medcom.id, Jakarta: Lembaga pengawasan pelayanan publik Ombudsman RI telah melakukan evaluasi terhadap biro perjalanan umrah First Travel yang diduga melakukan penipuan hingga merugikan hingga puluhan ribu orang calon jemaah. Dalam evaluasi itu Ombudsman merekomendasikan agar usaha sejenis biro perjalanan umrah harus masuk ke dalam aturan industri.
Anggota Ombudsman RI Ari Suaedy mengatakan pihaknya menimbang bahwa First Travel mengalami lonjakan pendaftar calon jemaah umrah yang cukup signifikan sejak 2013. Namun dari sekitar 70 ribu lebih orang calon jemaah hanya 14 ribu di antaranya saja yang berhasil diberangkatkan. Sisanya dibiarkan tanpa kejelasan.
"Dengan jumlah calon jemaah sebanyak ini kapasitas pemerintah bahkan perusahaan pun sudah tidak bisa mengelolanya. Karena ini bukan hanya ibadah biasa. Penyelenggaraan ibadahnya sudah oke tetapi pengelolaan perusahaannya harus masuk era industri." ujar Ari, dalam Primetime News, Kamis 5 Oktober 2017.
Selain evaluasi, Ari mengatakan pihaknya juga telah melakukan investigasi ke semua pihak. Ombudsman meyakini kasus First Travel bukan hanya tanggung jawab satu lembaga saja, yakni Kementerian Agama. Beberapa lembaga lain pun disebut turut ambil bagian, katakanlah Ditjen Pajak.
Ari menilai keterlibatan lembaga lain akan lebih memudahkan pemerintah untuk mendeteksi apakah biro perjalanan umrah yang memiliki daftar tunggu jemaah sedemikian banyak benar-benar melakukan kewajibannya atau tidak.
Mengambil contoh First Travel, biro perjalanan umrah ini sudah sejak 2016 tidak membayarkan pajaknya. Dengan tidak membayar pajak, kata Ari, sudah patut dicurigai bahwa perusahaan tersebut memiliki masalah.
"Peraturan Menteri Agama itu sangat rinci bagaimana perusahaan PPIU itu harus melengkapi data dan sebagainya. Tetapi setelah kita cek ada beberapa PPIU yang tidak membayar pajak, tidak ada izin bahkan tidak lengkap persyaratannya seperti tidak ada NPWP dan sebagainya," kata Ari.
Ari menduga bahwa koordinasi antar-lembaga terkait kurang baik. Sebab tidak hanya First Travel, Ombudsman juga menemukan perusahaan sejenis lainnya yang melakukan modus serupa.
Meski belum sampai pada dugaan permainan oknum, Ari membuka peluang bahwa hal itu bisa saja terjadi. Mengingat ada beberapa perusahaan travel yang tanpa pajak, tanpa izin, bahkan tanpa NPWP masih bisa beroperasi dengan lancar.
"Makanya kalau tidak ditata ini akan jadi bencana. First Travel sudah ditutup pun masih akan ada bencana lain kalau tidak segera dilakukan perbaikan," ungkap Ari.
Ombudsman, kata Ari, kemudian merekomendasikan bahwa pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama cukup memfokuskan diri pada aspek penyelenggaraan ibadahnya saja. Untuk pengawasan perusahaan harus ada kerja sama dengan lembaga lain agar lebih mudah dipantau.
Namun jika merujuk pada Undang-undang penyelenggaraan umrah, sebetulnya perusahaan swasta lah yang menjadi penyelenggara, pemerintah hanya bertugas sebagai regulator. Fungsi regulator tentu terbatas. Karena melibatkan banyak pihak maka tidak mungkin hanya mengandalkan Kementerian Agama saja sebagai pengawas.
"Satu hal lagi, Kemenag tidak punya daftar siapa yang umrah bahkan siapa yang sampai ke Jeddah. Kalau ada peristiwa baru kelabakan, siapa saja mereka apa perusahaannya dan lain-lain. Jadi ketahuan bahwa tidak ada kontrol sama sekali," jelas Ari.
medcom.id, Jakarta: Lembaga pengawasan pelayanan publik Ombudsman RI telah melakukan evaluasi terhadap biro perjalanan umrah First Travel yang diduga melakukan penipuan hingga merugikan hingga puluhan ribu orang calon jemaah. Dalam evaluasi itu Ombudsman merekomendasikan agar usaha sejenis biro perjalanan umrah harus masuk ke dalam aturan industri.
Anggota Ombudsman RI Ari Suaedy mengatakan pihaknya menimbang bahwa First Travel mengalami lonjakan pendaftar calon jemaah umrah yang cukup signifikan sejak 2013. Namun dari sekitar 70 ribu lebih orang calon jemaah hanya 14 ribu di antaranya saja yang berhasil diberangkatkan. Sisanya dibiarkan tanpa kejelasan.
"Dengan jumlah calon jemaah sebanyak ini kapasitas pemerintah bahkan perusahaan pun sudah tidak bisa mengelolanya. Karena ini bukan hanya ibadah biasa. Penyelenggaraan ibadahnya sudah oke tetapi pengelolaan perusahaannya harus masuk era industri." ujar Ari, dalam
Primetime News, Kamis 5 Oktober 2017.
Selain evaluasi, Ari mengatakan pihaknya juga telah melakukan investigasi ke semua pihak. Ombudsman meyakini kasus First Travel bukan hanya tanggung jawab satu lembaga saja, yakni Kementerian Agama. Beberapa lembaga lain pun disebut turut ambil bagian, katakanlah Ditjen Pajak.
Ari menilai keterlibatan lembaga lain akan lebih memudahkan pemerintah untuk mendeteksi apakah biro perjalanan umrah yang memiliki daftar tunggu jemaah sedemikian banyak benar-benar melakukan kewajibannya atau tidak.
Mengambil contoh First Travel, biro perjalanan umrah ini sudah sejak 2016 tidak membayarkan pajaknya. Dengan tidak membayar pajak, kata Ari, sudah patut dicurigai bahwa perusahaan tersebut memiliki masalah.
"Peraturan Menteri Agama itu sangat rinci bagaimana perusahaan PPIU itu harus melengkapi data dan sebagainya. Tetapi setelah kita cek ada beberapa PPIU yang tidak membayar pajak, tidak ada izin bahkan tidak lengkap persyaratannya seperti tidak ada NPWP dan sebagainya," kata Ari.
Ari menduga bahwa koordinasi antar-lembaga terkait kurang baik. Sebab tidak hanya First Travel, Ombudsman juga menemukan perusahaan sejenis lainnya yang melakukan modus serupa.
Meski belum sampai pada dugaan permainan oknum, Ari membuka peluang bahwa hal itu bisa saja terjadi. Mengingat ada beberapa perusahaan travel yang tanpa pajak, tanpa izin, bahkan tanpa NPWP masih bisa beroperasi dengan lancar.
"Makanya kalau tidak ditata ini akan jadi bencana. First Travel sudah ditutup pun masih akan ada bencana lain kalau tidak segera dilakukan perbaikan," ungkap Ari.
Ombudsman, kata Ari, kemudian merekomendasikan bahwa pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama cukup memfokuskan diri pada aspek penyelenggaraan ibadahnya saja. Untuk pengawasan perusahaan harus ada kerja sama dengan lembaga lain agar lebih mudah dipantau.
Namun jika merujuk pada Undang-undang penyelenggaraan umrah, sebetulnya perusahaan swasta lah yang menjadi penyelenggara, pemerintah hanya bertugas sebagai regulator. Fungsi regulator tentu terbatas. Karena melibatkan banyak pihak maka tidak mungkin hanya mengandalkan Kementerian Agama saja sebagai pengawas.
"Satu hal lagi, Kemenag tidak punya daftar siapa yang umrah bahkan siapa yang sampai ke Jeddah. Kalau ada peristiwa baru kelabakan, siapa saja mereka apa perusahaannya dan lain-lain. Jadi ketahuan bahwa tidak ada kontrol sama sekali," jelas Ari.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id(MEL)