Ilustrasi: Gedung MPR/DPR/DPD. Foto: Medcom.id/Gregorius Yohandi.
Ilustrasi: Gedung MPR/DPR/DPD. Foto: Medcom.id/Gregorius Yohandi.

Suara Sumbang Penambahan Pimpinan Wakil Rakyat

Ilham wibowo • 09 Februari 2018 08:35
Jakarta: Perjalanan pembahasan Revisi Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (RUU MD3) memakan waktu  terbilang cukup panjang. Sikap protes mewarnai penambahan kursi pimpinan sebelum akhirnya disepakati Badan Legislasi (Baleg) dan pemerintah. 
 
UU MD3 bernomor 17 tahun 2014 ini sejak awal tak bisa diterima terutama partai pemenang Pemilihan Umum (Pemilu) 2014, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Jangankan ketua, partai koalisi pemerintah itu protes keras lantaran tak diberi jatah di kursi pimpinan DPR. Partai peraih 109 kursi di parlemen itu juga tak bisa masuk di jajaran pimpinan MPR maupun pimpinan DPR.  
 
Kondisi ini berbeda dengan sembilan tahun silam yang menyepakati posisi ketua DPR untuk Partai Demokrat sebagai pemenang Pemilu 2009. Komposisi pimpinan parlemen di periode pemerintahan Presiden Joko Widodo telah dirombak sebelum hasil Pemilu 2014 rampung. 

Partai Gerindra, PKS, Partai Golkar, PKS, PAN dan PPP yang kala itu tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) mendorong revisi UU MD3 agar pembagian pimpinan melalui sistem paket. Kalah jumlah suara parlemen ini membuat Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang terdiri dari PDIP, Partai NasDem, PKB dan Partai Hanura mesti nurut. 
 
Dinamika politik berubah saat Partai Golkar, PAN dan PPP berbalik arah mendukung pemerintah Jokowi. Protes pembagian slot pimpinan DPR kembali menghangat lewat RUU MD3 yang dikembalikan ke sistem proporsional pemenang pemilu. 
 
Namun, menyetujui PDIP mengisi slot penambahan pimpinan DPR dan MPR nyatanya belum mengakhiri protes. Partai Gerindra dan PKB tak setuju bila sistem proporsional tersebut hanya berlaku untuk pimpinan DPR. Dua partai ini ingin mengisi perwakilannya di pimpinan MPR. 
 
Alhasil, protes penambahan jumlah pimpinan MPR pun tak kunjung diakomodasi Baleg. Pemerintah juga tak setuju lantaran usulan itu dianggap tak rasional. 
 
Pemerintah melunak 
 
Pemerintah bersepakat, baik pimpinan DPR, MPR, dan DPD bertambah sesuai usulan. Delapan dari sepuluh fraksi setuju dengan penambahan satu kursi di DPR dan DPD serta tiga kursi di MPR. 
 
Keputusan itu dilakukan usai rapat kerja tingkat Panitia Kerja (Panja) bersama Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Rabu malam, 7 Februari 2018. Hasilnya pun bakal dibawa ke rapat paripurna untuk proses pengesahan.
 
"Ini kan dinamika politik saja dan kita pikir hanya untuk 2014-2019 dan agar ada kompromi untuk kembali kepada sistem asas proporsionalitas yang akan datang," kata Yasonna di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Kamis, 8 Februari 2018. 
 
Selain untuk PDIP, slot kursi pimpinan MPR diamini untuk dua partai lain yang belum memiliki perwakilannya yakni Gerindra dan PKB. Pilihan itu berdasarkan perolehan suara yang didapat partai tersebut pada Pemilu 2014. 
 
Slot penambahan kursi pimpinan DPR juga telah disepakati untuk diisi oleh perwakilan PDIP. Selain itu, penambahan satu kursi pimpinan untuk DPD juga telah mendapat keputusan bulat untuk diparipurnakan. 
 
Penambahan jumlah pimpinan tersebut diyakini bakal menambah konektivitas politik. Keputusan dengan mengakhiri debat perebutan kursi pimpinan itu pun dinilai merupakan jalan terbaik untuk pemerintah dan DPR. 
 
"Pokoknya kita mengakomodasi dalam rangka dinamika politik ke depan. Ini supaya masing-masing kita ini kompak-kompak saja, supaya antar fraksi bisa lebih baik dan lebih bersatu dalam memimpin kelembagaan di sini, MPR maupun DPR," ungkap Yasonna. 
 
Dua partai tetap protes 
 
Dua dari sepuluh fraksi di DPR, Partai NasDem dan PPP, tetap protes dengan penambahan kursi pimpinan. Selain RUU dianggap berpotensi mengundang masalah, dua partai ini juga protes lantaran tak dapat slot berada di pimpinan DPR, MPR, maupun DPD. 
 
"Ada satu materi yang jika ini diteruskan menjadi UU akan menjadi problem kontitusionalitas yang berat. Materi yang dibuat 427 a ayat c dari RUU ini,"  kata anggota Fraksi PPP Arsul Sani. 
 
Fraksi Partai NasDem juga menyampaikan pandangan yang sama agar RUU tak dibawa dalam paripurna. Bahkan, NasDem menolak seluruh komposisi penambahan pimpinan DPR, MPR, dan DPD. Selain pemborosan anggaran, penambahan pimpinan juga tak akan berpengaruh terhadap kinerja lembaga. 
 
"Fraksi NasDem berpendapat revisi ke-2 UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3 masih perlu pendalaman," ujar anggota Fraksi Partai NasDem Hamdani. 
 
Berikut susunan fraksi beserta wakilnya di pimpinan parlemen setelah kesepakatan RUU MD3 melalui mekanisme urutan perolehan suara Pemilu 2014:
 
1. Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan: satu kursi wakil ketua DPR dan satu kursi wakil ketua MPR
2. Fraksi Partai Golkar: Bambang Soesatyo (ketua DPR) dan Mahyudin (wakil ketua MPR)
3. Fraksi Partai Gerindra: Fadli Zon (wakil ketua DPR) dan mendapat satu kursi wakil ketua MPR
4. Fraksi Partai Demokrat: Agus Hermanto (wakil ketua DPR) dan EE Mangindaan (wakil ketua MPR)
5. Fraksi Partai Amanat Nasional: Zulkifli Hasan (ketua MPR) dan Taufik Kurniawan (wakil ketua DPR)
6. Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa: satu kursi wakil ketua MPR
7. Fraksi Partai Keadilan Sejahtera: Fahri Hamzah (wakil ketua DPR) dan Hidayat Nur Wahid (wakil ketua MPR)
8. Fraksi Partai Persatuan Pembangunan: tidak punya wakil di pimpinan DPR, MPR, maupun DPD
9. Fraksi Partai NasDem: tidak punya wakil di pimpinan DPR, MPR, maupun DPD
10. Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat: Oesman Sapta Odang (ketua DPD).
 
Protes masyarakat 
 
Penambahan jumlah pimpinan DPR, MPR maupun DPD dalam RUU MD3 dinilai hanya mengakomodasi kepentingan elite politik ketimbang rakyat. Selain pembengkakkan anggaran dan kinerja  yang tak ada beda, perdebatan bertambahnya jumlah pimpinan dinilai hanya untuk mencari panggung politik jelang Pemilu 2019. 
 
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karius mengatakan revisi UU tidak bisa dilakukan hanya untuk menyenangkan partai tertentu. Dia menyayangkan kesepakatan Baleg DPR dan pemerintah yang mengakomodasi usulan tak rasional itu. 
 
Baca: PDI Perjuangan Disebut Penyeimbang di Pimpinan DPR
 
"Undang-undang itu harus terkait dengan kepentingan bangsa dan keberlakuannya harus untuk jangka waktu yang lama," kata Licius. 
 
Ia berpandangan pembahasan RUU MD3 mestinya menyangkut perubahan mendasar di lembaga kedewanan. Soal mekanisme pemilihan pimpinan DPR, kata dia, mestinya merepresentasikan kehendak rakyat. 
 
"Jangan sampai pemilihan pimpinan mengulangi sistem terdahulu yang menyusun mekanisme pemilihan setelah komposisi perolehan kursi dalam pemilu legislatif sudah diketahui," ungkapnya. 
 
Protes pun dilayangkan lantaran kepentingan rakyat disisihkan dalam pembahasan RUU MD3 itu. Seharusnya, kata dia, RUU MD3 dimaknai secara luas untuk pembenahan dan penguatan sistem parlemen di periode mendatang terutama terkait mekanisme kursi pimpinan dewan sesuai perolehan pemilu. 
 
Masih ada waktu agar kesepakatan dalam RUU MD3 tersebut dikaji ulang sebelum sidang paripurna. "Oleh karena itu revisi UU MD3 semestinya tidak hanya dilakukan atas pertimbangan jatah partai-partai yang ada saat ini," imbuh dia. 
 

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(OGI)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan