medcom.id, Jakarta: Belum genap sebulan kabar duka kematian Amirulloh Adityas Putra berembus. Tragedi serupa yang merenggut nyawa siswa tingkat I Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP), Jakarta itu lagi-lagi ada.
Kali ini dari Yogyakarta. Dikabarkan tiga mahasiswa di Universitas Islam Indonesia (UII) meninggal dunia usai mengikuti kegiatan berkemah di Gunung Lawu, Jawa Tengah. Kegiatan itu diselenggarakan oleh Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) UII sebagai pelatihan dasar dan diberi tajuk: The Great Camping (TGC).
Adapun tiga mahasiswa malang itu adalah Muhammad Fadhli, Syait Asyam, dan Ilham Nur Padmy Listiaadin. Mereka ditengarai tewas setelah dianiaya para seniornya di Mapala UII.
Dua petunjuk
Bukan kali pertama Mapala UII menggelar pendidikan dan pelatihan dasar (diklatsar) untuk calon anggota baru itu. Kegiatan yang dihelat pada 13 sampai 20 Januari itu tercatat sebagai agenda ke-37 semenjak organisasi intra mahasiswa itu didirikan.
Meski korban tewas baru ditemukan kali ini, namun ada dua isu yang mengindikasikan tradisi kekerasan ini sudah lama ada. Pertama, adanya surat perjanjian untuk tidak menuntut atas sebuah kerugian. Kedua, pelarangan membawa alat komunikasi ponsel.
Tentang surat, diceritakan bahwa setiap peserta yang hendak mengikuti TGC wajib meneken sebuah lembar perjanjian. Isinya, tak diperkenankan menuntut jika dalam proses diklatsar tersebut ditemukan hal yang merugikan.
Informasi ini diutarakan Raihan Aflah, kakak dari salah satu peserta TGC, Abiyan Razaki. Abiyan dan tiga peserta yang meninggal diminta menandatangani surat perjanjian sebelum acara. Raihan mengaku sempat melarang, namun ayahnya tetap mengizinkan.
"Isi surat itu untuk tidak menuntut jika terjadi kerugian fisik dan jiwa. Pakai materai Rp6.000," ujar Raihan saat ditemui di RS Jogja International Hospital (JIH), Selasa (24/1/2017).
Baca: Ada Luka pada Jasad Mahasiswa UII
Tidak boleh membawa ponsel, itu yang dikatakan orang tua Ilham Nur Padmy Listiaadin, Syafii. Dari peraturan itu saja, sebenarnya keluarga korban sudah merasa khawatir.
"Dari sini sebetulnya sudah curiga. Kok tidak diizinkan membawa handphone," kata Syafii, usai pemakaman putranya, Rabu (25/1/2017).
Kekuatan hukum
Penyelidikan tengah dilakukan demi mengungkap kasus kematian tiga mahasiswa itu. Kepolisian Resor Karanganyar pun membenarkan keberadaan surat pernyataan yang mesti ditandatangani peserta itu.
Kapolres Karanganyar AKBP, Ade Safri Simajuntak berniat menggandeng tim ahli hukum pidana guna mendapatkan gambaran sejauh mana kekuatan surat itu dalam kaca mata hukum.
“Ada surat yang ditandatangani peserta sebelum mengikuti diksar,” ungkap Kapolres Karanganyar, Rabu (25/01/2017).
Baca: Kasus Mapala UII, Polisi Gandeng Ahli Hukum Pidana
Pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia (UI), Ganjar Laksamana turut angkat bicara menanggapi keberadaan surat tersebut. Menurut dia, surat pernyataan sejenis itu sama sekali tidak dikenal dalam hukum pidana.
“Di luar hukum pidana mungkin bisa saja. Meski tak memungkiri sesekali juga ditemukan dalam ranah pidana, tapi jelas itu salah kaprah,” kata Ganjar kepada Metrotvnews.com, Rabu (25/1/2017).
Gampangnya, kata Ganjar, ada atau tidak adanya surat itu tidak menghalangi proses penyelidikan. Bagi seseorang yang terbukti menghilangkan nyawa orang lain, maka harus dihukum sesuai dengan peraturan berlaku.
Salah satu tokoh nasional yang merupakan alumnus UII, Mahfudz MD menyayangkan tragedi itu terjadi di kampus yang dikenalnya anti kekerasan. Bahkan, terkait Mapala, ia menyebut organisasi itu dinilai paling baik dari segi sopan santun.
“Mapala UII dikenal organisasi dengan reputasi paling santun. Juga sebagai pengabdi kepada kemanusiaan,” kata mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu kepada Metro TV, Rabu (25/1/2017).
Mahfud MD menyebut, selama 38 tahun Mahfud mengenal Mapala UII, ia banyak merekam cerita manis tentang militansi mereka dalam menggerakkan nilai-nilai sosial.
“Sekarang justru mencelakakan orang. Pasti ada yang sudah berubah,” ujar Mahfudz.
medcom.id, Jakarta: Belum genap sebulan kabar duka
kematian Amirulloh Adityas Putra berembus. Tragedi serupa yang merenggut nyawa siswa tingkat I Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP), Jakarta itu lagi-lagi ada.
Kali ini dari Yogyakarta. Dikabarkan tiga mahasiswa di Universitas Islam Indonesia (UII) meninggal dunia usai mengikuti kegiatan berkemah di Gunung Lawu, Jawa Tengah. Kegiatan itu diselenggarakan oleh Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) UII sebagai pelatihan dasar dan diberi tajuk: The Great Camping (TGC).
Adapun tiga mahasiswa malang itu adalah Muhammad Fadhli, Syait Asyam, dan Ilham Nur Padmy Listiaadin. Mereka ditengarai tewas setelah dianiaya para seniornya di Mapala UII.
Dua petunjuk
Bukan kali pertama Mapala UII menggelar pendidikan dan pelatihan dasar (diklatsar) untuk calon anggota baru itu. Kegiatan yang dihelat pada 13 sampai 20 Januari itu tercatat sebagai agenda ke-37 semenjak organisasi intra mahasiswa itu didirikan.
Meski korban tewas baru ditemukan kali ini, namun ada dua isu yang mengindikasikan tradisi kekerasan ini sudah lama ada. Pertama, adanya surat perjanjian untuk tidak menuntut atas sebuah kerugian. Kedua, pelarangan membawa alat komunikasi ponsel.
Tentang surat, diceritakan bahwa setiap peserta yang hendak mengikuti TGC wajib meneken sebuah lembar perjanjian. Isinya, tak diperkenankan menuntut jika dalam proses diklatsar tersebut ditemukan hal yang merugikan.
Informasi ini diutarakan Raihan Aflah, kakak dari salah satu peserta TGC, Abiyan Razaki. Abiyan dan tiga peserta yang meninggal diminta menandatangani surat perjanjian sebelum acara. Raihan mengaku sempat melarang, namun ayahnya tetap mengizinkan.
"Isi surat itu untuk tidak menuntut jika terjadi kerugian fisik dan jiwa. Pakai materai Rp6.000," ujar Raihan saat ditemui di RS Jogja International Hospital (JIH), Selasa (24/1/2017).
Baca: Ada Luka pada Jasad Mahasiswa UII
Tidak boleh membawa ponsel, itu yang dikatakan orang tua Ilham Nur Padmy Listiaadin, Syafii. Dari peraturan itu saja, sebenarnya keluarga korban sudah merasa khawatir.
"Dari sini sebetulnya sudah curiga. Kok tidak diizinkan membawa
handphone," kata Syafii, usai pemakaman putranya, Rabu (25/1/2017).
Kekuatan hukum
Penyelidikan tengah dilakukan demi mengungkap kasus kematian tiga mahasiswa itu. Kepolisian Resor Karanganyar pun membenarkan keberadaan surat pernyataan yang mesti ditandatangani peserta itu.
Kapolres Karanganyar AKBP, Ade Safri Simajuntak berniat menggandeng tim ahli hukum pidana guna mendapatkan gambaran sejauh mana kekuatan surat itu dalam kaca mata hukum.
“Ada surat yang ditandatangani peserta sebelum mengikuti diksar,” ungkap Kapolres Karanganyar, Rabu (25/01/2017).
Baca: Kasus Mapala UII, Polisi Gandeng Ahli Hukum Pidana
Pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia (UI), Ganjar Laksamana turut angkat bicara menanggapi keberadaan surat tersebut. Menurut dia, surat pernyataan sejenis itu sama sekali tidak dikenal dalam hukum pidana.
“Di luar hukum pidana mungkin bisa saja. Meski tak memungkiri sesekali juga ditemukan dalam ranah pidana, tapi jelas itu salah kaprah,” kata Ganjar kepada
Metrotvnews.com, Rabu (25/1/2017).
Gampangnya, kata Ganjar, ada atau tidak adanya surat itu tidak menghalangi proses penyelidikan. Bagi seseorang yang terbukti menghilangkan nyawa orang lain, maka harus dihukum sesuai dengan peraturan berlaku.
Salah satu tokoh nasional yang merupakan alumnus UII, Mahfudz MD menyayangkan tragedi itu terjadi di kampus yang dikenalnya anti kekerasan. Bahkan, terkait Mapala, ia menyebut organisasi itu dinilai paling baik dari segi sopan santun.
“Mapala UII dikenal organisasi dengan reputasi paling santun. Juga sebagai pengabdi kepada kemanusiaan,” kata mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu kepada
Metro TV, Rabu (25/1/2017).
Mahfud MD menyebut, selama 38 tahun Mahfud mengenal Mapala UII, ia banyak merekam cerita manis tentang militansi mereka dalam menggerakkan nilai-nilai sosial.
“Sekarang justru mencelakakan orang. Pasti ada yang sudah berubah,” ujar Mahfudz.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ADM)