Lokasi pembinaan gajah jinak di Conservation Response Unit di Dusun Batee Ulee, Kecamatan Cot Girek, Kabupaten Aceh Utara, Aceh, sempat dilanda kekeringan, 25 April 2016. Foto: MI/Amiruddin Abdullah
Lokasi pembinaan gajah jinak di Conservation Response Unit di Dusun Batee Ulee, Kecamatan Cot Girek, Kabupaten Aceh Utara, Aceh, sempat dilanda kekeringan, 25 April 2016. Foto: MI/Amiruddin Abdullah

Nasib Manusia Tergantung Satwa & Hutan

Yogi Bayu Aji • 09 Juni 2016 15:56
medcom.id, Jakarta: Wakil Presiden Jusuf Kalla menyadari betul ekosistem sangat mempengaruhi kehidupan manusia di manapun. Bila satwa di hutan habis, kehidupan manusia akan sulit.
 
Menurut Jusuf Kalla, hal ini tak dipahami masyarakat. Manusia cenderung lebih memikirkan perutnya sendiri ketimbang kehidupan satwa dan tumbuhan liar.
 
"Banyak (yang) kurang mengerti memahami atau (kurang) sering melihat kenapa orangutan, kenapa gajah harus dijaga," kata Jusuf Kalla saat membuka pameran ke-20 Pekan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia di Jakarta Convention Center, Jakarta, Kamis (9/6/2016).

Nasib Manusia Tergantung Satwa & Hutan
Seniman, pemerhati lingkungan, dan mahasiswa doa bersama saat ritual Selamatan Air di Kali Bening, Potrbangsan, Magelang, Jateng, Minggu 5 Juni 2016. Kegiatan tersebut dalam rangka memperingati Hari Lingkungan Hidup se-Dunia. Antara Foto/Anis Efizudin

 
Jusuf Kalla menyebut gajah, orangutan, anoa maupun satwa lainnya sebagai indikator kalau hutan masih baik. Hutan yang baik bisa memproduksi air dan udara yang dibutuhkan manusia.
 
Air dari hutan juga bisa digunakan untuk pengairan sawah. Sedangkan produk pangan bisa dinikmati warga di desa hingga perkotaan. Jika hutan rusak, Jusuf Kalla mengatakan, harga produk pangan seperti beras dan daging bisa jadi lebih mahal.
 
Menurut dia, Indonesia sempat salah langkah dalam hal ini. Pada 1960 sampai 1970-an, hutan dibabat habis atas nama kemakmuran manusia. "Orang-orang yang paling terpandang bila mempunyai jutaan hektare hutan yang siap dibabat," ujar dia.
 
Nasib Manusia Tergantung Satwa & Hutan
Aktivis lingkungan hidup membersihkan Sungai Way Awi Bandar Lampung, Lampung, Minggu 5 Juni 2016. Antara Foto/Tommy Saputra

 
Padahal, kata dia, kayu saat itu hanya dihargai 5 dolar per kubik. Sekarang, publik harus menanggung biaya mereboisasi yang lebih besar dibanding untung yang dulu didapat. Manusia juga kena dampak langsung dari amarah alam.
 
"Pembabatan hutan yang kita maksud untuk kemakmuran bangsa justru menyebabkan kemiskinan bangsa akibat banjir, akibat lingkungan rusak," papar dia.
 
Pemerintah sekarang gencar memperbaiki lingkungan hidup. Ada gerakan menamam satu miliar pohon, perbaikan lingkungan dan sampah, dan program kantong plastik berbayar dengan harapan hutan kembali hijau.
 
"Pendahulu kita mewariskan suatu hutan yang rusak. Tugas kita adalah mewariskan kepada anak cucu kita dengan merehabilitasi lebih banyak (hutan) untuk anak cucu kita," tegas Jusuf Kalla.
 



 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(TRK)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan