berbusana menyerupai orang-orang kafir adalah; adakalanya dalam berbusana menyerupai mereka itu karena timbul rasa suka kepada agama mereka dan bertujuan untuk bisa serupa dengan mereka dalam syiar-syiar kafir atau agar bisa bepergian bersama mereka ke tempat peribadatan mereka, maka dalam dua hal ini dia menjadi kafir; adakalanya tidak bertujuan semacam itu, yakni hanya sekedar menyerupai mereka dalam perayaan hari raya atau sebagai media agar bisa berinteraksi sosial dengan mereka dalam beberapa hal yang diperkenankan, maka ia berdosa (tidak sampai kafir); adakalanya ia setuju dengan busana orang kafir tanpa ada suatu tujuan apapun, maka hukumnya makruh seperti mengikat selendang dalam shalat. (Bughyah al-Mustarsyidiin, I/529).
Dari sini jelas bahwa hukum berpakaian menyerupai orang kafir tidak bisa digeneralisir, dan bisa diklasifikasin sebagai berikut:
1. Bila penyerupaannya bertujuan meniru orang kafir untuk ikut menyemarakkan kekafirannya maka hukumnya menjadi kafir.
2. Bila penyerupaannya bertujuan hanya meniru tanpa disertai untuk ikut menyemarakkan kekafirannya, maka hukumnya tidak kafir, namun berdosa.
3. Bila penyerupaannya tidak sengaja meniru sama sekali, akan tetapi sekedar menjalani sesuatu yang kebetulan sama dengan mereka, maka tidak haram tetapi makruh.
Oleh karenanya, merayakan pesta Halloween dengan berbusana menyerupai orang kafir tidak serta merta langsung dihukumi kafir, sebab pesta Halloween telah mengalami akulturasi antara Celtic dan Romawi.
Perayaan Halloween menjadi haram, bahkan mengakibatkan kafir apabila pelakunya senang mengenakan busana peribadatan agama lain (misal busana pastur, suster dan lainnya) yang cenderung agama lain.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(PRI)