medcom.id, Jakarta: Toleransi beragama dan berkeyakinan di Indonesia dinilai belum baik. Diskriminasi terhadap keyakinan tertentu masih terjadi, khususnya pada penghayat kepercayaan.
Presidium Luhur Penghayat Kepercayaan Engkus Ruswan mengatakan Bangsa Indonesia sebetulnya sangat menjunjung tinggi toleransi. Namun, sikap toleran itu tercemar semenjak masuknya budaya lain yang tidak sesuai dengan budaya Indonesia.
"Bangsa kita sebenarnya toleran. Setelah masuk budaya yang tidak sesuai dengan Indonesia jadi timbul intoleran," kata Engkus dalam diskusi bertajuk Bincang Perdamaian di Balai Kartini, Jalan Jenderal Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Kamis (5/1/2017).
Sikap intoleran memunculkan diskriminasi terhadap kelompok tertentu. Menurut Engkus, kaum penghayat hingga kini masih mengalami diskriminasi itu, terutama dalam hal pendidikan.
"Masalah pendidikan itu dari zaman Indonesia merdeka sampai sekarang, agama harus ambil yang tidak sesuai agamanya," ujar dia.
Selain itu, pemaksaan kepada anak-anak dari kaum penghayat untuk misalnya membaca Alquran saat pendidikan. "Itu menjadi siksaan bagi penghayat karena tidak bisa baca (Alquran)," ucap dia.
Menurut dia, pihaknya telah berulang kali bertemu pihak sekolah untuk menjelaskan permasalahan kaum penghayat. Mereka memberikan menjelaskan Permendikbud Nomor 77 Tahun 2013 tentang Pedoman Pembinaan Lembaga Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Lembaga Adat.
Sayang, keberadaan kaum penghayat yang tak diakomodasi dalam undang-undang membuat permasalahan ini terus berulang. "Jadi harus ada masalah dulu, dialog dulu baru diterima. Ini karena undang-undang tidak mengakomodasi penghayat," kata dia.
Selain dalam pendidikan, Engkus menyebut masih ada diskriminasi lain yang diterima penghayat. Ia pun merasakan diskriminasi itu saat ibunya meninggal dunia.
Ketika itu, Engkus ingin mengebumikan sang ibu di daerah Ciamis. Namun, warga setempat menolak lantaran tahu keyakinan yang dianutnya adalah penghayat.
Setelah berdialog panjang, kata Engkus, warga akhirnya sepakat menguburkan ibunya. Namun, lanjut dia, ibunya terlebih dahulu harus disalatkan dan di-Islamkan sebelum dikubur.
"Itu diskriminasi yang kami alami di penghayat," kata dia.
medcom.id, Jakarta: Toleransi beragama dan berkeyakinan di Indonesia dinilai belum baik. Diskriminasi terhadap keyakinan tertentu masih terjadi, khususnya pada penghayat kepercayaan.
Presidium Luhur Penghayat Kepercayaan Engkus Ruswan mengatakan Bangsa Indonesia sebetulnya sangat menjunjung tinggi toleransi. Namun, sikap toleran itu tercemar semenjak masuknya budaya lain yang tidak sesuai dengan budaya Indonesia.
"Bangsa kita sebenarnya toleran. Setelah masuk budaya yang tidak sesuai dengan Indonesia jadi timbul intoleran," kata Engkus dalam diskusi bertajuk Bincang Perdamaian di Balai Kartini, Jalan Jenderal Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Kamis (5/1/2017).
Sikap intoleran memunculkan diskriminasi terhadap kelompok tertentu. Menurut Engkus, kaum penghayat hingga kini masih mengalami diskriminasi itu, terutama dalam hal pendidikan.
"Masalah pendidikan itu dari zaman Indonesia merdeka sampai sekarang, agama harus ambil yang tidak sesuai agamanya," ujar dia.
Selain itu, pemaksaan kepada anak-anak dari kaum penghayat untuk misalnya membaca Alquran saat pendidikan. "Itu menjadi siksaan bagi penghayat karena tidak bisa baca (Alquran)," ucap dia.
Menurut dia, pihaknya telah berulang kali bertemu pihak sekolah untuk menjelaskan permasalahan kaum penghayat. Mereka memberikan menjelaskan Permendikbud Nomor 77 Tahun 2013 tentang Pedoman Pembinaan Lembaga Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Lembaga Adat.
Sayang, keberadaan kaum penghayat yang tak diakomodasi dalam undang-undang membuat permasalahan ini terus berulang. "Jadi harus ada masalah dulu, dialog dulu baru diterima. Ini karena undang-undang tidak mengakomodasi penghayat," kata dia.
Selain dalam pendidikan, Engkus menyebut masih ada diskriminasi lain yang diterima penghayat. Ia pun merasakan diskriminasi itu saat ibunya meninggal dunia.
Ketika itu, Engkus ingin mengebumikan sang ibu di daerah Ciamis. Namun, warga setempat menolak lantaran tahu keyakinan yang dianutnya adalah penghayat.
Setelah berdialog panjang, kata Engkus, warga akhirnya sepakat menguburkan ibunya. Namun, lanjut dia, ibunya terlebih dahulu harus disalatkan dan di-Islamkan sebelum dikubur.
"Itu diskriminasi yang kami alami di penghayat," kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(TRK)