Petugas mencocokan data warga peserta BPJS di kantor pelayanan BPJS Kesehatan Kota Depok, Jawa Barat. (ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso)
Petugas mencocokan data warga peserta BPJS di kantor pelayanan BPJS Kesehatan Kota Depok, Jawa Barat. (ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso)

FOKUS

BPJS dan Diskriminasi Pasien

Coki Lubis • 27 Januari 2017 21:09
medcom.id, Jakarta: Sejak sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) resmi berlaku, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sebagai penyelenggara selalu mengalami defisit. Pada dari 2014 defisit Rp3,3 triliun, 2015 defisit Rp6 triliun,  dan sekarang menyentuh Rp8–9 triliun. Seperti biasa, defisit tersebut ditutup pemerintah melalui APBN 2016.
 
Problem keuangan ini tidak bisa dilihat sebagai perkara biasa. Masalahnya menyangkut hak kesehatan masyarakat yang sudah dijamin konstitusi.
 
Kini, pemerintah tengah merancang siasat buat mengatasinya. Caranya, kata Menteri Koordinator Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani, lewat wacana Peraturan Presiden (Perpres) soal pengendalian defisit BPJS.
 
"Kami sudah perintahkan Dirut BPJS menghitung. Apa saja yang sekiranya tanpa membebankan rakyat dan mengurangi defisit BPJS," ucap Puan usai Rapat Arahan Strategis Nasional BPJS Kesehatan di Palembang, Sumatera Selatan, Rabu (25/1/2017).
 
Selain itu, pola pengoperasiannya juga dinilai belum sempurna. Alhasil, BPJS menjadi momok bagi fasilitas kesehatan di negeri ini. Keluhan terbanyak adalah soal klaim.
 
Perkara ini disebut-sebut menjadi penyebab utama krisis keuangan pada sejumlah Rumah Sakit, khususnya yang berplat merah. Salah satunya Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr Soekardjo Kota Tasikmalaya. Dikabarkan, pihak RS belum bisa mencairkan klaim pasien.
 
Akibatnya, RSUD Soekardjo mengalami krisis keuangan, dan berdampak pada krisis obat. Sebagian perusahaan pemasok obat menghentikan sementara penyaluran obat. Alasannya, rumah sakit tak mampu membayar tagihan pembelian obat senilai Rp 25,6 miliar.
 
Jadi, dimungkinkan, inilah penyebab munculnya kasus diskriminasi pasien. Ya. Pasien BPJS seolah menjadi beban bagi RS.
 
Hal ini diakui pakar pelayanan kesehatan Hasbullah Thabrany, yang juga konsultan ahli Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (KemenkoPMK).
 
"Jangankan daerah, di Jakarta saja banyak tindakan diskriminatif pasien," kata Hasbullah saat berbincang dengan metrotvnews.com, Kamis (26/1/2017).
 
Contohnya, kata Hasbullah, soal antrian. Waktu tunggu untuk terapi radiologi saja, untuk pasien BPJS bisa 6 sampai 12 bulan. "Ini terjadi karena mereka (Rumah Sakit) memberikan kuota. Kontrak dengan BPJS tapi kok pasiennya dikasih kuota."
 
Kondisi ini, sambungnya lagi, menjadi mahfum di lapangan alias manusiawi. "Karena RS dibayar rendah di JKN. Sementara banyak kewajiban yang harus dibayarkan. Kontrak dengan pemasok obat, dan lain-lain," ujarnya.
 
Hasbullah berharap, permasalahan-permasalahan seputar BPJS ini harus terus dipantau dan dievaluasi. Termasuk soal defisit anggaran. Menurutnya, diperlukan penambahan dana atau pengurangan manfaat.
 
Ukur baju di badan, tampaknya ini yang perlu dilakukan pemerintah. Selama anggaran kesehatannya kecil, 5% dari APBN, tidak perlu terlalu muluk. "Jangan maunya banyak tapi bayarnya sedikit," kata Hasbullah.
 
Angka itu, kata dia, termasuk kecil. "Dengan Thailand saja kita ketinggalan jauh. Mungkin perlu 15 tahun mengejarnya. Dengan Malaysia, 25 tahun. Padahal merdekanya duluan kita."
 
Dari pemerintahan ke pemerintahan, anggaran kesehatan selalu kecil. Kebijakannya terlalu ketakutan dengan anggaran yang besar. "Dianggap memberatkan," ucapnya.
 
"Tidak ada satu negara yang bangkrut karena menyehatkan rakyatnya. Banyak fakta dan kajian soal itu. Justru ekonominya tumbuh dengan baik, Pemahaman ini yang harusnya dimiliki pemerintah." ucap Hasbullah.

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ADM)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan