medcom.id, Yogyakarta: Ingatan Feri Ardiyanto pada erupsi Gunung Merapi di Sleman, Yogyakarta pada 2010 masih begitu jelas. Informasi mengenai perkembangan aktivitas Gunung Merapi menjadi kunci dalam melakukan evakuasi warga.
"Informasi mutlak dibutuhkan saat kami melakukan evakuasi," kata Feri kepada Metrotvnews.com, Senin 2 Oktober 2017.
Feri merupakan bagian dari Search and Rescue (SAR) saat melakukan evakuasi warga di lereng Gunung Merapi. Ia selalu berkoordinasi dengan Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Yogyakarta terkait kapan Gunung Merapi akan erupsi.
Apabila Gunung Merapi akan erupsi, Feri dan rekannya sesama SAR melarang siapapun mendekat pada radius yang dianggap berbahaya. Siapa yang melanggar instruksi itu, kata dia, bakal menemukan bahaya saat evakuasi.
"Jadi tak ada musyawarah dan demokrasi waktu itu. Kalau kita larang, siapapun tidak boleh mendekat ke radius yang tidak aman apalagi melakukan evakuasi," ujarnya.
Saat itu, ribuan warga di lereng Gunung Merapi harus mengungsi guna menyelamatkan diri. Mereka mengungsi ke berbagai tempat, baik di Kabupaten Sleman bagian selatan hingga wilayah Kota Yogyakarta.
Ketika itu, ratusan orang meninggal akibat Erupsi Gunung Merapi. Mereka kebanyakan meninggal akibat terpapar panasnya erupsi Gunung Merapi, termasuk Mbah Maridjan, Juru Kunci Gunung Merapi ketika itu.
"Dari SAR DIY kami ada 300 orang yang bekerja. Kami dibantu relawan dari masyarakat, sangat banyak," tuturnya.
Mantan Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DIY, Gatot Saptadi mengungkapkan penanganan bencana alam memiliki prosedur. Gatot menjelaskan sarana dan prasana wajib disiapkan sebagai tempat pengungsian.
Jika bencana diprediksi terjadi, relokasi mutlak harus dilakukan. Menurutnya, kendala utama dalam penanganan erupsi Gunung Merapi 2010 yakni kondisi darurat. Sebabnya, saat itu belum ada instansi BPBD.
"Sekarang gunung berapi bisa diprediksi kondisinya. Mulai normal, waspada, siaga, dan awas. Kondisi awas ini yang tidak boleh dilanggar siapapun," ujar lelaki yang saat ini menjabat sebagai Sekretaris Daerah (Sekda) Pemerintah DIY ini.
Ia juga mengungkapkan bantuan logistik saat itu cukup banyak. Mayoritas berasal dari warga wilayah DIY. Namun, tegas Gatot, hal yang terpenting yakni pemahaman warga mengenai tanggap bencana.
Baik Feri maupun Gatot mengutarakan letusan gunung berapi tak bisa dielakkan. Akan tetapi manusia dan makhluk hidup di sekitarnya lah yang harus lebih mengalah karena letusan gunung berapi sudah menjadi hukum alam.
Di sisi lain, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Kementerian ESDM harus menjadi leading sector pemasok informasi apabila gunung berapi di Indonesia akan mengalami erupsi.
medcom.id, Yogyakarta: Ingatan Feri Ardiyanto pada erupsi Gunung Merapi di Sleman, Yogyakarta pada 2010 masih begitu jelas. Informasi mengenai perkembangan aktivitas Gunung Merapi menjadi kunci dalam melakukan evakuasi warga.
"Informasi mutlak dibutuhkan saat kami melakukan evakuasi," kata Feri kepada
Metrotvnews.com, Senin 2 Oktober 2017.
Feri merupakan bagian dari
Search and Rescue (SAR) saat melakukan evakuasi warga di lereng Gunung Merapi. Ia selalu berkoordinasi dengan Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Yogyakarta terkait kapan Gunung Merapi akan erupsi.
Apabila Gunung Merapi akan erupsi, Feri dan rekannya sesama SAR melarang siapapun mendekat pada radius yang dianggap berbahaya. Siapa yang melanggar instruksi itu, kata dia, bakal menemukan bahaya saat evakuasi.
"Jadi tak ada musyawarah dan demokrasi waktu itu. Kalau kita larang, siapapun tidak boleh mendekat ke radius yang tidak aman apalagi melakukan evakuasi," ujarnya.
Saat itu, ribuan warga di lereng Gunung Merapi harus mengungsi guna menyelamatkan diri. Mereka mengungsi ke berbagai tempat, baik di Kabupaten Sleman bagian selatan hingga wilayah Kota Yogyakarta.
Ketika itu, ratusan orang meninggal akibat Erupsi Gunung Merapi. Mereka kebanyakan meninggal akibat terpapar panasnya erupsi Gunung Merapi, termasuk Mbah Maridjan, Juru Kunci Gunung Merapi ketika itu.
"Dari SAR DIY kami ada 300 orang yang bekerja. Kami dibantu relawan dari masyarakat, sangat banyak," tuturnya.
Mantan Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DIY, Gatot Saptadi mengungkapkan penanganan bencana alam memiliki prosedur. Gatot menjelaskan sarana dan prasana wajib disiapkan sebagai tempat pengungsian.
Jika bencana diprediksi terjadi, relokasi mutlak harus dilakukan. Menurutnya, kendala utama dalam penanganan erupsi Gunung Merapi 2010 yakni kondisi darurat. Sebabnya, saat itu belum ada instansi BPBD.
"Sekarang gunung berapi bisa diprediksi kondisinya. Mulai normal, waspada, siaga, dan awas. Kondisi awas ini yang tidak boleh dilanggar siapapun," ujar lelaki yang saat ini menjabat sebagai Sekretaris Daerah (Sekda) Pemerintah DIY ini.
Ia juga mengungkapkan bantuan logistik saat itu cukup banyak. Mayoritas berasal dari warga wilayah DIY. Namun, tegas Gatot, hal yang terpenting yakni pemahaman warga mengenai tanggap bencana.
Baik Feri maupun Gatot mengutarakan letusan gunung berapi tak bisa dielakkan. Akan tetapi manusia dan makhluk hidup di sekitarnya lah yang harus lebih mengalah karena letusan gunung berapi sudah menjadi hukum alam.
Di sisi lain, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Kementerian ESDM harus menjadi
leading sector pemasok informasi apabila gunung berapi di Indonesia akan mengalami erupsi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(DHI)