medcom.id, Jakarta: Siapa yang sangka, awalnya merupakan program integrasi, hasilnya justru separatisme. Begitulah kisah Filipina di mata seorang pensiunan tentara Amerika Serikat, Thomas McKenna dalam bukunya “Muslim Rebels and Rulers”.
Kesenjangan menjadi penyebab munculnya gerakan separatisme di negara berjuluk Negeri Lumbung Padi itu. Satu dekade setelah Filipina merdeka, pada 1950-an, umat muslim yang kebanyakan mendiami Pulau Mindanao dan gugusannya, hidup miskin. Secara ekonomi terdiskriminasi.
Fakta kesenjangan antara utara Filipina dengan pulau-pulau di selatan itu mengusik pemerintah. Pada 1957, dinisiasilah sebuah program integrasi, di bawah kontrol Komisi Integrasi Nasional (CNI).
Proyek CNI yang pertama adalah mengirim muslim Filipina dari selatan ke kota. Tujuannya, membaur dan memperoleh pendidikan yang berkenaan dengan kehidupan nasional. Program lainnya adalah beasiswa pendidikan Islam ke Timur Tengah. Tujuannya, muslim Filipina memperoleh kesempatan memperdalam ilmu agama, agar memberikan kemajuan bagi Islam di Filipina.
Sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya. Muslim yang mulai membaur di Ibukota Manila malah mendapatkan pemandangan yang tidak sedap. Sentimen anti-muslim bermunculan, juga di kota-kota lainnya di utara Filipina.
Tekanan terhadap muslim semakin keras setelah Ferdinand Marcos terpilih menjadi presiden pada 1965. Dua tahun kemudian, amarah dari kelompok muslim pun pecah. Isu SARA mengemuka.
Kondisi diperparah dengan beredarnya isu penembakan personel tentara muslim oleh tentara Kristen di Pulau Corregidor, Manila Bay. Saat itu pemerintah sedang menggelar perekrutan tentara dari kalangan muslim dan dilatih di pulau tersebut. Proyek pelatihan militer itu diberi nama sandi Jabidah.
Menurut McKenna, penembakan itu terjadi karena para peserta pelatihan, yang notabene tentara muslim, tidak berkenan dengan perlakuan semena-mena dari para pelatihnya. Akibat protes itu, 14 di antaranya dieksekusi mati.
Fakta inilah yang menyebabkan gencarnya demonstrasi-demonstrasi para pelajar Muslim di Manila. Mereka menuntut keadilan atas peristiwa 'Pembantaian Jabidah' itu.
Satu dari pemimpin mahasiswa yang menggelar aksi protes itu bernama Nur Misuari. Latar belakangnya adalah keluarga miskin keturunan Tausug dari Sulu. Dialah penggagas Liga Muslim Nasionalis (MNL).
"Separatisme adalah proses yang mahal dan menyakitkan dan beberapa orang biasa siap untuk membayar harganya. Namun, dunia ini sudah menjadi saksi waktu dan lagi-lagi membagi negara menjadi lebih kecil. Pembagian politik tidak sepenuhnya ada dalam kontrol tangan manusia, juga bukan produk dari kesemena-menaan mereka. Ini adalah hasil dari kondisi aktual di mana manusia menemukan dirinya sendiri. Ini adalah hasil dari sistem," tulis Misuari dalam salah satu editorialnya di media MNL, Philippine Muslim News.
Sejak itu, separatis bak pilihan. Para pendukungnya tak mau lagi disebut Muslim Philippinos alias warga Muslim Filipina. Mereka menyebut diri dengan nama Moro, sebutan kaum muslim di era penjajahan Spanyol.
Slogan "Moro not Philippino" semakin nyaring, menjalar ke berbagai pelosok Filipina. Cita-citanya adalah merdeka dari Filipina, memiliki negeri dengan pemerintahan sendiri, di bawah bendera Bangsamoro.
Misuari lalu menjadi salah satu tokoh sentral dalam berbagai gerakan separatis di selatan Filipina. Moro National Liberation Front (MNLF) didirikan.
Seiring dinamika yang terjadi di tubuh gerakan-gerakan separatis, kelompok-kelompok lain mulai terbentuk dan memisahkan diri dari MNLF. Seperti Moro Islamic Liberation Front (MILF), BIFF, dan Abu Sayyaf.
Belakangan, Abu Sayyaf, yang merupakan kelompok milisi sempalan MNLF, menyatakan berbaiat kepada ISIS. Ansar Khalifah Philippine (AKP) bahkan mendeklarasikan pendirian khilafah ISIS di Asia Tenggara.
MILF pun banyak pecahannya lagi, seperti kelompok Maute yang beraksi dengan bendera hitam ISIS. Joseph Franco, peneliti senior di S Rajaratnam School of International Studies Singapura, dalam tulisannya di New Mandala memaparkan bahwa kelompok Maute sebelumnya bernama Khilafah Islamiyah Movement (KIM).
Waralaba ISIS
Wilayah. Inilah persoalan inti dari gerakan separatis di Filipina. Mereka tidak bisa sepenuhnya dianggap sebagai organisasi teroris hanya karena berafiliasi dengan ISIS. Demikian ungkap peneliti gerakan radikal yang juga mantan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) As'ad Said Ali saat berbincang dengan Metrotvnews.com, Rabu, 31 Mei 2017.
Artinya, kebutuhan berafiliasi dengan organisasi transnasional bak langkah taktis yang perlu ditempuh untuk mencapai cita-cita sesungguhnya. "Dalam rangka mendapatkan kekuatan supaya perjuangan separatisme itu mendapat respon," kata As'ad.
Jadi, kira-kira begini; untuk merebut wilayah, diperlukan kelembagaan yang kuat. Tapi, kondisi militan-militan di selatan Filipina itu belum kuat secara organisasi, termasuk pasukan. Oleh sebab itu, mengambil 'waralaba' organisasi transnasional menjadi kebutuhan sebagai penguat posisi tawar. Ini soal politik.
Bahkan, kata As'ad, dia pernah berbincang dengan salah seorang elite Jamaah Islamiyah (cabang dari Al Qaeda di Asia Tenggara). Dikatakannya, girah ideologi milisi-milisi di Filipina tidak kuat. Meski menyuarakan khilafah, tapi di hatinya masih berkeinginan memiliki negara sendiri.
"Sekarang pun saya kira tidak akan jauh-jauh dari itu. Seperti dua mata pisau, satu sisi idealisme (ideologi islam), satu sisi (cita-cita) separatisme. Antara membela tanah dan membela agama jadi satu," tutur As'ad.
Cara seperti ini dimungkinkan menjadi pola gerakan-gerakan separatis di dunia. Radikalisme bersampul agama kerap menjadi instrumen. Resep dasarnya dari Al Qaeda, lantas waralabanya muncul dengan banyak nama. Seperti Al Qaeda in the Arabian Peninsula (AQAP) di Yaman, Al Qaeda in the Islamic Maghreb (AQIM) di Algeria, Libya, Mauritania, Mali dan Niger (utara Nigeria), Al Shabaab di Somalia, Af-Pak di Afghanistan dan Pakistan, Boko Haram di Nigeria, hingga Jamaah Islamiyah di Asia Tenggara.
Begitupula dengan ISIS, pecahan Al Qaeda yang kini berseberangan dengan induknya. Dari Irak dan Suriah, ISIS juga membuka sistem waralaba. Belakangan ISIS disebut-sebut telah memiliki cabang di 18 negara, termasuk Indonesia dan Filipina.
Di samping itu semua, ada pula yang mengambil resep Al Qaeda dan ISIS dengan pola bergerak perorangan dan cenderung lepas koordinasi, yang dikenal dengan istilah Lone Wolf.
Tapi, dari kesemuanya, ISIS lah yang tampaknya sedang 'seksi' di mata peminat separatisme. Bagus untuk menaikan posisi tawar.
Baca juga: Wakil Presiden Irak: ISIS Ingin Bergabung dengan Al Qaeda
medcom.id, Jakarta: Siapa yang sangka, awalnya merupakan program integrasi, hasilnya justru separatisme. Begitulah kisah Filipina di mata seorang pensiunan tentara Amerika Serikat, Thomas McKenna dalam bukunya “
Muslim Rebels and Rulers”.
Kesenjangan menjadi penyebab munculnya gerakan separatisme di negara berjuluk Negeri Lumbung Padi itu. Satu dekade setelah Filipina merdeka, pada 1950-an, umat muslim yang kebanyakan mendiami Pulau Mindanao dan gugusannya, hidup miskin. Secara ekonomi terdiskriminasi.
Fakta kesenjangan antara utara Filipina dengan pulau-pulau di selatan itu mengusik pemerintah. Pada 1957, dinisiasilah sebuah program integrasi, di bawah kontrol Komisi Integrasi Nasional (CNI).
Proyek CNI yang pertama adalah mengirim muslim Filipina dari selatan ke kota. Tujuannya, membaur dan memperoleh pendidikan yang berkenaan dengan kehidupan nasional. Program lainnya adalah beasiswa pendidikan Islam ke Timur Tengah. Tujuannya, muslim Filipina memperoleh kesempatan memperdalam ilmu agama, agar memberikan kemajuan bagi Islam di Filipina.
Sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya. Muslim yang mulai membaur di Ibukota Manila malah mendapatkan pemandangan yang tidak sedap. Sentimen anti-muslim bermunculan, juga di kota-kota lainnya di utara Filipina.
Tekanan terhadap muslim semakin keras setelah Ferdinand Marcos terpilih menjadi presiden pada 1965. Dua tahun kemudian, amarah dari kelompok muslim pun pecah. Isu SARA mengemuka.
Kondisi diperparah dengan beredarnya isu penembakan personel tentara muslim oleh tentara Kristen di Pulau Corregidor, Manila Bay. Saat itu pemerintah sedang menggelar perekrutan tentara dari kalangan muslim dan dilatih di pulau tersebut. Proyek pelatihan militer itu diberi nama sandi Jabidah.
Menurut McKenna, penembakan itu terjadi karena para peserta pelatihan, yang notabene tentara muslim, tidak berkenan dengan perlakuan semena-mena dari para pelatihnya. Akibat protes itu, 14 di antaranya dieksekusi mati.
Fakta inilah yang menyebabkan gencarnya demonstrasi-demonstrasi para pelajar Muslim di Manila. Mereka menuntut keadilan atas peristiwa 'Pembantaian Jabidah' itu.
Satu dari pemimpin mahasiswa yang menggelar aksi protes itu bernama Nur Misuari. Latar belakangnya adalah keluarga miskin keturunan Tausug dari Sulu. Dialah penggagas Liga Muslim Nasionalis (MNL).
"Separatisme adalah proses yang mahal dan menyakitkan dan beberapa orang biasa siap untuk membayar harganya. Namun, dunia ini sudah menjadi saksi waktu dan lagi-lagi membagi negara menjadi lebih kecil. Pembagian politik tidak sepenuhnya ada dalam kontrol tangan manusia, juga bukan produk dari kesemena-menaan mereka. Ini adalah hasil dari kondisi aktual di mana manusia menemukan dirinya sendiri. Ini adalah hasil dari sistem," tulis Misuari dalam salah satu editorialnya di media MNL,
Philippine Muslim News.
Sejak itu, separatis bak pilihan. Para pendukungnya tak mau lagi disebut
Muslim Philippinos alias warga Muslim Filipina. Mereka menyebut diri dengan nama Moro, sebutan kaum muslim di era penjajahan Spanyol.
Slogan "
Moro not Philippino" semakin nyaring, menjalar ke berbagai pelosok Filipina. Cita-citanya adalah merdeka dari Filipina, memiliki negeri dengan pemerintahan sendiri, di bawah bendera Bangsamoro.
Misuari lalu menjadi salah satu tokoh sentral dalam berbagai gerakan separatis di selatan Filipina.
Moro National Liberation Front (MNLF) didirikan.
Seiring dinamika yang terjadi di tubuh gerakan-gerakan separatis, kelompok-kelompok lain mulai terbentuk dan memisahkan diri dari MNLF. Seperti
Moro Islamic Liberation Front (MILF), BIFF, dan Abu Sayyaf.
Belakangan, Abu Sayyaf, yang merupakan kelompok milisi sempalan MNLF, menyatakan berbaiat kepada ISIS.
Ansar Khalifah Philippine (AKP) bahkan mendeklarasikan pendirian khilafah ISIS di Asia Tenggara.
MILF pun banyak pecahannya lagi, seperti kelompok Maute yang beraksi dengan bendera hitam ISIS. Joseph Franco, peneliti senior di
S Rajaratnam School of International Studies Singapura, dalam tulisannya di New Mandala memaparkan bahwa kelompok Maute sebelumnya bernama
Khilafah Islamiyah Movement (KIM).
Waralaba ISIS
Wilayah. Inilah persoalan inti dari gerakan separatis di Filipina. Mereka tidak bisa sepenuhnya dianggap sebagai organisasi teroris hanya karena berafiliasi dengan ISIS. Demikian ungkap peneliti gerakan radikal yang juga mantan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) As'ad Said Ali saat berbincang dengan
Metrotvnews.com, Rabu, 31 Mei 2017.
Artinya, kebutuhan berafiliasi dengan organisasi transnasional bak langkah taktis yang perlu ditempuh untuk mencapai cita-cita sesungguhnya. "Dalam rangka mendapatkan kekuatan supaya perjuangan separatisme itu mendapat respon," kata As'ad.
Jadi, kira-kira begini; untuk merebut wilayah, diperlukan kelembagaan yang kuat. Tapi, kondisi militan-militan di selatan Filipina itu belum kuat secara organisasi, termasuk pasukan. Oleh sebab itu, mengambil 'waralaba' organisasi transnasional menjadi kebutuhan sebagai penguat posisi tawar. Ini soal politik.
Bahkan, kata As'ad, dia pernah berbincang dengan salah seorang elite Jamaah Islamiyah (cabang dari Al Qaeda di Asia Tenggara). Dikatakannya, girah ideologi milisi-milisi di Filipina tidak kuat. Meski menyuarakan khilafah, tapi di hatinya masih berkeinginan memiliki negara sendiri.
"Sekarang pun saya kira tidak akan jauh-jauh dari itu. Seperti dua mata pisau, satu sisi idealisme (ideologi islam), satu sisi (cita-cita) separatisme. Antara membela tanah dan membela agama jadi satu," tutur As'ad.
Cara seperti ini dimungkinkan menjadi pola gerakan-gerakan separatis di dunia. Radikalisme bersampul agama kerap menjadi instrumen. Resep dasarnya dari Al Qaeda, lantas waralabanya muncul dengan banyak nama. Seperti
Al Qaeda in the Arabian Peninsula (AQAP) di Yaman,
Al Qaeda in the Islamic Maghreb (AQIM) di Algeria, Libya, Mauritania, Mali dan Niger (utara Nigeria), Al Shabaab di Somalia, Af-Pak di Afghanistan dan Pakistan, Boko Haram di Nigeria, hingga Jamaah Islamiyah di Asia Tenggara.
Begitupula dengan ISIS, pecahan Al Qaeda yang kini berseberangan dengan induknya. Dari Irak dan Suriah, ISIS juga membuka sistem waralaba. Belakangan ISIS disebut-sebut telah memiliki cabang di 18 negara, termasuk Indonesia dan Filipina.
Di samping itu semua, ada pula yang mengambil resep Al Qaeda dan ISIS dengan pola bergerak perorangan dan cenderung lepas koordinasi, yang dikenal dengan istilah
Lone Wolf.
Tapi, dari kesemuanya, ISIS lah yang tampaknya sedang 'seksi' di mata peminat separatisme. Bagus untuk menaikan posisi tawar.
Baca juga: Wakil Presiden Irak: ISIS Ingin Bergabung dengan Al Qaeda Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(COK)