Pilot Susi Air Kapten Philip Mark Merthens (tengah) disandera KKB Papua. Dok Istimewa
Pilot Susi Air Kapten Philip Mark Merthens (tengah) disandera KKB Papua. Dok Istimewa

Pemerintah Diminta Tak Ciptakan Preseden Buruk Pembebasan Pilot Susi Air

Sri Utami • 05 Juli 2023 23:05
Jakarta: Anggota Komisi I DPR TB Hasanuddin menilai pemerintah harus bersikap tegas terkait kasus penyanderaan pilot Susi Air Philip Mark Mehrtens. Perkara yang terjadi di Papua disebut bukan sekadar membebaskan tawanan dengan tebusan Rp5 miliar.
 
"Negara tidak boleh tunduk atau dipaksa oleh kemauan kriminal apa pun alasannya. Kalau situasi ini dibiarkan jangankan lima milyar minta tebusan Rp100 demi kehormatan negara tidak akan diberi. Ini tidak baik akan jadi preseden dan akan terulang lagi," kata Hasanuddin, Rabu, 5 Juli 2023.
 
Dia menerangkan terdapat informasi dari beberapa versi. Salah satunya, dari pemilik Susi Air, Susi Pudjiastuti, yang ingin anak buahnya segera bebas dengan tebusan sejumlah uang. Namun, ini sudah menjadi masalah negara, sehingga negara harus memberikan keputusan yang tepat.

"Nilai itu memang kecil dibandingkan nyawa dan itu manusiawi. Tapi saya setuju dengan sikap TNI melakukan upaya lain. Sekarang sudah jadi masalah. Jadi negara harus memutuskan jangan pemda jangan perusahaan. Berdiskusi bersama pemda, pemerintah pusat, TNI dan Polri juga Susi Air untuk sebuah keputusan," paparnya.
 
Peneliti Papua dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Cahyo Pamungkas mengungkapkan upaya pembebasan sandra tersebut seharusnya menjadi pintu masuk penyelesaian konflik Papua. Jalan yang terbaik yakni membuka zona damai yang disepakati dua belah pihak.
 
"Masing-masing harus ada negosiator. Saya tidak tahu apakah mereka jalan sendiri atau satu komando," ungkap Cahyo.
 
Baca juga: Soal Uang Tebusan Pembebasan Pilot Susi Air Rp5 Miliar, Ini Kata Pengamat Militer ISESS

Dia menilai tak ada indikasi pemerintah bernegosiasi atau menciptakan zona damai. Hal ini bisa dilihat dari penegakan hukum yang terus dilakukan dengan pengiriman pasukan militer ke Papua.
 
"Soal keberulangan ini bukan kejadian pertama kali tapi sudah kesekian kali. Kalau kita melakukan pendekatan kekerasan maka hasilnya juga kekerasan," kata Cahyo.
 
Sementara itu, peneliti Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia Beni Sukadis mengatakan upaya pembebasan oleh pemerintah dengan memberikan uang tembusan perlu diklarifikasi lagi. Sebab, langkah itu harus mendapat persetujuan atau mandat pemerintah untuk melakukan negosiasi, juga dari keluarga pilot.
 
"Karena tanpa mandat yang jelas tentu pemerintah nampaknya tergesa gesa melakukan negosiasi itu. Kemudian apakah memang TNI juga mendapatkan mandat untuk melakukan negosiasi, kenapa bukan orang sipil/pejabat," jelas Beni.
 
Pihak yang menjadi negosiator sebaiknya berasal dari orang yang dipercaya oleh keluarga penyandera. Sehingga ada kepercayaan antara kedua belah pihak. Secara prinsip, kata dia, TNI bekerja berdasarkan UU sebagai alat negara yg hanya melaksanakan tupoksi sesuai dengan perintah otoritas sipil.
 
"Jadi TNI tidak bisa menugaskan diri terkait masalah penyanderaan ini," ucap Beni.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AGA)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan