Menurut Fadjroel, semua orang memiliki hak untuk menyampaikan pandangan, termasuk mengkritik pemegang kuasa. Apalagi Indonesia merupakan demokratis yang menjamin kekebasan berpendapat.
Meski demikian, Fadjroel mengajak semua warga yang ingin mengkritik di media sosial agar patuh pada Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Fadjroel sendiri mengaku sering diserang oleh buzzer. Hanya, ia sama sekali tidak ambil pusing alias cukup merespokan pakai fitur pemblokiran.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
"Medsos saya juga 24 jam diserang buzzer, pakai fitur blok saja ya beres," sambung Fadjroel.
Terlepas dari klaim Istana yang tidak memiliki buzzer, pegiat medsos Denny Siregar justru mengakui kalau dirinya adalah seorang buzzer alias pendengung. Namun, hal itu ia lakukan hanya demi mempertahankan idealisme terhadap ancaman kelompok lain.
"Buzz itu dengung. Buzzer itu pendengung. Mirip lebah. Bersama, bersatu, mempertahankan sarang. Menyerang ketika diperlukan. Dan para buzzer, sepertu gua, baru keluar ketika para kadal ingin menguasai dunia. Siapa lagi yang mau melawan keganasan kadal? Para domba? (ikon tertawa)," tulis Denny di akun twitternya.
"Sebenarnya tudingan buzzerRp itu muncul krn suara mereka kalah di media sosial. Pendukung @jokowi itu mmg seperti lebah. Tenang ketika tidak diganggu dan tampak tidak kelihatan. Tapi ketika ada yg mau merusak sarang, bzzzzzz... Bang jago aja ampun2. Wajahnya bentol2," bunyi cuitan lainnya.