Diskusi Panel Pengembangan Rantai Ekonomi. (Foto: Dok. KEM)
Diskusi Panel Pengembangan Rantai Ekonomi. (Foto: Dok. KEM)

KEM Dorong Penguatan Rantai Nilai Ekonomi Masyarakat Hukum Adat untuk Hutan Adat yang Tangguh dan Berkelanjutan

Medcom • 19 Desember 2025 07:27
Jakarta: Menindaklanjuti komitmen Indonesia di COP30 Brasil, Kementerian Kehutanan (Kemenhut) menggelar Lokakarya Nasional Pasca COP30 Belém, Brasil pada 17–18 Januari di Hotel Aryaduta Menteng, Jakarta, dengan tujuan mempercepat realisasi target nasional penetapan 1,4 juta hektare Hutan Adat. 
 
Pada kesempatan ini, Kemenhut memaparkan Peta Jalan Percepatan Penetapan Status Hutan Adat yang disusun dengan semangat mendukung peran Masyarakat Hukum Adat (MHA) bukan hanya sebagai penjaga hutan, tetapi juga sebagai pelaku ekonomi berbasis sumber daya alam yang berkelanjutan.
 
Semangat ini sejalan dengan komitmen Koalisi Ekonomi Membumi (KEM) untuk menghadirkan pola ekonomi yang lebih seimbang antara alam dan manusia, salah satunya lewat rantai nilai bioekonomi bertanggungjawab. 

KEM memandang bahwa percepatan penetapan Hutan Adat perlu diiringi dengan penguatan aspek ekonomi agar pengakuan wilayah kelola masyarakat adat tidak berhenti pada aspek administratif, tetapi juga berdampak nyata pada kesejahteraan masyarakat dan tetap terjaganya kondisi hutan. 
 
“Peningkatan kesejahteraan MHA membutuhkan keterhubungan yang lebih kuat dengan rantai nilai ekonomi nasional dan internasional. Keterhubungan ini penting agar masyarakat adat tidak hanya berperan sebagai pemasok bahan mentah atau menghasilkan produk tanpa jaminan pasar, tetapi memiliki posisi tawar yang lebih setara dalam tata niaga komoditas dan jasa berbasis hutan.” tegas Fito Rahdianto, Direktur Eksekutif KEM

Penguatan Rantai Nilai Ekonomi sebagai Kunci Keberlanjutan Hutan Adat

Hingga kini, Masyarakat Hukum Adat (MHA) masih berada pada posisi rentan dan lemah dalam rantai nilai ekonomi, ditandai oleh keterbatasan kapasitas produksi dan pengolahan, minimnya akses pembiayaan, serta ketergantungan pada tengkulak dan mekanisme pasar yang tidak adil. Di banyak wilayah, potensi ekonomi Hutan Adat baik hasil hutan bukan kayu, agroforestri, jasa lingkungan, maupun pengetahuan lokal belum sepenuhnya memberi nilai tambah yang adil bagi masyarakat di tingkat tapak. 
 
Peserta lokakarya juga mengidentifikasi sejumlah risiko sosial dan ekologis yang perlu diantisipasi, antara lain potensi konflik tata batas, ancaman terhadap kearifan lokal, ketimpangan gender, serta risiko ekspansi berlebihan ketika suatu komoditas berhasil secara ekonomi. Oleh karena itu, penerapan Prinsip Safeguard Sosial dan Ekologis yang adil, transparan, dan kontekstual dinilai krusial dalam setiap bentuk kerja sama dengan sektor swasta dan pemangku kepentingan lainnya.
 
Penguatan rantai nilai ekonomi Hutan Adat perlu direncanakan dan didukung sumber daya memadai sebagai proses transformasi menuju kemandirian Masyarakat Hukum Adat lewat pengembangan social forestry enterprise yang dikelola secara profesional, inklusif, dan berorientasi pada kesejahteraan jangka panjang Masyarakat Hukum Adat. Pendekatan ini akan memperkuat posisi Masyarakat Hukum Adat dalam rantai nilai ekonomi. 
 
Sejalan dengan hal tersebut, dalam diskusi panel yang membahas pengembangan rantai nilai Hutan Adat dan Perhutanan Sosial, CEO EcoNusa salah satu anggota KEM, Bustar Maitar menekankan bahwa pembangunan ekonomi berbasis hutan adat, khususnya di kawasan rentan, seperti Papua dan Maluku, hanya dapat berjalan jika masyarakat adat ditempatkan sebagai aktor utama dalam rantai nilai.
 
“Wilayah Indonesia Timur memiliki tantangan geografis dan keterbatasan infrastruktur yang tidak memungkinkan pendekatan bisnis konvensional. Melalui KOBUMI, kami membangun mekanisme jaminan pasar dan harga yang berkeadilan, di mana masyarakat adat memiliki kepastian pembelian, pembayaran tunai, serta kepemilikan dalam rantai nilai. Pengalaman ini menunjukkan bahwa ketika akses pasar, pendampingan, dan prinsip keadilan berjalan konsisten, ekonomi berbasis hutan adat bukan hanya bertahan, tetapi mampu tumbuh,” ujar Bustar.
 
Direktur PT Sosial Bisnis Indonesia (SOBI), Matt Danalan Saragih, juga menyoroti pentingnya desain kemitraan jangka panjang untuk menjawab tantangan konsistensi kualitas, pasokan, dan keterlacakan (traceability) produk dari smallholders dan MHA.
 
“Permasalahan utama dalam pengembangan rantai nilai berbasis masyarakat adalah inkonsistensi pasok dan kualitas yang bersifat struktural. Melalui peran SOBI sebagai KEM Companies Network (KCN), kami mendorong model agroforestry hub yang mengintegrasikan pendampingan teknis, kemitraan yang transparan, serta digitalisasi traceability berstandar global agar produk MHA dapat menembus pasar yang lebih luas,” jelas Matt.
 
Menurutnya, pertemuan pendekatan berbasis praktik yang dijalankan EcoNusa dan KOBUMI dengan penguatan kapasitas dan model pembelajaran yang dikembangkan SOBI menjadi peluang strategis untuk membuka potensi perhutanan sosial secara lebih sistemik dan berkelanjutan.

Langkah Awal Kesejahteraan Masyarakat Hukum Adat

Wakil Menteri Kehutanan (Wamenhut) Rohmat Marzuki dalam penutupan lokakarya menyampaikan bahwa penetapan Hutan Adat bukanlah akhir dari perjuangan. Menurutnya, “Penetapan Hutan Adat merupakan langkah awal untuk mewujudkan peningkatan kesejahteraan sosial dan ekonomi Masyarakat Hukum Adat yang selaras dengan kearifan lokal, sebagai bagian dari cita-cita luhur bangsa yang perlu diwujudkan bersama.”
 
Sebagai tindak lanjut, KEM menginisiasi pemetaan awal potensi produk dan jasa Hutan Adat, tantangan utama MHA, kebutuhan intervensi prioritas, serta risiko sosial dan ekologis yang perlu diantisipasi dengan prinsip kemitraan yang adil.
 
Melalui proses ini, KEM mendorong kolaborasi lintas pihak untuk menghadirkan pendampingan yang tepat sasaran, guna mewujudkan penguatan rantai nilai ekonomi yang berkelanjutan dan berkeadilan bagi Masyarakat Hukum Adat.
 
 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ASM)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan