Kira-kira pada tahun berdirinya Boedi Oetomo ada seorang wartawan modern yang menarik perhatian karena lancarnya dan tajamnya pena yang ia pegang. Yaitu almarhum R.M. Djokomono, kemudian dikenal sebagai Tirtohadisoerjo.
Di adalah Jebolan STOVIA yang waktu itu bekerja sebagai redaktur harian Bintang Betawi (yang kemudian bernama Berita Betawi) lalu memimpin Medan Prijaji dan Soeloeh Pengadilan. Ia boleh disebut pelopor dalam lapangan journalistik.
Dua paragraf di atas adalah tulisan Ki Hajar Dewantara yang tak banyak diketahui orang. Tertulis dalam buku kenang-kenangan pribadinya pada 1952.
Tak banyak referensi tentang Tirto Adhi Soerjo (Tirtohadisoerjo), apalagi di masa Orde Baru, yang memang dihilangkan dari buku-buku sejarah di sekolah. Namun bagi insan pewarta Indonesia, tokoh ini istimewa. Nama ini juga kerap terdengar di setiap Hari Pers Nasional (HPN), khususnya di era reformasi.
Sastrawan legendaris Pramoedya Ananta Toer menggambarkannya dalam sosok bernama 'Minke', panggilan Tirto, dalam 'Tetralogi Buru' dan 'Sang Pemula'. Referensi lain ditemukan dalam buku Zaman Bergerak karya Takashi Shiraishi, yang menggambarkan Tirto sebagai bumiputra pertama yang menggerakkan bangsa melalui surat kabar. Hingga sekitar 1913, koran-koran Tirto dibredel.
Tirto Adhi Soerjo lahir di Blora pada 1875 dan meninggal di Jakarta pada 7 Desember 1918 setelah menjalani pembuangannya oleh pemerintah kolonial. Pembuangan itu gara-gara peran Tirto dalam pembentukan Sarikat Dagang Islam di Surakarta, yang merupakan asal mula Sarikat Islam.
"Dia wartawan Indonesia yang pertama-tama menggunakan suratkabar sebagai pembentuk pendapat umum, dengan berani menulis kecaman-kecaman pedas terhadap pihak kekuasaan dan menentang paham-paham kolot. Kecaman hebat yang pernah ia lontarkan terhadap tindakan-tindakan seorang kontrolir, menyebabkan Tirto disingkirkan dari Jawa, dibuang ke Pulau Bacan," tulis Sudarjo Tjokrosisworo dalam buku 'Sekilas Perjuangan Suratkabar' yang terbit pada 1958.
Tirto dikebumikan di sebuah pemakaman umum di Jakarta Utara, yang saat ini dikenal sebagai kawasan Mangga Dua. Prosesi pemakamannya sepi, sedikit orang yang mengurusi.
Yang menjadi pertanyaan, mengapa sosok ini tak banyak dikenal dan sedikit referensinya? Sejumlah kalangan menyalahkan phobia komunis yang diidap pemerintahan Soeharto.
Apakah karena kisah Tirto ditulis oleh Pramoedya? Pramoedya tokoh Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) yang dicap sebagai organisasi sayap PKI, sejarawan Orba menganggap demikian pada Tirto. Padahal, era perjuangan Tirto sudah dimulai jauh sebelum HFJ Sneevliet membawa paham komunis ke Hindia Belanda.
Pada 1973 pemakaman di kawasan Mangga Dua itu dibongkar untuk dibangun mall. Jenazah Tirto dipindah ke Bogor. Setidaknya, saat pemakaman ulang, Soeharto menggelari Tirto sebagai 'Perintis Pers Indonesia'.
Di era reformasi, cap komunis terhadap Tirto luntur oleh kajian sejarah yang lebih objektif. Namun, tetap saja pemberian gelar Pahlawan Nasional untuk Tirto pada 2006 sepi dari sambutan. Sama sepinya dengan makam Tirto dari penziarah, baik hari biasa maupun di Hari Pers Nasional setiap tahunnya.
Begitupula di media sosial, bisa terhitung berapa 'kicauan' yang menyematkan namanya di perbincangan seputar 'Selamat Hari Pers Nasional', yang menjadi trending topic, Selasa (9/2/2016) ini.
Namun, sepinya penghormatan untuk Tirto adalah gambaran atas sosoknya. Pewarta pertama pribumi yang menjadi corong perubahan, tanpa harap untuk dikenal.
Selamat Hari Pers Nasional!
Kira-kira pada tahun berdirinya Boedi Oetomo ada seorang wartawan modern yang menarik perhatian karena lancarnya dan tajamnya pena yang ia pegang. Yaitu almarhum R.M. Djokomono, kemudian dikenal sebagai Tirtohadisoerjo.
Di adalah Jebolan STOVIA yang waktu itu bekerja sebagai redaktur harian Bintang Betawi (yang kemudian bernama Berita Betawi) lalu memimpin Medan Prijaji dan Soeloeh Pengadilan. Ia boleh disebut pelopor dalam lapangan journalistik.
Dua paragraf di atas adalah tulisan Ki Hajar Dewantara yang tak banyak diketahui orang. Tertulis dalam buku kenang-kenangan pribadinya pada 1952.
Tak banyak referensi tentang Tirto Adhi Soerjo (Tirtohadisoerjo), apalagi di masa Orde Baru, yang memang dihilangkan dari buku-buku sejarah di sekolah. Namun bagi insan pewarta Indonesia, tokoh ini istimewa. Nama ini juga kerap terdengar di setiap Hari Pers Nasional (HPN), khususnya di era reformasi.
Sastrawan legendaris Pramoedya Ananta Toer menggambarkannya dalam sosok bernama 'Minke', panggilan Tirto, dalam 'Tetralogi Buru' dan 'Sang Pemula'. Referensi lain ditemukan dalam buku Zaman Bergerak karya Takashi Shiraishi, yang menggambarkan Tirto sebagai bumiputra pertama yang menggerakkan bangsa melalui surat kabar. Hingga sekitar 1913, koran-koran Tirto dibredel.
Tirto Adhi Soerjo lahir di Blora pada 1875 dan meninggal di Jakarta pada 7 Desember 1918 setelah menjalani pembuangannya oleh pemerintah kolonial. Pembuangan itu gara-gara peran Tirto dalam pembentukan Sarikat Dagang Islam di Surakarta, yang merupakan asal mula Sarikat Islam.
"Dia wartawan Indonesia yang pertama-tama menggunakan suratkabar sebagai pembentuk pendapat umum, dengan berani menulis kecaman-kecaman pedas terhadap pihak kekuasaan dan menentang paham-paham kolot. Kecaman hebat yang pernah ia lontarkan terhadap tindakan-tindakan seorang kontrolir, menyebabkan Tirto disingkirkan dari Jawa, dibuang ke Pulau Bacan," tulis Sudarjo Tjokrosisworo dalam buku 'Sekilas Perjuangan Suratkabar' yang terbit pada 1958.
Tirto dikebumikan di sebuah pemakaman umum di Jakarta Utara, yang saat ini dikenal sebagai kawasan Mangga Dua. Prosesi pemakamannya sepi, sedikit orang yang mengurusi.
Yang menjadi pertanyaan, mengapa sosok ini tak banyak dikenal dan sedikit referensinya? Sejumlah kalangan menyalahkan phobia komunis yang diidap pemerintahan Soeharto.
Apakah karena kisah Tirto ditulis oleh Pramoedya? Pramoedya tokoh Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) yang dicap sebagai organisasi sayap PKI, sejarawan Orba menganggap demikian pada Tirto. Padahal, era perjuangan Tirto sudah dimulai jauh sebelum HFJ Sneevliet membawa paham komunis ke Hindia Belanda.
Pada 1973 pemakaman di kawasan Mangga Dua itu dibongkar untuk dibangun mall. Jenazah Tirto dipindah ke Bogor. Setidaknya, saat pemakaman ulang, Soeharto menggelari Tirto sebagai 'Perintis Pers Indonesia'.
Di era reformasi, cap komunis terhadap Tirto luntur oleh kajian sejarah yang lebih objektif. Namun, tetap saja pemberian gelar Pahlawan Nasional untuk Tirto pada 2006 sepi dari sambutan. Sama sepinya dengan makam Tirto dari penziarah, baik hari biasa maupun di Hari Pers Nasional setiap tahunnya.
Begitupula di media sosial, bisa terhitung berapa 'kicauan' yang menyematkan namanya di perbincangan seputar 'Selamat Hari Pers Nasional', yang menjadi trending topic, Selasa (9/2/2016) ini.
Namun, sepinya penghormatan untuk Tirto adalah gambaran atas sosoknya. Pewarta pertama pribumi yang menjadi corong perubahan, tanpa harap untuk dikenal.
Selamat Hari Pers Nasional!
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(LHE)