Lampung: Keputusan Munas Alim Ulama NU (Nahdhatul Ulama) tentang penegasan prinsip kesetaraan warga negara yang berbangsa satu dan bertanah air satu, Indonesia, dinilai senafas dengan PDI Perjuangan. Keputusan itu juga dianggap sebagai cerminan sila Persatuan Indonesia yang berdiri kokoh di atas prinsip kebangsaan.
"Atas prinsip kebangsaan ini maka segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya," kata Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto di sela-sela Safari Kebangsaan IX di Lampung, Jumat, 1 Maret 2019.
Hasto menyebut penegasan musyawarah alim ulama NU tersebut merupakan keputusan yang mengakar pada Pancasila, visioner, dan menguatkan kebangsaan Indonesia. Menurutnya, NU memahami suasana kebatinan bangsa.
"Dan karenanya keputusan Munas Alim Ulama NU tersebut menjadi nur (cahaya) ilahi yang menerangi kehidupan berbangsa dan bernegara," ujarnya.
Baca juga: NU Minta Nonmuslim Tak Disebut Kafir
Hasto mengatakan keputusan munas yang meneladani kehidupan Nabi Muhammad SAW dengan membuat piagam madinah itu adalah bentuk nyata pembumian Pancasila. NU, kata dia, selalu kokoh memberikan arah dan pedoman bagi keutuhan dan kemaslahatan bangsa. Termasuk, soal imbauan tidak digunakannya kata kafir.
Hasto menganggap keputusan itu penting untuk penghormatan terhadap prinsip kesetaraan warga negara Indonesia sebagai satu bangsa. Keputusan itu merupakan kontemplasi teologis yang menempatkan manusia sebagai sesama ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa.
"Keputusan Munas Alim Ulama NU semakin memerkuat upaya Presiden Jokowi untuk menggelorakan daya unggul Indonesia yang maju dan berbangsa satu," ungkapnya.
Sementara itu, Bahtsul Masail Maudluiyah memutuskan tidak menggunakan istilah kafir bagi nonmuslim di Indonesia. Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Abdul Moqsith Ghazali mengatakan, istilah kafir menyakiti sebagian kelompok nonmuslim yang dianggap mengandung unsur kekerasan teologis.
Baca juga: Kalla Tutup Munas Alim Ulama di Banjar
Para alim ulama NU menyepakati istilah muwathinun untuk kelompok nonmuslim, bukan istilah kafir. Menurut dia, muwathinun berarti warga negara.
"Dengan begitu, maka status mereka setara dengan warga negara yang lain," kata Moqsith, di Banjar, Jawa Barat, Kamis, 28 Februari 2019.
Kesepakatan tersebut, tutur Moqsith, bukan berarti menghapus kata kafir. Namun, menurut dia, penyebutan kafir terhadap nonmuslim di Indonesia dirasa tidak bijak.
"Tetapi memberikan label kafir kepada warga Indonesia yang ikut merancang desain negara Indonesia rasanya kurang bijaksana," kata Moqsith.
Lampung: Keputusan Munas Alim Ulama NU (Nahdhatul Ulama) tentang penegasan prinsip kesetaraan warga negara yang berbangsa satu dan bertanah air satu, Indonesia, dinilai senafas dengan PDI Perjuangan. Keputusan itu juga dianggap sebagai cerminan sila Persatuan Indonesia yang berdiri kokoh di atas prinsip kebangsaan.
"Atas prinsip kebangsaan ini maka segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya," kata Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto di sela-sela Safari Kebangsaan IX di Lampung, Jumat, 1 Maret 2019.
Hasto menyebut penegasan musyawarah alim ulama NU tersebut merupakan keputusan yang mengakar pada Pancasila, visioner, dan menguatkan kebangsaan Indonesia. Menurutnya, NU memahami suasana kebatinan bangsa.
"Dan karenanya keputusan Munas Alim Ulama NU tersebut menjadi nur (cahaya) ilahi yang menerangi kehidupan berbangsa dan bernegara," ujarnya.
Baca juga:
NU Minta Nonmuslim Tak Disebut Kafir
Hasto mengatakan keputusan munas yang meneladani kehidupan Nabi Muhammad SAW dengan membuat piagam madinah itu adalah bentuk nyata pembumian Pancasila. NU, kata dia, selalu kokoh memberikan arah dan pedoman bagi keutuhan dan kemaslahatan bangsa. Termasuk, soal imbauan tidak digunakannya kata kafir.
Hasto menganggap keputusan itu penting untuk penghormatan terhadap prinsip kesetaraan warga negara Indonesia sebagai satu bangsa. Keputusan itu merupakan kontemplasi teologis yang menempatkan manusia sebagai sesama ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa.
"Keputusan Munas Alim Ulama NU semakin memerkuat upaya Presiden Jokowi untuk menggelorakan daya unggul Indonesia yang maju dan berbangsa satu," ungkapnya.
Sementara itu, Bahtsul Masail Maudluiyah memutuskan tidak menggunakan istilah kafir bagi nonmuslim di Indonesia. Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Abdul Moqsith Ghazali mengatakan, istilah kafir menyakiti sebagian kelompok nonmuslim yang dianggap mengandung unsur kekerasan teologis.
Baca juga:
Kalla Tutup Munas Alim Ulama di Banjar
Para alim ulama NU menyepakati istilah muwathinun untuk kelompok nonmuslim, bukan istilah kafir. Menurut dia, muwathinun berarti warga negara.
"Dengan begitu, maka status mereka setara dengan warga negara yang lain," kata Moqsith, di Banjar, Jawa Barat, Kamis, 28 Februari 2019.
Kesepakatan tersebut, tutur Moqsith, bukan berarti menghapus kata kafir. Namun, menurut dia, penyebutan kafir terhadap nonmuslim di Indonesia dirasa tidak bijak.
"Tetapi memberikan label kafir kepada warga Indonesia yang ikut merancang desain negara Indonesia rasanya kurang bijaksana," kata Moqsith.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(MEL)