medcom.id, Jakarta: Tindakan intoleransi semakin mengemuka ketika momen-momen pemilihan kepala daerah. Semangat kesatuan untuk mempertahankan nilai kebangsaan dan nasionalisme mulai tergerus oleh ormas-ormas yang berambisi mendirikan kekhilafahan.
"Saya melihat nasionalisme di Indonesia mulai tergerus berbagai sentimen keagamaan. Hal itu digoyang oleh tuntutan ormas tertentu yang ingin mendirikan kekhalifahan, padahal Pancasila tidak demikian," ujar Sejarawan LIPI Asvi Warman Adam, dalam Primetime News, Minggu 7 Mei 2017.
Asvi melihat ada perbedaan signifikan antara pengerahan massa pada penghujung 2016 dan pada pertengahan September 1945 yang terjadi di sekitar Monumen Nasional, Jakarta Pusat.
Kala itu, massa yang jumlahnya ratusan orang, jumlah yang cukup besar pada era itu, berkumpul menyelenggarakan rapat raksasa di lapangan Ikada untuk menunjukkan rasa bangga menjadi bangsa Indonesia. Meskipun saat itu Indonesia dibayangi oleh tentara Jepang yang mengancam hukuman mati kepada siapa saja yang berkumpul lebih dari 5 orang.
"Dibandingkan dengan sekarang saya melihat rasa kebangsaan itu tidak menjadi alasan, yang kentara justru sentimen agama. Aksi dikaitkan dengan penistaan agama dan sebagainya, di situlah perbedaannya," kata Asvi.
Menurut Asvi, hal lain yang sangat kentara adalah penggunaan Masjid Istiqlal. Dulu Istiqlal dibangun oleh Presiden Soekarno untuk menciptakan keberagaman umat Islam karena letaknya yang bersebelahan dengan gerja Katedral dan betul-betul menjadi tempat ibadah.
Saat ini, Asvi melihat fungsi masjid itu tak lagi menjadi pusat ibadah, melainkan bergeser sebagai titik kumpul untuk melakukan demonstrasi.
"Itu sangat disayangkan. Tahun '45 pemimpin kita sepakat menjadikan Pancasila sebagai dasar negara, dan Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi dasar yang disepakai. Seyogyanya itu tidak diubah lagi, Pancasila dasar negara kita dan tidak boleh diganti dengan dasar negara lain," jelas Asvi.
medcom.id, Jakarta: Tindakan intoleransi semakin mengemuka ketika momen-momen pemilihan kepala daerah. Semangat kesatuan untuk mempertahankan nilai kebangsaan dan nasionalisme mulai tergerus oleh ormas-ormas yang berambisi mendirikan kekhilafahan.
"Saya melihat nasionalisme di Indonesia mulai tergerus berbagai sentimen keagamaan. Hal itu digoyang oleh tuntutan ormas tertentu yang ingin mendirikan kekhalifahan, padahal Pancasila tidak demikian," ujar Sejarawan LIPI Asvi Warman Adam, dalam
Primetime News, Minggu 7 Mei 2017.
Asvi melihat ada perbedaan signifikan antara pengerahan massa pada penghujung 2016 dan pada pertengahan September 1945 yang terjadi di sekitar Monumen Nasional, Jakarta Pusat.
Kala itu, massa yang jumlahnya ratusan orang, jumlah yang cukup besar pada era itu, berkumpul menyelenggarakan rapat raksasa di lapangan Ikada untuk menunjukkan rasa bangga menjadi bangsa Indonesia. Meskipun saat itu Indonesia dibayangi oleh tentara Jepang yang mengancam hukuman mati kepada siapa saja yang berkumpul lebih dari 5 orang.
"Dibandingkan dengan sekarang saya melihat rasa kebangsaan itu tidak menjadi alasan, yang kentara justru sentimen agama. Aksi dikaitkan dengan penistaan agama dan sebagainya, di situlah perbedaannya," kata Asvi.
Menurut Asvi, hal lain yang sangat kentara adalah penggunaan Masjid Istiqlal. Dulu Istiqlal dibangun oleh Presiden Soekarno untuk menciptakan keberagaman umat Islam karena letaknya yang bersebelahan dengan gerja Katedral dan betul-betul menjadi tempat ibadah.
Saat ini, Asvi melihat fungsi masjid itu tak lagi menjadi pusat ibadah, melainkan bergeser sebagai titik kumpul untuk melakukan demonstrasi.
"Itu sangat disayangkan. Tahun '45 pemimpin kita sepakat menjadikan Pancasila sebagai dasar negara, dan Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi dasar yang disepakai. Seyogyanya itu tidak diubah lagi, Pancasila dasar negara kita dan tidak boleh diganti dengan dasar negara lain," jelas Asvi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(MEL)