Seorang personel pemadam kebakaran Manggala Agni memadamkan kebakaran di hutan Kawasan Suaka Margasatwa Kerumutan, Kabupaten Pelalawan, Riau. (foto: Antara/FB Anggoro).
Seorang personel pemadam kebakaran Manggala Agni memadamkan kebakaran di hutan Kawasan Suaka Margasatwa Kerumutan, Kabupaten Pelalawan, Riau. (foto: Antara/FB Anggoro).

Kebakaran Lahan dan Penataan Perizinan

Mohammad Adam • 09 November 2015 19:55
medcom.id, Jakarta: Nilai kerugian akibat kebakaran hutan dan bencana asap tahun 2015 ini ditrengarai sangat besar. Kerugian tak hanya dari segi ekonomi, tapi juga pada aspek sosial dan kemanusian.
 
Kementerian Sosial mencatat korban meninggal lantaran bencana asap tahun ini mencapai 19 orang. Data yang disampaikan Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa pada Rabu (28/10/2015) menyebutkan korban meninggal berasal dari Sumatera Selatan (lima orang), Kalimantan Tengah (lima orang), Jambi (lima orang), Kalimantan Selatan (tiga orang), dan Riau (satu orang).
 
Sementara itu, Kementerian Kesehatan mencatat pasien penderita infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) di rumah sakit meningkat hingga 425.377 orang sebagai dampak kebakaran lahan dan hutan di tujuh provinsi sejak Juni lalu. Peningkatan penyakit ISPA terutama terjadi di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Tengah.

Secara ekonomi, kerugian diperkirakan mencapai raturan triliun rupiah. Bandara Syarif Kasim II di Pekanbaru, Riau berkali-kali lumpuh karena asap membuat jarak pandang sangat terbatas dan membahayakan penerbangan. Ratusan jadwal penerbangan terpaksa dibatalkan. Bandara lainnya di Sumatera dan Kalimantan pun mengalami nasib serupa. Tercatat ada 15 bandara di dua pulau itu yang mengalami gangguan akibat asap.
 
Gangguan asap di Sumatera dan Kalimantan membuat PT Angkasa Pura II selaku pengelola bandara di Tanah Air mengalami kerugian tak kurang dari Rp30 miliar dalam sebulan terakhir. Kantor Perwakilan Bank Indonesia sektor Riau bahkan menyatakan bahwa asap di Sumatera dan Kalimanta telah menyebabkan tujuh sektor perekonomian mengalami kerugian besar berupa penurunan omzet rata-rata 20 persen dan peningkatan biaya operasional rata-rata 25 persen. Penuruan omzet terbesar terjadi di sektor transportasi, perdagangan, akomodasi makanan dan minuman. Sektor jasa penerbangan dilaporkan mengalami penurunan omzet hingga 50 persen.
 
Maskapai penerbangan nasional, PT Garuda Indonesia Tbk mengaku potensi kerugian yang dialami akibat asap di Sumatera dan Kalimantan mencapai US$8 juta atau setara dengan Rp109 miliar. Perhitungannya berdasarkan pembatalan 1.600 penerbangan hingga 25 Oktober 2015.
 
Center for International Forestry Research (CIFOR) mencatat kerugian ekonomi akibat kebakaran hutan dan lahan yang diderita Indonesia, Malaysia, dan Singapura mencapai Rp200 triliun. Perhitungannya dilihat dari akumulasi kerugian ekonomi, tanaman yang terbakar, air yang tercemar, peningkatan emisi, korban jiwa, dan penerbangan yang terganggu.
 
Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin menyatakan bahwa bencana ini dipicu oleh terbakarnya sebagaian besar lahan gambut. Karena itu, pemadamannya tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat.
 
"Bukan hutan yang terbakar, tapi lahan gambut. Kalau kebakaran di lahan mineral, jika dipadamkan dengan bom air menggunakan dua helikopter, satu hari padam dan besok tidak menyala lagi apinya. Tapi kalau kebakaran di lahan gambut, itu lain ceritanya," ujar Alex saat memberikan pemaparannya dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk Solusi Titik Api yang diselenggarakan oleh Media Research Center di Jakarta, Selasa (3/11/2015).
 
Ia menjelaskan, lahan gambut pada dasarnya berfungsi sebagai kawasan penyimpan air. Kemarau panjang pada tahun ini menguras kandungan air di dalam tanah, termasuk lahan gambut. Kekeringan pun tak terhindari. Alhasil, lahan gambut malah menjadi mudah terbakar dan sulit dipadamkan.
 
Menurut Alex, tidak ada cara yang lebih efektif untuk memadamkan lahan gambut yang terbakar selain dengan hujan sepanjang siang dan malam, paling tidak hujan selama tujuh hari berturut-turut.
 
"Itu (lahan gambut) tidak bisa dipadamkan, kecuali terendam lagi," kata Alex.
 
Alex mengaku kewalahan mengatasi masalah kebakaran lahan gambut. Tidak hanya yang terjadi tahun ini. Bencana serupa yang berulang dalam 18 tahun terakhir ini, membuat para kepala daerah yang di wilayahnya terjadi kebakaran hutan mendapat sorotan tajam, tak terkecuali Alex selaku Kepala Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan.
 
Kritikan mengenai penanganan kebakaran hutan, menurut Alex, menjadi beban moral bagi kepala daerah yang tertimpa bencana tersebut. Terutama tudingan mengenai anggaran tanggap darurat untuk penanganan kebakaran hutan yang dianggap terlalu kecil.
 
Alex pun menjelaskan bahwa anggapan mengenai alokasi anggaran pemerintah daerah yang terlalu kecil untuk pencegahan kebakaran itu adalah salah kaprah. Sebab, alokasi dana tanggap darurat tidak hanya terdapat pada APBD, tetapi juga anggaran pada dinas-dinas instansi terkait. Antara lain seperti Badan Penanggulangan Bencana Daerah, Dinas Kehutanan, Dinas Pengairan, dan lain-lain. Dalam Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah Sumsel sendiri anggaran penanganan itu mencapai Rp8,8 miliar pada tahun lalu.
 
"Saya harap ini jangan hanya dilihat pada satu pos anggaran saja. Memang terlihat kecil. Tetapi di dalam Satuan Kerja Pemerintah Daerah dan dalam dinas-dinas yang terkait, itu juga ada anggaran. Misalnya untuk pembangunan sekat kanal, itu anggarannya ada di Dinas Pengairan. Untuk pembangunan ekosistemnya, itu ada di Dinas Pertanian dan Perkebunan. Semua anggaran di dinas-dinas terkait itu kalau digabungkan, jumlahnya besar. Anggaran di BPBD juga ada. Masih kurang?," kata Alex,
 
Oleh karena itu, sebagai upaya menangkal bencana serupa terulang lagi di masa mendatang, Alex mengusulkan langkah-langkah perbaikan. Salah satunya adalah merevisi UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Terutama menyangkut penjelasan pasal 69 ayat 2 dalam UU tersebut.
 
Pasal 69 ayat 1 UU PPLH berisi sejumlah larangan kepada setiap orang melakukan kegiatan yang berkaitan dengan perusakan lingkungan, termasuk pembukan lahan dengan cara membakar sebagaimana tercantum pada ketentuan huruf h.
 
Namun, pasal 69 ayat 2 UU PPLH menyatakan bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h memperhatikan dengan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing. Penjelasan ayat ini menyebutkan bahwa kearifan lokal yang dimaksud ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal dua hektare per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya. Dengan demikian, pasal ini dianggap membolehkan masyarakat melakukan kegiatan membakar lahan asal sesuai ketentuan dan pertimbangan kearifan lokal.
 
Pasal tersebut dianggap sebagai salah satu sandungan dalam penegakan hukum di sektor lingkungan. Di satu sisi, pasal ini justru menjadi dasar yang kuat untuk melindungi lingkungan hidup. Tetapi di sisi lain bisa "mengancam" kelompok tertentu.
 
Makanya, Alex menegaskan bahwa usulan revisi ini bukan satu-satunya cara untuk mengatasi masalah pembakaran lahan. Banyak hal lain yang harus dibenahi. Terutama pengawasan yang masih lemah terhadap aturan pasal 69 UU PPLH tersebut.
 
"Pemprov Sumatera Selatan sudah melakukan serangkaian tindakan pencegahan untuk tahun depan. Tapi paling penting adalah pengawasan. aturan sudah bagus. Kami usulkan revisi, karena di situ ada celah (penyalahgunaan pembakaran lahan). Tapi kalau (penerapan aturan itu) diawasi secara benar, insya Allah (penyalahgunaan) tidak akan terjadi. Tetapi kalau celah ini masih ada, pengawasan yang benar pun masih akan sulit. Siapa yang bisa memastikan bahwa api tidak akan menjalar? Siapa yang bisa memastikan bahwa tidak ada manipulasi di situ?," papar Alex.
 
Dengan kata lain, ia melanjutkan, masyarakat tidak diberangus haknya membuka lahan. tapi kalau dilarang membakar, tetap harus ada jalan keluarnya.
 
Ketua Bidang Tata Ruang dan Agraria Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Eddy Martono, menilai bahwa pemerintah perlu menata kegiatan masyarakat dalam melakukan pembakaran lahan.
 
"Yang menjadi masalah di sini adalah penataan izin terhadap masyarakat-masyarakat yang ingin menanam. Itu walaupun ada aturannya, tapi tidak mengikuti perizinan yang ada," kata Eddy yang menjadi peserta FGD bertajuk Solusi Titik Api di Jakarta, Selasa (3/11/2015).
 
Ia menjelaskan, ada suatu wilayah di Malaysia, yaitu di Serawak, hampir semua lahannya adalah gambut. Penanaman kelapa sawit di sana pun gencar. Tapi tidak terjadi kebakaran lahan di Serawak. Ini membuktikan bahwa Malaysia lebih bijaksana dalam mengelola lahannya, terutama lahan gambut, untuk kepentingan perkebunan tanaman industri.
 
"Di sana (Serawak) luar biasa penanamannya untuk kelapa sawit. Tapi yang terjadi, sekarang walaupun sama-sama terjadi el nino, mereka (Malaysia) tidak ikut terjadi kebakaran. Ini karena tata kelola gambut dilakukan dengan tepat dan benar," kata Eddy.
 
Eddy berharap pengelolaan lahan gambut di Indonesia bisa lebih baik. Dalam artian, mengikuti aturan yang sudah ada.
 
"Saya yakin, kalau itu (lahan gambut) dikelola dengan benar, seharusnya tidak ada masalah," kata Eddy.
 
Keyakinan ini, ia melanjutkan, terbukti dengan fakta bahwa tidak ada kebakaran atau titik api pada lahan gambut di Riau yang sudah lama dikelola dengan baik dan benar.
 
Sebaliknya, kebakaran terjadi pada lahan di luar konsesi atau lahan yang belum dikelola. Data World Resource Institute menunjukkan 60% insiden kebakaran dimulai dari luar area konsesi perusahaan industri.
 
Dengan kata lain, ada aktivitas ilegal yang kemungkinan besar dilakukan masyarakat lokal dalam membuka lahan dan menimbulkan kebakaran hutan. Kebakaran hutan terjadi karena ada pengelolaan lahan gambut yang tidak sesuai aturan.
 
"Yang terjadi kebakaran itu yang tidak dikelola dengan dengan benar," kata Eddy.
 
Dengan demikian, menurut Edi, segala kegiatan di atas lahan gambut harus ditertibkan. Masyarakat adat tidak harus dilarang untuk membuka lahan pertanian, namun perlu diteribkan. Masyarakat sebaiknya diwajibkan mengurus perizinan untuk membuka dan mengelola lahan.
 
"Harus benar-benar ditata, harus ada izin dulu. Tidak perlu izin sampai bupati, cukup di tingkat desa dan camat. Nah, camat nanti yang lapor ke dinas perkebunan bahwa ada sekian (kepala keluarga) yang akan menanam," kata Eddy.
 
Namun, terlepas dari semua itu, priositas tetap diutamakan pada pengelolaan lahan gambut yang benar.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ADM)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan