medcom.id, Jakarta: Direktur Eksekutif Lingkar Madani (Lima) Indonesia Ray Rangkuti mengatakan TV One telah menodai kebebasan pers dan demokrasi setelah menyerang calon presiden Joko Widodo dengan isu komunis.
“Sulit menyebut hal ini sebagai bagian dari kebebasan pers. Jokowi dan PDI Perjuangan mengusung komunisme diberitakan dengan cara menghubung-hubungkan antar-peristiwa tanpa riset mendalam ” kata Ray di Jakarta, Kamis (3/7/2014) malam.
Ray mengaku heran karena fitnah terus beruntun mendera Jokowi mulai dari Jokowi kafir, agen asing, munafik dan kini sebagai agen komunis. Ia mengatakan para pembuat fitnah tidak pernah berlajar dari kegagalan dan justru mengotori demokrasi.
“Para pembuat fitnah tidak malu dan mengotori demokrasi. Bahkan mereka memakai demokrasi untuk menghancurkannya dari dalam dengan menyebar fitnah,” kritiknya.
Pengamat yang banyak mendalami persoalan pemilu itu sangat menyayangkan jika ruang publik digunakan untuk mengumbar fitnah.
Terkait pemberitaan TV One, Ray bertanya apakah televisi yang dimiliki Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie--partai yang dibesarkan di Rezim Orde Baru--itu akan terus menggunakan pola-pola seperti itu lagi.
“TV One itu dimiliki Aburizal Bakrie yang sekarang menjadi ketua partai yang didirikan dan dibesarkan Soeharto. Akibat stigma tanpa dasar di era Orde Baru, ratusan ribu orang dirampas haknya tanpa persidangan hanya karena distigma sebagai PKI. Apakah pola-pola seperti ini lagi yang mau dipergunakan?” tegasnya.
Menurutnya, di era reformasi ini, hanya pengadilan yang berwenang menetapkan seseorang atau organisasi tertentu sebagai PKI atau tidak. "Bukan TV One yang menentukan. Sudah saatnya Komisi Penyiaran Indonesia dan Dewan Pers bertindak,” tegas Ray. (*)
medcom.id, Jakarta: Direktur Eksekutif Lingkar Madani (Lima) Indonesia Ray Rangkuti mengatakan
TV One telah menodai kebebasan pers dan demokrasi setelah menyerang calon presiden Joko Widodo dengan isu komunis.
“Sulit menyebut hal ini sebagai bagian dari kebebasan pers. Jokowi dan PDI Perjuangan mengusung komunisme diberitakan dengan cara menghubung-hubungkan antar-peristiwa tanpa riset mendalam ” kata Ray di Jakarta, Kamis (3/7/2014) malam.
Ray mengaku heran karena fitnah terus beruntun mendera Jokowi mulai dari Jokowi kafir, agen asing, munafik dan kini sebagai agen komunis. Ia mengatakan para pembuat fitnah tidak pernah berlajar dari kegagalan dan justru mengotori demokrasi.
“Para pembuat fitnah tidak malu dan mengotori demokrasi. Bahkan mereka memakai demokrasi untuk menghancurkannya dari dalam dengan menyebar fitnah,” kritiknya.
Pengamat yang banyak mendalami persoalan pemilu itu sangat menyayangkan jika ruang publik digunakan untuk mengumbar fitnah.
Terkait pemberitaan
TV One, Ray bertanya apakah televisi yang dimiliki Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie--partai yang dibesarkan di Rezim Orde Baru--itu akan terus menggunakan pola-pola seperti itu lagi.
“
TV One itu dimiliki Aburizal Bakrie yang sekarang menjadi ketua partai yang didirikan dan dibesarkan Soeharto. Akibat stigma tanpa dasar di era Orde Baru, ratusan ribu orang dirampas haknya tanpa persidangan hanya karena distigma sebagai PKI. Apakah pola-pola seperti ini lagi yang mau dipergunakan?” tegasnya.
Menurutnya, di era reformasi ini, hanya pengadilan yang berwenang menetapkan seseorang atau organisasi tertentu sebagai PKI atau tidak. "Bukan
TV One yang menentukan. Sudah saatnya Komisi Penyiaran Indonesia dan Dewan Pers bertindak,” tegas Ray. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(NAV)