Jakarta: Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menjaga independensi dan objektivitas pengawasan di tengah pesatnya perkembangan teknologi informasi. KPI punya tugas dan wewenang pengawasan pada media penyiaran konvensional seperti televisi dan radio.
"Perkembangan itu kemudian tentu harus juga ada norma dan batasan-batasan, agar jangan kita menjadi korban dari kebebasan pers, kebebasan berpendapat yang tidak mempunyai norma dan aturan. Karena itulah maka KPI diminta untuk menjaga ini," ujar JK dalam peresmian pembukaan Rapat Pimpinan KPI 2019 di Istana Wapres, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Rabu, 9 Oktober 2019.
Wapres menyebut perkembangan teknologi dan informasi berimbas pada banyaknya jumlah media. Hal ini membuat KPI sulit melakukan pengawasan.
JK minta KPI memperkuat sistem pengawasan yang independen dan objektif di samping self control yang dilakukan oleh media itu sendiri.
"Memang tidak mudah menjaga itu, karena tidak ada aturan yang bisa mengatur apa yang boleh dan apa yang tidak boleh. Semuanya norma dan etik itu perasaan, perasaan itu subjektif, hanya norma dan etik itu yang tentu tujuannya memajukan dan memelihara persatuan bangsa," papar dia.
JK menekankan pengawasan objektif oleh KPI sangat diperlukan di tengah tren industrialisasi media. Menjamurnya media alternatif seperti cetak dan dalam jaringan (online) membuat tuntutan publik pada media penyiaran konvensional semakin besar.
"Jadi apa yang melanggar atau tidak itu debatable. Karena itulah maka Anda semua, baik KPI Pusat maupun Daerah, harus mempunyai objektivitas dalam menilai sesuatu. Objektivitas sangat perlu, tapi juga perlu ketegasan dalam menjalankan norma dan etika," urai JK.
KPI juga harus menjunjung tinggi independensi pengawasan media penyiaran. Hal ini dimaksudkan agar tugas dan wewenang KPI tidak mengarah pada kepentingan pemilik media.
"Jadi Anda ini (KPI) tidak bisa bekerja hanya berdasarkan undang-undang, karena nanti Anda hanya melanggar norma. Jadi memang dipertaruhkan objektivitas dan independensi, independensi daripada ideologi, independensi daripada pemilik modal. Karena itu media penyiaran harus mempunyai perasaan norma yang sama, etika yang sama sehingga terjadilah kesepakatan bahwa ini boleh dan ini tidak boleh," tutur dia.
Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara menyatakan posisi KPI dilema. Sebab, di satu sisi tugas dan fungsinya terhalang undang-undang.
"Memang situasinya agak over kalau menurut saya KPI ini. Mau maju terhalang undang-undang, tidak melakukan pengawasan dianggap tidak berdaya sebagaimana persepsi publik," ungkap dia.
Dia meminta KPI lebih fokus pada tugas utama dalam melakukan pengawasan pada lembaga penyiaran. "Sudah itu saja dulu, jangan kemana-mana," tegas Rudiantara.
<iframe class="embedv" width="560" height="315" src="https://www.medcom.id/embed/8kog9ork" frameborder="0" scrolling="no" allowfullscreen></iframe>
Jakarta: Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menjaga independensi dan objektivitas pengawasan di tengah pesatnya perkembangan teknologi informasi. KPI punya tugas dan wewenang pengawasan pada media penyiaran konvensional seperti televisi dan radio.
"Perkembangan itu kemudian tentu harus juga ada norma dan batasan-batasan, agar jangan kita menjadi korban dari kebebasan pers, kebebasan berpendapat yang tidak mempunyai norma dan aturan. Karena itulah maka KPI diminta untuk menjaga ini," ujar JK dalam peresmian pembukaan Rapat Pimpinan KPI 2019 di Istana Wapres, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Rabu, 9 Oktober 2019.
Wapres menyebut perkembangan teknologi dan informasi berimbas pada banyaknya jumlah media. Hal ini membuat KPI sulit melakukan pengawasan.
JK minta KPI memperkuat sistem pengawasan yang independen dan objektif di samping
self control yang dilakukan oleh media itu sendiri.
"Memang tidak mudah menjaga itu, karena tidak ada aturan yang bisa mengatur apa yang boleh dan apa yang tidak boleh. Semuanya norma dan etik itu perasaan, perasaan itu subjektif, hanya norma dan etik itu yang tentu tujuannya memajukan dan memelihara persatuan bangsa," papar dia.
JK menekankan pengawasan objektif oleh KPI sangat diperlukan
di tengah tren industrialisasi media. Menjamurnya media alternatif seperti cetak dan dalam jaringan (online) membuat tuntutan publik pada media penyiaran konvensional semakin besar.
"Jadi apa yang melanggar atau tidak itu debatable. Karena itulah maka Anda semua, baik KPI Pusat maupun Daerah, harus mempunyai objektivitas dalam menilai sesuatu. Objektivitas sangat perlu, tapi juga perlu ketegasan dalam menjalankan norma dan etika," urai JK.
KPI juga harus menjunjung tinggi independensi pengawasan media penyiaran. Hal ini dimaksudkan agar tugas dan wewenang KPI tidak mengarah pada kepentingan pemilik media.
"Jadi Anda ini (KPI) tidak bisa bekerja hanya berdasarkan undang-undang, karena nanti Anda hanya melanggar norma. Jadi memang dipertaruhkan objektivitas dan independensi, independensi daripada ideologi, independensi daripada pemilik modal. Karena itu media penyiaran harus mempunyai perasaan norma yang sama, etika yang sama sehingga terjadilah kesepakatan bahwa ini boleh dan ini tidak boleh," tutur dia.
Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara menyatakan posisi KPI dilema. Sebab, di satu sisi tugas dan fungsinya terhalang undang-undang.
"Memang situasinya agak over kalau menurut saya KPI ini. Mau maju terhalang undang-undang, tidak melakukan pengawasan dianggap tidak berdaya sebagaimana persepsi publik," ungkap dia.
Dia meminta KPI lebih fokus pada tugas utama dalam melakukan pengawasan pada lembaga penyiaran. "Sudah itu saja dulu, jangan kemana-mana," tegas Rudiantara.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id(REN)