medcom.id, Jakarta: Ini temuan menarik. Cuma ada 36,02% pemilih Muslim untuk pasangan nomor urut dua, Basuki 'Ahok' Tjahaja Purnama - Djarot Saiful Hidayat. Begitu, satu dari beberapa kesimpulan hasil survei yang dipaparkan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pada Selasa, 7 Maret 2017 kemarin.
Pergerakan pemilih Muslim, rupanya makin menarik dijaring, dibaca, dan terus diramal banyak lembaga survei. Apapun faktornya, jelang putaran kedua Pilkada di Ibukota, kelompok ini kian tampak seksi untuk ditempatkan sebagai kelompok lain yang berhadapan dengan sebutan golongan nasionalis.
Sampai di sini, boleh jadi, angin memang sengaja dikibas ke arah ingatan pesta demokrasi pertama. Euforia Pemilu 1955.
Jejak Persaingan Islam vs Nasionalis
Mari kita telusuri jejak sejarah ini. Adalah Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Partai ini dikenal sebagai salah satu rumah aspirasi umat Islam era 1950-an. Dalam pemilihan legislatif yang dihelat pada 29 September 1955, Masyumi berhasil memeroleh 7,9 juta suara alias 20,9% dari keseluruhan suara yang ada.
Masyumi, menduduki tampuk kedua di bawah Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan selisih sekitar 3% suara saja. Sementara peringkat ketiga, ditempati partai yang sebelumnya satu keluarga, Nahdlatul Ulama (NU).
Tak tanggung-tanggung, dari 15 daerah pemilihan (dapil) yang ditentukan, Masyumi berhasil memenangi di 10 wilayah. Termasuk di Jakarta Raya, partai pimpinan Mohammad Natsir ini tercatat mengantongi hingga 26,12% dari total suara.
Meski begitu, masing-masing dapil sebenarnya cenderung menghadirkan hasil yang berimbang. Bukan juga cuma Islam-Nasionalis, andil pula eksistensi partai-partai berhaluan komunis dalam perhelatan yang sering disebut paling demokratis di sepanjang sejarah itu.
Bisa ditengok. Pemilih Muslim kala itu juga sebenarnya tidak hanya diwakili Masyumi. Tentu ada NU yang berhasil meraih 6,9 juta suara. Ada juga Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dengan raihan 2,8% suara, atau Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti) yang memeroleh 1,28% suara.
Begitu juga di barisan partai berbasis nasionalis. Selain PNI, sebut saja Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) meski cuma bisa meraup 1,43% suara saja. Sementara dari kalangan komunis, kemasyhuran Partai Komunis Indonesia (PKI) tak lagi diragukan. Tak main-main, partai 'merah' ini berhasil menduduki posisi ke empat dengan jumlah 6,1 juta suara atau 16,3% dari suara keseluruhan.
Pemilu 1955 selalu menarik untuk kembali diingat dan didiskusikan. Ada semacam pertarungan seru antara Islam-Nasionalis-Komunis. Bolehlah, timbang juga basis sosialis melalui kehadiran Partai Sosialis Indonesia (PSI) pimpinan Sutan Sjahrir. Tapi yang sering dilupa, di tengah kehidupan masyarakat Ibu Kota yang sudah plural saat itu, sejarah mencatat partai berbasis Islam ternyata pernah berjaya.
Ideologi partai, ideologi pemilih
Faktanya, kejayaan Masyumi tidak bisa bertahan lama. Pada 1960, Presiden Soekarno membubarkan partai dengan 57 kursi di parlemen itu. Bung Besar curiga, beberapa tokoh Masyumi turut terlibat dalam gerakan pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).
Setelah itu, terlebih ketika memasuki era Pemerintahan Orde Baru (Orba), tak ada lagi wacana pembelahan Islam-Nasionalis, apalagi Komunis.
Tapi ada peristiwa penting pada Pemilu 1977. Golkar mulai menguasai demokrasi elektoral di Indonesia dibikin kaget. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang berbasis Islam unggul dalam perolehan suara di Jakarta. Dalam pemilu yang diselenggarakan pada 2 Mei 1977 itu, PPP berhasil memuncaki posisi tiga partai khusus dapil Ibukota Jakarta.
"Pada Pemilu 1977, PPP memperoleh 40,68 persen suara," tulis Lili Romli, dalam sekumpulan tulisan berjudul Pemilu Langsung di Tengah Oligarki Partai (2005) yang diedit Pakar Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syamsuddin Haris.
Dua dekade kemudian, ingatan tentang kedua pertautan antara ideologi partai dan pemilih itu kembali diembuskan. Jelang Pemilu 1999, bermunculan banyak partai yang lebih dari separuhnya mendaku sebagai terusan dari peserta Pemilu 1955.
Tidak kurang dari 17 partai Islam mencatatkan diri sebagai peserta pemilu pertama pasca-rezim otoriter. Meskipun sebagian besar gagal meraih dukungan signifikan.
Rupanya, kondisi telah berubah. Ideologi partai belum tentu setali tiga uang dengan pandangan politik konstituen.
Syamsuddin Haris, dalam Partai, Pemilu, dan Parlemen Era Reformasi (2014), misalnya. Dia menyebut bahwa keanegaragaman kultural tidak harus identik dengan keberagaman politik secara ideologis.
"Ideologi suatu kelompok atau partai tentang politik bisa saja senyawa alamiah dari beragam identitas asal yang bersifat kultural, sehingga pluralitas politik cenderung lebih sederhana dibandingkan realitas keberagaman kultural," tulis Syamsudin.
Bukti paling konkret bisa diambil dari perjalanan Partai Bulan Bintang (PBB) besutan Yusril Ihza Mahendra. Partai ini diklaim dibangun di atas basis sosial bekas simpatisan partai Masyumi. Tentu, sekaligus sebagai perwujudan baru dari ideologi partai Islam yang pernah tampil gagah itu.
"(Pada Pemilu 2004), PBB cuma meraih 1,94% alias seper sepuluh dari yang dicapai Masyumi pada 1955," tulis Arbi Sanit dalam Pemilu Langsung di Tengah Oligarki Partai.
Pemilih rasional
Apa yang berubah? Soal ini, peneliti bidang politik LIPI, Siti Zuhro pernah menyebut ideologi partai dan pemilih bersimpang jalan seiring partai dianggap tidak bisa memenuhi apa yang diharapkan. Partai politik yang notabene sebagai rumah demokrasi juga kerap dinilai gagal dalam menyediakan kader yang bisa meraih simpati secara faktual.
Belum lagi, praktik politik uang. Begitu, Zuhro menyebut.
Jatuhnya, partai cuma bisa memanfaatkan sisa kepercayaan yang dimiliki masyarakat. Tetapi soal ideologi yang ditawarkan, masyarakat cenderung bisa berbaur bahkan bersilih ganti. Tak ada lagi batas Islam-Nasionalis.
Tampaknya, masyarakat mengalami pembelahan politik (political cleavage) yang berbeda dengan pola di tahun 1950-an. Partai-partai bisa saja tetap mengusung ideologi sebagai penanda identitas. Partai mungkin terus berusaha menawarkan argumentasi dan persuasi pada semua kelompok dalam masyarakat. Tetapi warga Jakarta punya cara berpikir sendiri, preferensi sendiri, bahkan mungkin ogah-ogahan dengan bujukan “manisan ideologis”.
Pada pertarungan Pilkada DKI Jakarta 2017, proses ini sudah tampak di putaran pertama. Pemilih Ibu Kota adalah pemilih rasional, demikian banyak orang menjulukinya.
Kasus ini pernah disajikan dalam hasil survei LSI yang pernah digelar pada 31 Oktober-5 November 2016. Persis di tengah panasnya dugaan penistaan agama muncul, elektabilitas Ahok-DJarot masih bertahan di 27,50%.
Ihwal pemilih rasional, boleh juga menilik peristiwa terpilihnya Sadiq Khan sebagai Wali Kota London, Inggris. Pria Muslim itu memenangi pemilihan dengan perolehan 44% suara dan berhak memimpin kota dengan mayoritas penduduk beragama Kristen.
Keterpilihan Shadiq, banyak yang bilang, ditentukan dengan sebagian besar pemilih di London yang sangat rasional. Kepercayaan dalam mengelola kota rupanya cukup berjarak dengan ikatan suku, agama, ras, atau golongan.
"Pemilih rasional akan menimbang-nimbang seberapa besar kemampuan masing-masing kandidat dalam mengatasi permasalahan sosial," sebagai mana ditulis Profesor Firmanzah, dalam Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning, Ideologi Politik di era demokrasi (2011)
Jika “yang rasional” adalah “yang memilih” pasti rasionalitas bisa bekerja melintasi aneka perbedaan latar belakang pemilih. Pada Pilkada DKI 2017, “yang rasional” mungkin akan membentuk bentangan politik (political multitude) yang bekerja dengan dinamikanya sendiri.
Singkatnya, para pemilih dengan latar belakang suku, agama, ideologi, jender, dan kelas sosial yang berbeda bisa menyatu dan menjadi kekuatan elektoral. Kekuatan inilah yang akan muncul sebagai kekuatan rakyat Jakarta. Kekuatan yang akan turut menentukan siapa cagub/cawagub yang akan diberi mandat memimpin Jakarta.
medcom.id, Jakarta: Ini temuan menarik. Cuma ada 36,02% pemilih Muslim untuk pasangan nomor urut dua, Basuki 'Ahok' Tjahaja Purnama - Djarot Saiful Hidayat. Begitu, satu dari beberapa kesimpulan hasil survei yang dipaparkan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pada Selasa, 7 Maret 2017 kemarin.
Pergerakan pemilih Muslim, rupanya makin menarik dijaring, dibaca, dan terus diramal banyak lembaga survei. Apapun faktornya, jelang putaran kedua Pilkada di Ibukota, kelompok ini kian tampak seksi untuk ditempatkan sebagai kelompok lain yang berhadapan dengan sebutan golongan nasionalis.
Sampai di sini, boleh jadi, angin memang sengaja dikibas ke arah ingatan pesta demokrasi pertama. Euforia Pemilu 1955.
Jejak Persaingan Islam vs Nasionalis
Mari kita telusuri jejak sejarah ini. Adalah Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Partai ini dikenal sebagai salah satu rumah aspirasi umat Islam era 1950-an. Dalam pemilihan legislatif yang dihelat pada 29 September 1955, Masyumi berhasil memeroleh 7,9 juta suara alias 20,9% dari keseluruhan suara yang ada.
Masyumi, menduduki tampuk kedua di bawah Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan selisih sekitar 3% suara saja. Sementara peringkat ketiga, ditempati partai yang sebelumnya satu keluarga, Nahdlatul Ulama (NU).
Tak tanggung-tanggung, dari 15 daerah pemilihan (dapil) yang ditentukan, Masyumi berhasil memenangi di 10 wilayah. Termasuk di Jakarta Raya, partai pimpinan Mohammad Natsir ini tercatat mengantongi hingga 26,12% dari total suara.
Meski begitu, masing-masing dapil sebenarnya cenderung menghadirkan hasil yang berimbang. Bukan juga cuma Islam-Nasionalis, andil pula eksistensi partai-partai berhaluan komunis dalam perhelatan yang sering disebut paling demokratis di sepanjang sejarah itu.
Bisa ditengok. Pemilih Muslim kala itu juga sebenarnya tidak hanya diwakili Masyumi. Tentu ada NU yang berhasil meraih 6,9 juta suara. Ada juga Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dengan raihan 2,8% suara, atau Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti) yang memeroleh 1,28% suara.
Begitu juga di barisan partai berbasis nasionalis. Selain PNI, sebut saja Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) meski cuma bisa meraup 1,43% suara saja. Sementara dari kalangan komunis, kemasyhuran Partai Komunis Indonesia (PKI) tak lagi diragukan. Tak main-main, partai 'merah' ini berhasil menduduki posisi ke empat dengan jumlah 6,1 juta suara atau 16,3% dari suara keseluruhan.
Pemilu 1955 selalu menarik untuk kembali diingat dan didiskusikan. Ada semacam pertarungan seru antara Islam-Nasionalis-Komunis. Bolehlah, timbang juga basis sosialis melalui kehadiran Partai Sosialis Indonesia (PSI) pimpinan Sutan Sjahrir. Tapi yang sering dilupa, di tengah kehidupan masyarakat Ibu Kota yang sudah plural saat itu, sejarah mencatat partai berbasis Islam ternyata pernah berjaya.
Ideologi partai, ideologi pemilih
Faktanya, kejayaan Masyumi tidak bisa bertahan lama. Pada 1960, Presiden Soekarno membubarkan partai dengan 57 kursi di parlemen itu. Bung Besar curiga, beberapa tokoh Masyumi turut terlibat dalam gerakan pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).
Setelah itu, terlebih ketika memasuki era Pemerintahan Orde Baru (Orba), tak ada lagi wacana pembelahan Islam-Nasionalis, apalagi Komunis.
Tapi ada peristiwa penting pada Pemilu 1977. Golkar mulai menguasai demokrasi elektoral di Indonesia dibikin kaget. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang berbasis Islam unggul dalam perolehan suara di Jakarta. Dalam pemilu yang diselenggarakan pada 2 Mei 1977 itu, PPP berhasil memuncaki posisi tiga partai khusus dapil Ibukota Jakarta.
"Pada Pemilu 1977, PPP memperoleh 40,68 persen suara," tulis Lili Romli, dalam sekumpulan tulisan berjudul
Pemilu Langsung di Tengah Oligarki Partai (2005) yang diedit Pakar Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syamsuddin Haris.
Dua dekade kemudian, ingatan tentang kedua pertautan antara ideologi partai dan pemilih itu kembali diembuskan. Jelang Pemilu 1999, bermunculan banyak partai yang lebih dari separuhnya mendaku sebagai terusan dari peserta Pemilu 1955.
Tidak kurang dari 17 partai Islam mencatatkan diri sebagai peserta pemilu pertama pasca-rezim otoriter. Meskipun sebagian besar gagal meraih dukungan signifikan.
Rupanya, kondisi telah berubah. Ideologi partai belum tentu setali tiga uang dengan pandangan politik konstituen.
Syamsuddin Haris, dalam
Partai, Pemilu, dan Parlemen Era Reformasi (2014), misalnya. Dia menyebut bahwa keanegaragaman kultural tidak harus identik dengan keberagaman politik secara ideologis.
"Ideologi suatu kelompok atau partai tentang politik bisa saja senyawa alamiah dari beragam identitas asal yang bersifat kultural, sehingga pluralitas politik cenderung lebih sederhana dibandingkan realitas keberagaman kultural," tulis Syamsudin.
Bukti paling konkret bisa diambil dari perjalanan Partai Bulan Bintang (PBB) besutan Yusril Ihza Mahendra. Partai ini diklaim dibangun di atas basis sosial bekas simpatisan partai Masyumi. Tentu, sekaligus sebagai perwujudan baru dari ideologi partai Islam yang pernah tampil gagah itu.
"(Pada Pemilu 2004), PBB cuma meraih 1,94% alias seper sepuluh dari yang dicapai Masyumi pada 1955," tulis Arbi Sanit dalam
Pemilu Langsung di Tengah Oligarki Partai.
Pemilih rasional
Apa yang berubah? Soal ini, peneliti bidang politik LIPI, Siti Zuhro pernah menyebut ideologi partai dan pemilih bersimpang jalan seiring partai dianggap tidak bisa memenuhi apa yang diharapkan. Partai politik yang notabene sebagai rumah demokrasi juga kerap dinilai gagal dalam menyediakan kader yang bisa meraih simpati secara faktual.
Belum lagi, praktik politik uang. Begitu, Zuhro menyebut.
Jatuhnya, partai cuma bisa memanfaatkan sisa kepercayaan yang dimiliki masyarakat. Tetapi soal ideologi yang ditawarkan, masyarakat cenderung bisa berbaur bahkan bersilih ganti. Tak ada lagi batas Islam-Nasionalis.
Tampaknya, masyarakat mengalami pembelahan politik (
political cleavage) yang berbeda dengan pola di tahun 1950-an. Partai-partai bisa saja tetap mengusung ideologi sebagai penanda identitas. Partai mungkin terus berusaha menawarkan argumentasi dan persuasi pada semua kelompok dalam masyarakat. Tetapi warga Jakarta punya cara berpikir sendiri, preferensi sendiri, bahkan mungkin ogah-ogahan dengan bujukan “manisan ideologis”.
Pada pertarungan Pilkada DKI Jakarta 2017, proses ini sudah tampak di putaran pertama. Pemilih Ibu Kota adalah pemilih rasional, demikian banyak orang menjulukinya.
Kasus ini pernah disajikan dalam hasil survei LSI yang pernah digelar pada 31 Oktober-5 November 2016. Persis di tengah panasnya dugaan penistaan agama muncul, elektabilitas Ahok-DJarot masih bertahan di 27,50%.
Ihwal pemilih rasional, boleh juga menilik peristiwa terpilihnya Sadiq Khan sebagai Wali Kota London, Inggris. Pria Muslim itu memenangi pemilihan dengan perolehan 44% suara dan berhak memimpin kota dengan mayoritas penduduk beragama Kristen.
Keterpilihan Shadiq, banyak yang bilang, ditentukan dengan sebagian besar pemilih di London yang sangat rasional. Kepercayaan dalam mengelola kota rupanya cukup berjarak dengan ikatan suku, agama, ras, atau golongan.
"Pemilih rasional akan menimbang-nimbang seberapa besar kemampuan masing-masing kandidat dalam mengatasi permasalahan sosial," sebagai mana ditulis Profesor Firmanzah, dalam
Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning, Ideologi Politik di era demokrasi (2011)
Jika “yang rasional” adalah “yang memilih” pasti rasionalitas bisa bekerja melintasi aneka perbedaan latar belakang pemilih. Pada Pilkada DKI 2017, “yang rasional” mungkin akan membentuk bentangan politik (
political multitude) yang bekerja dengan dinamikanya sendiri.
Singkatnya, para pemilih dengan latar belakang suku, agama, ideologi, jender, dan kelas sosial yang berbeda bisa menyatu dan menjadi kekuatan elektoral. Kekuatan inilah yang akan muncul sebagai kekuatan rakyat Jakarta. Kekuatan yang akan turut menentukan siapa cagub/cawagub yang akan diberi mandat memimpin Jakarta.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id(SBH)