medcom.id, Jakarta: Indonesia tak hanya menggandeng ASEAN dalam membantu pengungsi dari Rakhine State, Myanmar. Australia sebagai negara satu kawasan juga diajak ikut serta.
"Kita bicara soal hubungan kedua negara tentang bagaimana kita membantu penyelesaian masalah di Myanmar," kata Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto usai bertemu Duta Besar Australia Paul Grigson di Kantor Kemenko Polhukam, Selasa 3 Oktober 2017.
Indonesia telah melakukan banyak langkah positif membantu pengungsi dari Rakhine sebagai bentuk kepedulian atas masalah kemanusiaan di Myanmar. Namun, ada masalah politik antarnegara yang perlu dilakukan. Australia diajak mengambil peran.
Namun, Wiranto tak menyebut bagaimana respons 'Negeri Kanguru' itu atas ajakan positif ini. Dia masih menunggu respons dari Australia. "Belum makanya baru pemikiran, nantikan kita melihat," ujar Wiranto.
Indonesia, kata dia, berupaya mengajak negara-negara lain mengakhiri tragedi kemanusiaan di Rakhine State. Dalam waktu dekat, Wiranto akan mengajak Menteri Luar Negeri Retno Marsudi berkoordinasi terkait langkah konkret. Pasalnya, masalah kemanusiaan itu tak bisa dibiarkan berlarut.
"Apakah bantuan-bantuan kemanusiaan apakah penyelesaian politik, sehingga bisa membantu penyelesaian masalah di Myanmar secara lebih cepat lagi. Itu tadi pertemuan saya dengan Duta Besar," kata Wiranto.
Krisis kemanusiaan di Rakhine State mendapat kecaman dari berbagai negara di dunia. Belum lama ini Universitas Oxford di Inggris mengutuk dengan mencopot lukisan pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi, yang dipasang di gerbang utama kampus.
Keputusan pencopotan ini juga didukung sesama alumni, yayasan kampus, hingga Rektor Oxford Dame Elish Angiolini. Hal ini dilakukan karena Inggris mengkritik krisis kemanusiaan di Rakhine State yang membuat lebih dari 500 ribu jiwa melarikan diri ke perbatasan Bangladesh.
Sementara itu, lukisan Suu Kyi dipindahkan ke tempat penyimpanan. Tak hanya itu, Dewan Oxford dikabarkan juga akan melucuti penghargaan City of Freedom yang pernah diberikan kepada Suu Kyi pada 1997 saat dirinya masih menjadi tahanan politik oleh junta militer.
medcom.id, Jakarta: Indonesia tak hanya menggandeng ASEAN dalam membantu pengungsi dari Rakhine State, Myanmar. Australia sebagai negara satu kawasan juga diajak ikut serta.
"Kita bicara soal hubungan kedua negara tentang bagaimana kita membantu penyelesaian masalah di Myanmar," kata Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto usai bertemu Duta Besar Australia Paul Grigson di Kantor Kemenko Polhukam, Selasa 3 Oktober 2017.
Indonesia telah melakukan banyak langkah positif membantu pengungsi dari Rakhine sebagai bentuk kepedulian atas masalah kemanusiaan di Myanmar. Namun, ada masalah politik antarnegara yang perlu dilakukan. Australia diajak mengambil peran.
Namun, Wiranto tak menyebut bagaimana respons 'Negeri Kanguru' itu atas ajakan positif ini. Dia masih menunggu respons dari Australia. "Belum makanya baru pemikiran, nantikan kita melihat," ujar Wiranto.
Indonesia, kata dia, berupaya mengajak negara-negara lain mengakhiri tragedi kemanusiaan di Rakhine State. Dalam waktu dekat, Wiranto akan mengajak Menteri Luar Negeri Retno Marsudi berkoordinasi terkait langkah konkret. Pasalnya, masalah kemanusiaan itu tak bisa dibiarkan berlarut.
"Apakah bantuan-bantuan kemanusiaan apakah penyelesaian politik, sehingga bisa membantu penyelesaian masalah di Myanmar secara lebih cepat lagi. Itu tadi pertemuan saya dengan Duta Besar," kata Wiranto.
Krisis kemanusiaan di Rakhine State mendapat kecaman dari berbagai negara di dunia. Belum lama ini Universitas Oxford di Inggris mengutuk dengan mencopot lukisan pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi, yang dipasang di gerbang utama kampus.
Keputusan pencopotan ini juga didukung sesama alumni, yayasan kampus, hingga Rektor Oxford Dame Elish Angiolini. Hal ini dilakukan karena Inggris mengkritik krisis kemanusiaan di Rakhine State yang membuat lebih dari 500 ribu jiwa melarikan diri ke perbatasan Bangladesh.
Sementara itu, lukisan Suu Kyi dipindahkan ke tempat penyimpanan. Tak hanya itu, Dewan Oxford dikabarkan juga akan melucuti penghargaan City of Freedom yang pernah diberikan kepada Suu Kyi pada 1997 saat dirinya masih menjadi tahanan politik oleh junta militer.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OGI)