medcom.id, Bangkok: Patpong awalnya merupakan sebuah wilayah yang dikuasai imigran asal Hainan, China. Seiring berjalannya waktu, daerah yang terletak di jantung Kota Bangkok itu menjadi salah satu tujuan utama bagi wisatawan mancanegara.
Para pelancong bisa berbelanja oleh-oleh khas Thailand dengan harga bervariasi di tempat ini. Mulai dari tenunan 'Negeri Gajah Putih', sabun aromaterapi, hingga gelang. Asalkan berani menawar--biasanya dengan menggunakan media kalkulator karena ada hambatan bahasa--turis bisa mendapatkan suvenir unik dengan harga terjangkau.
Sekilas atmosfer di jalan-jalan Patpong mirip dengan suasana di Jalan Malioboro, Yogyakarta, yang dipenuhi pedagang. Terkesan padat dan begitu riuh rendah. Suara pedagang dan turis yang lalu lalang seolah berlomba adu keras.
Metrotvnews.com yang ikut dalam rombongan jurnalis peliput 'Bangkok Motor Show', 24-26 Maret 2014, berkesempatan menyusuri Pasar Malam Patpong. Tujuannya ialah untuk menghapus rasa penasaran terhadap daerah yang konon merupakan lokasi pleserian bagi pasukan Amerika Serikat saat Perang Vietnam era 1968-an.
Dari tempat menginap, kami memilih menggunakan BTS Skytrain, kereta yang melintas di atas tiang pancang mirip monorel. Jarak tempuh tidak sampai 10 menit dari Chong Nonsi--stasiun yang dekat dari penginapan kami--hingga ke Sala Daeng. Dari Stasiun Sala Daeng, kami sudah sangat dekat dengan kawasan hiburan malam Patpong.
Sesampainya di lokasi, berbagai turis dengan berwarna macam warna kulit terlihat memadati lokasi ini. Bahasa Inggris mulai dari aksen Australia, Inggris, hingga Amerika Serikat terdengar begitu jelas di telinga. Tidak hanya Inggris, Bahasa Belanda dan Jerman serta bahasa yang dipakai warga negara dari Benua Afrika juga menyeruak di Patpong.
Ketika sedang asyik 'cuci mata', tiba-tiba ada seseorang berbahasa Thailand mengarahkan rombongan agar berbelok arah ke sebuah lokasi 'hitam'. Ia kemudian menunjukkan sebuah brosur yang menggambarkan tubuh perempuan telanjang serta tarif pertunjukkan erotis dengan harga bervariasi dalam mata uang Thailand, bath.
Pria itu sangat percaya diri membujuk kami agar melihat brosur tersebut sambil meneriakkan kata-kata 'ping pong show'. Ia tidak ragu apalagi takut meski di rombongan kami ada seorang wartawati. Tawaran tersebut kami tampik karena kami hanya ingin berburu suvenir dan cuci mata.
Satu 'mucikari' berhasil kami atasi. Namun, 'mucikari' berikutnya menghampiri. Kali ini adalah seorang perempuan. Ia tidak kenal lelah membujuk kami. Lagi-lagi mucikari ini berusaha agar kami mau menonton 'Ping Pong Show'.
Namun, ia berhenti merayu karena tidak ada satupun dari kami yang mengindahkan tawarannya. Ia akhirnya berlalu dan berganti dengan pemandangan perempuan bertubuh sintal dan setengah telanjang terlihat menari erotis di dalam sebuah ruangan. Suasana di salah satu sudut Patpong ini ibarat perpaduan Malioboro dan lokalisasi Dolly, Surabaya, Jawa Timur.
"Di sini sepertinya hanya mucikari yang bergerak membujuk turis untuk menyaksikan acara erotis. Sedangkan penarinya berada di dalam ruangan. Para penari dengan tubuh telanjang itu tidak ada yang menampakkan diri di jalan. Mereka baru bisa terlihat jika kita melirik ke arah pintu yang terbuka," ujar salah seorang teman wartawan dari media cetak nasional.
Lalu apakah 'Ping Pong Show' itu? Kami semua penasaran, namun tidak ada yang berani bertanya langsung. Jawaban tersebut baru ditemukan setelah ada yang mengecek di YouTube setelah rombongan kembali ke tempat penginapan.
Keesokan harinya, beberapa wartawan yang penasaran akhirnya datang kembali dan menyaksikan langsung 'Ping Pong Show'. "Ternyata benar lho, tayangan yang kita lihat di YouTube kemarin. Awalnya saya takjub karena bola pingpong bisa ditiupkan dari salah satu anggota tubuh sang penari (bukan menggunakan mulut). Tapi, lama kelamaan saya malah malas menyaksikan acara itu karena mirip penyiksaan terhadap perempuan," terang salah seorang wartawan daring. (Nav)
medcom.id, Bangkok: Patpong awalnya merupakan sebuah wilayah yang dikuasai imigran asal Hainan, China. Seiring berjalannya waktu, daerah yang terletak di jantung Kota Bangkok itu menjadi salah satu tujuan utama bagi wisatawan mancanegara.
Para pelancong bisa berbelanja oleh-oleh khas Thailand dengan harga bervariasi di tempat ini. Mulai dari tenunan 'Negeri Gajah Putih', sabun aromaterapi, hingga gelang. Asalkan berani menawar--biasanya dengan menggunakan media kalkulator karena ada hambatan bahasa--turis bisa mendapatkan suvenir unik dengan harga terjangkau.
Sekilas atmosfer di jalan-jalan Patpong mirip dengan suasana di Jalan Malioboro, Yogyakarta, yang dipenuhi pedagang. Terkesan padat dan begitu riuh rendah. Suara pedagang dan turis yang lalu lalang seolah berlomba adu keras.
Metrotvnews.com yang ikut dalam rombongan jurnalis peliput 'Bangkok Motor Show', 24-26 Maret 2014, berkesempatan menyusuri Pasar Malam Patpong. Tujuannya ialah untuk menghapus rasa penasaran terhadap daerah yang konon merupakan lokasi pleserian bagi pasukan Amerika Serikat saat Perang Vietnam era 1968-an.
Dari tempat menginap, kami memilih menggunakan BTS Skytrain, kereta yang melintas di atas tiang pancang mirip monorel. Jarak tempuh tidak sampai 10 menit dari Chong Nonsi--stasiun yang dekat dari penginapan kami--hingga ke Sala Daeng. Dari Stasiun Sala Daeng, kami sudah sangat dekat dengan kawasan hiburan malam Patpong.
Sesampainya di lokasi, berbagai turis dengan berwarna macam warna kulit terlihat memadati lokasi ini. Bahasa Inggris mulai dari aksen Australia, Inggris, hingga Amerika Serikat terdengar begitu jelas di telinga. Tidak hanya Inggris, Bahasa Belanda dan Jerman serta bahasa yang dipakai warga negara dari Benua Afrika juga menyeruak di Patpong.
Ketika sedang asyik 'cuci mata', tiba-tiba ada seseorang berbahasa Thailand mengarahkan rombongan agar berbelok arah ke sebuah lokasi 'hitam'. Ia kemudian menunjukkan sebuah brosur yang menggambarkan tubuh perempuan telanjang serta tarif pertunjukkan erotis dengan harga bervariasi dalam mata uang Thailand, bath.
Pria itu sangat percaya diri membujuk kami agar melihat brosur tersebut sambil meneriakkan kata-kata 'ping pong show'. Ia tidak ragu apalagi takut meski di rombongan kami ada seorang wartawati. Tawaran tersebut kami tampik karena kami hanya ingin berburu suvenir dan cuci mata.
Satu 'mucikari' berhasil kami atasi. Namun, 'mucikari' berikutnya menghampiri. Kali ini adalah seorang perempuan. Ia tidak kenal lelah membujuk kami. Lagi-lagi mucikari ini berusaha agar kami mau menonton 'Ping Pong Show'.
Namun, ia berhenti merayu karena tidak ada satupun dari kami yang mengindahkan tawarannya. Ia akhirnya berlalu dan berganti dengan pemandangan perempuan bertubuh sintal dan setengah telanjang terlihat menari erotis di dalam sebuah ruangan. Suasana di salah satu sudut Patpong ini ibarat perpaduan Malioboro dan lokalisasi Dolly, Surabaya, Jawa Timur.
"Di sini sepertinya hanya mucikari yang bergerak membujuk turis untuk menyaksikan acara erotis. Sedangkan penarinya berada di dalam ruangan. Para penari dengan tubuh telanjang itu tidak ada yang menampakkan diri di jalan. Mereka baru bisa terlihat jika kita melirik ke arah pintu yang terbuka," ujar salah seorang teman wartawan dari media cetak nasional.
Lalu apakah 'Ping Pong Show' itu? Kami semua penasaran, namun tidak ada yang berani bertanya langsung. Jawaban tersebut baru ditemukan setelah ada yang mengecek di
YouTube setelah rombongan kembali ke tempat penginapan.
Keesokan harinya, beberapa wartawan yang penasaran akhirnya datang kembali dan menyaksikan langsung 'Ping Pong Show'. "Ternyata benar lho, tayangan yang kita lihat di
YouTube kemarin. Awalnya saya takjub karena bola pingpong bisa ditiupkan dari salah satu anggota tubuh sang penari (bukan menggunakan mulut). Tapi, lama kelamaan saya malah malas menyaksikan acara itu karena mirip penyiksaan terhadap perempuan," terang salah seorang wartawan daring. (Nav)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ENO)