Gubernur DKI Jakarta Basuki T Purnama. (MI/Arya Manggala)
Gubernur DKI Jakarta Basuki T Purnama. (MI/Arya Manggala)

Menyepakati Tuntas Fitnah Sumber Waras

Sobih AW Adnan • 17 Juni 2016 00:23
medcom.id, Jakarta: Bak credit title yang bergerak di pengujung pemutaran sejudul film, keterangan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo di sela rapat dengan anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kemarin sebenarnya sudah membuat semuanya terang benderang. Dengan tegas, KPK menyatakan bahwa pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras tidak ditemukan indikasi perbuatan melawan hukum. 
 
Namun tetap saja, karena mungkin ini dianggap oleh sebagian orang sebagai tontonan menarik dan harus diperpanjang masa tayangnya, maka bagi yang tidak sependapat akan lebih memilih untuk kembali menekan KPK agar mempertimbangkan ulang hasil yang terlebih dulu dimunculkan BPK. Tak lain dan tak bukan, bahwa berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, mereka ngotot bahwa dalam proses yang dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta itu telah merugikan negara sebesar Rp191 miliar.
 
KPK telah menunaikan tugasnya. Ia tidak sendirian. Dalam melakukan penyelidikan sebagaimana yang diharapkan banyak pihak, ia menggandeng sejumlah ahli. Antara lain Universitas Gadjah Mada, Universitas Indonesia, serta Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia. Kesemuanya serasa dan senada bahwa; tidak ada indikasi tindak pidana atau aksi melawan hukum dalam proses pembelian lahan tersebut. Sementara BPK, boleh jadi ada banyak hal lain yang tidak bisa ditimbang oleh KPK, yakni landasan, tujuan, atau motivasi di balik sikap begitu kekeuhnya untuk mentersangkakan Gubernur DKI Jakarta Basoeki Tjahaya Purnama alias Ahok.
 
Menyepakati Tuntas Fitnah Sumber Waras
 
Lanjut boleh, asal ada bukti
 
Sah-sah saja menyangsikan keterangan hasil penyelidikan yang dipaparkan KPK tempo hari. Asal semuanya harus berdiri sejajar dan sama di atas bukti-bukti yang kuat. Satu langkah cukup baik sudah dilakukan Fraksi Partai Gerindra yang mencoba beberapa kali melemparkan pertanyaan yang meragukan hasil penyelidikan tersebut. Juga mengritik KPK yang seolah-olah tak menyentuh atau mempertimbangkan barang sedikit pun hasil temuan BPK. Sayangnya, semua tampak hanya dikemas sebagai keluhan, bukan dengan argumentasi kuat yang pada akhirnya mampu membuka mata publik memang dugaan kejanggalan tersebut memang ada. Bukan hanya halusinasi dan ketidakjelasan.
 
"Bagi saya ini kesalahan kita sebagai aparatur negara yang mempertontonkan di tengah masyarakat bahwa kita tidak percaya dengan BPK. Seolah BPK itu kita adili," kata Ketua Panitia Kerja (Panja) Penegakan Hukum sekaligus anggota Fraksi Partai Gerindra DPR RI Desmond Mahesa dalam kesempatan rapat mendengar laporan penyelidikan KPK di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (15/6/2016).
 

Nafsu Fraksi Partai Gerindra ini kemudian ditangkap dan didengar banyak orang. Termasuk yang oleh koordinator Indonesian Corruption Watch (ICW) Febri Hendri ditanggapi dengan enteng bahwa di balik itu semua sangat mungkin adanya dugaan kepentingan politik terkait majunya Ahok di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta pada 2017 mendatang.
 
"Mungkin ngototnya supaya ahok jadi tersangka, supaya tidak jadi mencalonkan gubernur. Ngotot boleh, asal punya bukti," ujar Febri.
 
Mudah dan jelas
 
Kasus dengan suhu panas cukup lama ini dianggap oleh sebagian publik sebenarnya sebagai sesuatu yang sederhana dan jelas. Akar persoalan kasus ini bertumpu pada perbedaan anggapan lokasi lahan RS Sumber Waras dengan konsekuensi akan menentukan besaran Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang berujung pada kerugian uang negara. Versi Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) menilai lahan itu berada di Jalan Tomang Utara, sedangkan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama meyakini lahan itu ada di Jalan Kyai Tapa. Pada gelindingan isu pertama, menguatkan pernyataan Ahok muncul pengakuan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jakarta Barat Sumanto yang mengatakan Sumber Waras berada di Jalan Kiai Tapa, Grogol, Jakarta Barat sesuai dengan sertifikat BPN tahun 1968 Nomor 2787.
 
Pakar hukum Refly Harun mengatakan persoalan berikutnya muncul akibat alotnya BPK untuk mengoreksi kembali pernyataan yang sudah terlanjur dilontarkan ke publik. Bukan hanya itu, isu ini kemudian menjadi runyam ketika BPK tampak terus maju berdasarkan versi dan hitungannya sendiri. Jika BPK pada proses ini tidak segera mengakui kesalahannya maka jangan salah kredibilias satu lembaga ini akan semakin merosot di mata masyarakat.
 
"Lalu memaksa KPK untuk melakukan penyelidikan sebuah tindak pidana yang tidak jelas. Apanya yang mau diselidiki?, semua dokumen mengatakan Kyai Tapa. Ini aneh," kata Refly dalam tayangan Primetime News di Metro TV, Selasa (14/6/2016).
 
BPK semestinya terlebih dulu memastikan apakah benar ada indikasi tindak pidana korupsi pada kasus pembelian lahan RS Sumber Waras. Karena pada prosesnya, kata Refly, meski misal dipaksa tampak kekeliruan namun tindak pidana korupsi itu tidak muncul bersama dengan bukti kuat, maka itu hanya akan memiliki keterkaitan dengan UU Administrasi pemerintahan, yakni perihal kesalahan prosedur administratif.  
 
"Dan sepanjang tidak ada tindak pidana, maka bisa diperbaiki jika itu dianggap salah," kata Refly.
 
Di sisi lain, BPK yang bersikeras berpaku pada landasan UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum juga tampak janggal. Karena peraturan turunan terbaru terkait pijakan itu sudah lama terbit, yakni Perpres No 40/2014 tentang Perubahan atas Perpres 71/2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Pada titik ini, semestinya BPK lebih dulu membenahi kemampuannya dalam melakukan investigasi karena masih saja terjebak pada aturan-aturan lampau.

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ADM)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan