Sampul buku Di Bawah Bendera Revolusi karangan Soekarno. ist
Sampul buku Di Bawah Bendera Revolusi karangan Soekarno. ist

Ini 5 Buku Referensi Sumpah Pemuda untuk Generasi Milenial

Adri Prima • 27 Oktober 2022 15:30
Jakarta: Peringatan Hari Sumpah Pemuda yang diperingati setiap 28 Oktober tercetus saat Kongres Pemuda II. Kongres yang digelar pada 28 Oktober 1928 itu melibatkan banyak tokoh pelajar dan pemuda.
 
Dilansir dari laman Museum Sumpah Pemuda, Kongres Pemuda II digagas oleh Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI) yang dibentuk ketika Kongres Pemuda pertama. PPPI beranggotakan pelajar dari seluruh Indonesia
 
Kongres yang berlangsung pada 27-28 Oktober ini juga diikuti organisasi kepemudaan lainnya seperti Jong Java, Jong Bataks Bond, Jong Islamieten Bond, Jong Celebes, Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon, Katholikee Jongelingen Bond, Pemuda Kaum Betawi, hingga Sekar Rukun. Kongres Pemuda ini digelar sebanyak tiga kali di tiga tempat yang berbeda.

Sumpah Pemuda merupakan salah satu momen sejarah membanggakan yang pernah dialami Indonesia. Selain menjadi momen persatuan dan semangat nasionalisme para pemuda nusantara, ada banyak cerita menarik soal serba-serbi yang melatarbelakangi Sumpah Pemuda. 
 
Untuk menambah wawasan generasi milenial mengenai sejarah Sumpah Pemuda, ada beberapa referensi buku sejarah yang layak untuk dibaca. 

1. Di Bawah Bendera Revolusi karangan Soekarno (1959)

Ini 5 Buku Referensi Sumpah Pemuda untuk Generasi Milenial
Dibawah Bendera Revolusi adalah buku fenomenal yang menghimpun tulisan-tulisan Soekarno pada masa penjajahan Belanda (1917 – 1925) dan pertama kali diterbitkan pada tahun 1959 oleh sebuah Panitia Penerbitan di bawah pimpinan H. Mualliff Nasution. Pada tahun 1963 buku monumental itu mengalami cetak ulang yang kedua dan hanya dalam waktu dua minggu sudah habis terjual. 
 
Menurut catatan penerbit, judul Dibawah Bendera Revolusi adalah judul yang dipilih oleh Soekarno sendiri, untuk menandai bahwa pemikiran-pemikiran itu lahir dalam kondisi Indonesia yang sedang menuju revolusi kemerdekaannya.

2. Renungan Indonesia karangan Sutan Sjahrir (1947)


Di Belanda buku teresbut berjudul Indonesiche Overpeinzingen (1945). Orang Belanda menjadikan buku ini sebagai referensi untuk memahami karakter pemimpin dan situasi Indonesia pada masa gejolak revolusi.
 
Pada 1947, buku itu diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh HB Jassin dengan judul Renungan Indonesia. Buku tersebut berisikan tentang ide dan gagasan yang ditulis Sjahrir selama di penjara dan pengasingan. 

3. Demokrasi kita karangan Mochamad Hatta (1963)

Ini 5 Buku Referensi Sumpah Pemuda untuk Generasi Milenial
Buku ini berisi mengenai sejarah Indonesia yang memperlihatkan pertentangan antara idealisme dan realita. Idealisme yang menciptakan suatu pemerintahan yang adil yang akan melaksanakan demokrasi yang sebaik-baiknya dan kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya. Realita dari pemerintahan yang dalam perkembangannya kelihatan makin jauh dari demokrasi yang sebenarnya. 

4. Habis Gelap Terbitlah Terang karangan RA Kartini (1922)

Ini 5 Buku Referensi Sumpah Pemuda untuk Generasi Milenial
Habis Gelap Terbitlah Terang adalah buku kumpulan surat yang ditulis oleh Kartini. Kumpulan surat tersebut dibukukan oleh J.H. Abendanon dengan judul Door Duisternis Tot Licht. 
 
Buku kumpulan surat Kartini ini diterbitkan pada 1911. Buku ini dicetak sebanyak lima kali, dan pada cetakan terakhir terdapat tambahan surat Kartini.

5. Siti Nurbaya karya Marah Rusli (1922)

Ini 5 Buku Referensi Sumpah Pemuda untuk Generasi Milenial
Siti Nurbaya adalah sebuah novel Indonesia yang ditulis oleh Marah Rusli. Novel ini diterbitkan oleh Balai Pustaka, penerbit nasional negeri Hindia Belanda, pada 1922. Penulisnya dipengaruhi oleh pertentangan antara kebudayaan Minangkabau dan penjajah Belanda, yang sudah menguasai Indonesia sejak abad ke-17. 
 
Siti Nurbaya menceritakan cinta remaja antara Samsulbahri dan Sitti Nurbaya, yang hendak menjalin cinta tetapi terpisah ketika Samsu terpaksa pergi ke Batavia untuk melanjutkan pendidikan. Belum lama kemudian, Nurbaya menawarkan diri untuk menikah dengan Datuk Meringgih (yang kaya tetapi kasar) sebagai cara untuk ayahnya hidup bebas dari utang; Nurbaya kemudian dibunuh oleh Meringgih. Pada akhir cerita Samsu, yang menjadi anggota tentara kolonial Belanda, membunuh Meringgih dalam suatu revolusi lalu meninggal akibat lukanya.
 
Ditulis dalam bahasa Melayu yang baku dan mencakup teknik penceritaan tradisional seperti pantun, novel Sitti Nurbaya menyinggung tema kasih tak sampai, anti-pernikahan paksa, pengorbanan, kolonialisme, dan kemodernan.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(PRI)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan