medcom.id, Jakarta: Sekali lagi kasus kejahatan seksual menjadi topik utama pemberitaan dan menyentak perhatian publik. Kasus ini terungkap setelah netizen di media sosial meramaikan topik tentang kematian seorang remaja setelah diperkosa sebagai bentuk keprihatinan terhadap nasib korban. Berkat aksi simpatik para netizen, media massa pun turut menyoroti kasus ini.
Peristiwa memprihatinkan terhadap YN ini terjadi sebulan lalu. Siswi SMP di Desa Kasie Kasubun, Kecamatan Padang Ulak Tanding, Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu, itu diperkosa oleh 14 remaja pria yang sedang mabuk saat pulang sekolah pada Sabtu 2 April 2016. Namun, karena publik meneriakkannya secara riuh di jagat maya melalui media sosial, terutama Twitter, isu ini mendadak ramai dan baru mendapat perhatian media nasional pada Senin 2 Mei 2016.
Kejadian yang menimpa YN berawal saat 14 pelaku berpesta minuman keras jenis tuak di salah satu rumah tersangka. Korban yang baru pulang dan masih mengenakan seragam biru putih melintas di lokasi itu. Melihat korban, pelaku langsung memerkosa dan membunuh serta membuang jasadnya ke jurang sedalam lima meter.
Korban diketahui meninggalkan rumah sejak Sabtu 2 April. Namun, keluarga baru menyadari korban hilang, Minggu 3 April.
Jenazahnya ditemukan pada Senin 4 April di pinggiran Desa Kasie Kasubun, Kecamatan Padang Ulak Tanding, Kabupaten Rajang Belong, Bengkulu. Penemuan tersebut berselang dua hari sejak kabar hilangnya YN.
Kepolisian Resor Rejang Lebong sudah meringkus 12 orang pelaku. Dua orang pelaku lainnya masih berstatus buron. Kebanyakan dari pelaku yang tertangkap juga masih berusia belasan tahun. Mereka terancam hukuman 30 tahun penjara. Para tersangka dijerat Pasal 76 d Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan Pasal 338 KUHP tentang menghilangkan nyawa orang, serta Pasal 536 KUHP tentang mabuk-mabukan di tempat umum.
Aksi solidaritas atas meninggalnya YN juga diselenggarakan di ibu kota. Setidaknya ada 118 LSM dan 273 individu menyuarakan kepeduliannya untuk YN di Kantor YLBHI, Jalan Dipenogoro, Jakarta Pusat, Selasa 3 Mei 2016. Mereka mendesak kepolisian agar cepat tanggap menangani kasus ini.
Kasus ini menunjukkan betapa kejahatan seksual pada perempuan dan anak di Indonesia butuh perhatian serius. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) merilis data bahwa setiap dua jam terdapat tiga perempuan menjadi korban kekerasan seksual di Indonesia. Ini berarti, ada 35 perempuan menjadi korban kekerasan seksual setiap harinya.
Lebih jauh, Komnas Perempuan mencatat kasus kekerasan seksual berkecenderungan meningkat. Pada 2013 terjadi 279.760 kasus. Jumlahnya naik menjadi 293.220 kasus pada 2014. Kemudian meningkat lagi pada 2015 sebanyak 321.752 kasus dengan rincian di antaranya ada 2.399 kasus perkosaan, 601 kasus pencabulan, dan 166 kasus pelecehan seksual.
Peristiwa memprihatinkan terhadap YN ini terjadi sebulan lalu. Siswi SMP di Desa Kasie Kasubun, Kecamatan Padang Ulak Tanding, Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu, itu diperkosa oleh 14 remaja pria yang sedang mabuk saat pulang sekolah pada Sabtu 2 April 2016. Namun, karena publik meneriakkannya secara riuh di jagat maya melalui media sosial, terutama Twitter, isu ini mendadak ramai dan baru mendapat perhatian media nasional pada Senin 2 Mei 2016.
Kejadian yang menimpa YN berawal saat 14 pelaku berpesta minuman keras jenis tuak di salah satu rumah tersangka. Korban yang baru pulang dan masih mengenakan seragam biru putih melintas di lokasi itu. Melihat korban, pelaku langsung memerkosa dan membunuh serta membuang jasadnya ke jurang sedalam lima meter.
Korban diketahui meninggalkan rumah sejak Sabtu 2 April. Namun, keluarga baru menyadari korban hilang, Minggu 3 April.
Jenazahnya ditemukan pada Senin 4 April di pinggiran Desa Kasie Kasubun, Kecamatan Padang Ulak Tanding, Kabupaten Rajang Belong, Bengkulu. Penemuan tersebut berselang dua hari sejak kabar hilangnya YN.
Kepolisian Resor Rejang Lebong sudah meringkus 12 orang pelaku. Dua orang pelaku lainnya masih berstatus buron. Kebanyakan dari pelaku yang tertangkap juga masih berusia belasan tahun. Mereka terancam hukuman 30 tahun penjara. Para tersangka dijerat Pasal 76 d Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan Pasal 338 KUHP tentang menghilangkan nyawa orang, serta Pasal 536 KUHP tentang mabuk-mabukan di tempat umum.
Aksi solidaritas atas meninggalnya YN juga diselenggarakan di ibu kota. Setidaknya ada 118 LSM dan 273 individu menyuarakan kepeduliannya untuk YN di Kantor YLBHI, Jalan Dipenogoro, Jakarta Pusat, Selasa 3 Mei 2016. Mereka mendesak kepolisian agar cepat tanggap menangani kasus ini.
Kasus ini menunjukkan betapa kejahatan seksual pada perempuan dan anak di Indonesia butuh perhatian serius. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) merilis data bahwa setiap dua jam terdapat tiga perempuan menjadi korban kekerasan seksual di Indonesia. Ini berarti, ada 35 perempuan menjadi korban kekerasan seksual setiap harinya.
Lebih jauh, Komnas Perempuan mencatat kasus kekerasan seksual berkecenderungan meningkat. Pada 2013 terjadi 279.760 kasus. Jumlahnya naik menjadi 293.220 kasus pada 2014. Kemudian meningkat lagi pada 2015 sebanyak 321.752 kasus dengan rincian di antaranya ada 2.399 kasus perkosaan, 601 kasus pencabulan, dan 166 kasus pelecehan seksual.
Kehadiran negara begitu diperlukan dalam upaya mencegah dan memberantas kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak.
"Tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang sudah masuk dalam Prolegnas (Program Legislasi Nasional) 2016," ujar Koordinator Jaringan Muda Melawan Kekerasan Seksual Tyas Widuri di Kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jalan Dipenogoro, Jakarta Pusat, Selasa (3/5/2016) pagi tadi.
Semua harus melawan
Kekerasan seksual, khususnya yang terjadi pada anak, kerap dilatarbelakangi oleh kekurang-pedulian dan lemahnya kewaspadaan pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam hal perlindungan. Menutup sekecil apapun peluang terjadinya kejahatan ini wajib dilakukan dari mulai tingkatan negara hingga orang tua.
Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak) Seto Mulyadi mengatakan peningkatan kewaspadaan dan kepedulian ini penting juga digerakkan sebagai bentuk perlawanan. Menurut dia, negara, masyarakat, media, aparat kepolisian, dan dunia peradilan hendaknya mampu bersikap tegas terhadap para pelaku yang sudah terbukti melakukan kejahatan.
"Jumlah kasus selalu meningkat. Keberanian dan kepedulian masyarakat, juga media untuk mengangkat hal ini ke permukaan juga menjadi penting. Karena terkadang kasus kekerasan seksual dianggap aib sehingga tidak diangkat. Padahal tindakan ini membuka peluang bagi pelaku untuk terus melakukan kejahatan yang sama menganggap bahwa Indonesia adalah surga bagi mereka," kata Seto saat dihubungi Metrotvnews.com.

Menurut Seto, tidak ada toleransi bagi para pelaku kejahatan seksual anak. Selain mendukung segera diterapkannya hukuman kebiri kepada para pelaku kejahatan seksual, pria yang akrab disapa Kak Seto ini juga menyarankan agar praktisi hukum bisa mendorong peningkatan efek jera kepada para pelaku.
"Sebetulnya peraturan dan perundang-undangan kita sudah bagus. Cuma perlu ditingkatkan konsekuensi hukumannya. Misal, bagi pelaku bisa diganjar untuk minimal seumur hidup atau maksimal hukuman mati," kata Seto.
Perlawanan terhadap aksi kejahatan seksual ini juga penting diupayakan dunia pendidikan. Selama ini, menurut Seto, tidak jelasnya upaya keterlibatan sekolah dalam pencegahan pelecehan seksual pada anak dan perempuan juga menjadi latarbelakang terus meningkatnya kasus tersebut.
"Kecerdasan yang dibangun dalam sistem pendidikan kita juga berperan. Selama ini yang dibangun baru pada kecerdasan kognitif. Tidak sampai ke kecerdasan perasaan. Sehingga mudah ambil jalan pintas dengan melukai diri sendiri atau pun melukai orang lain. Ini untuk mencegah terjadinya kasus kekerasan anak oleh pelaku yang juga masih berusia anak-anak," kata dia.
Hukuman pelaku bukan segalanya
Pembahasan mengenai penanggulangan aksi kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak tidak boleh hanya berkutat pada konsekuensi hukum yang diberikan kepada pelaku. Ganjaran dan hukuman tidak memberikan dampak besar dalam pemulihan psikologi korban.
Demikian dikatakan Koordinator End Child Prostitution, Child Pornography & Trafficking Of Children For Sexual Purposes (Ecpat) Indonesia Andi Ardian. Menurut dia, kasus pelecehan dan kekerasan seksual kerap menyisakan efek berkepanjangan berupa rasa traumatis yang terus menggerogoti emosional korban.
"Yang paling penting adalah upaya pemulihan kondisi korban. Konsekuensi hukum yang diterima pelaku seberat apapun juga tidak berpengaruh terhadap korban," kata Andi.
Meski begitu, mengganjar pelaku dengan hukuman yang setimpal bukan lantas tidak penting. Hanya saja, menurut dia, ada dua hal yang lebih penting untuk diperhatikan dalam diri korban sebelum dan sesudah terjadinya peristiwa, yakni pencegahan dan pemulihan.
"Pencegahan jauh lebih penting. Tapi tampaknya upaya perlindungan tidak dilakukan secara maksimal. Terlebih di era keterbukaan informasi sekarang ini, banyak informasi tanpa filter yang megakibatkan anak-anak terpapar hal-hal negatif, termasuk pornografi," kata dia.
Terkait proses hukum yang ditempuh dalam peradilan kasus yang menelan korban di bawah umur pun, kata Andi, sistem peradilan di Indonesia masih mengalami masalah. Alih-alih menghadirkan keadilan di tengah masyarakat, namun hal tersebut justru memberikan tekanan hebat bagi korban kekerasan seksual.
"Sistem peradilan anak juga masih kacau. Misal dalam sebuah persidangan korban yang masih anak-anak cenderung dikonfrontir dengan pelaku. Peradilan kita masih belum ramah anak," ujar Andi.
Menurut Andi, praktik yang sering dilakukan dalam proses peradilan seolah tidak memahami hak perlindungan yang dimiliki anak baik sebagai korban maupun saksi. Menurut dia, penting bagi Indonesia untuk memiliki peradilan khusus anak yang dipandu oleh pihak yang memiliki kesamaan perspektif mengenai hak-hak anak.
"Bagaimana jaksanya? Bagaimana dengan kehakimannya? Apakah mereka sudah memiliki perspektif yang sama dengan sistem peradilan anak? Yang sering ditemukan dalam pengadilan adalah korban yang tak lain masih di bawah umur diminta untuk bersaksi dengan menyampaikan cerita-ceritanya berulang-ulang. Padahal hal itu bisa menimbulkan rasa traumatisme korban," ujar Andi.
Kejadian yang menimpa YN patut dijadikan pelajaran bersama. Kekerasan terhadap perempuan dan anak harus dilawan. Tindakan dan aksi kejahatan yang sudah melampaui nalar kemanusiaan ini, tak patut tumbuh subur di negeri yang katanya kaya norma; kaya budaya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News