Jakarta: Ketua Indonesia Cyber Security Forum (ICSF), Ardi Sutedja mengkritisi Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber (Kamtansiber). Menurut dia, saat ini hanya persepsi kalangan tertentu yang ditampung dalam rancangan regulasi itu.
Padahal jika diimplementasikan, aturan itu akan mendampak seluruh pihak di level nasional. "Jadi harus melibatkan semua yang memiliki kepentingan di bidang siber. bukan hanya pemerintah, ada swasta, ada perguruan tinggi, ada banyak yang terlibat," ujar Ardi di Jakarta, Rabu, 31 Juli 2019.
Lagipula, dia menyebut tak ada kegentingan atau kegawatan nasional yang mendesak pembentukan aturan itu. Rancangan UU Kamtansiber juga dinilai hanya merefleksikan kondisi yang terjadi di masa lampau.
Padahal, sesuatu yang konvensional tak bisa dihadapkan pada sesuatu yang terus berkembang. Ancaman siber ini merupakan produk dari teknologi, dan teknologi terus mengalami perkembangan.
"Yang namanya siber itu tidak bisa ancamannya hanya satu. Ini sekarang banyak potensi ancaman yang ada dan kita harus pahami itu dulu," ujarnya.
Lebih lanjut, Ardi juga mengaku heran mengapa DPR menjadi pihak yang berinisiatif untuk membuat UU Kamtansiber. Padahal, ia berkata RUU itu merupakan wilayah pemerintah dan masyarakat.
"Sekarang sudah mereka yang membuat UU itu, sekarang mereka mau maksa supaya itu ditandatangani, dikebut. Bagaimana ceritanya coba?," ujar Ardi.
Di sisi lain, Ardi mengaku heran dengan Indonesia yang hingga kini enggan meratifikasi konvensi keamana siber yang dibuat di Eropa karena alasan kedaualatan. Padahal, ia berkata siber tidka memiliki batasan wilayah.
"Artinya kita tidak bisa berdiri sendiri, menganggap bahwa kita dunia sendiri dan kita harus jaga dunia kita. Kita tidak bisa bertahan jika tidak bekerjasama dengan pihak lain, terutama dalam forum-forum bilateral dan multilateral, ujarnya.
Jakarta: Ketua Indonesia Cyber Security Forum (ICSF), Ardi Sutedja mengkritisi Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber (Kamtansiber). Menurut dia, saat ini hanya persepsi kalangan tertentu yang ditampung dalam rancangan regulasi itu.
Padahal jika diimplementasikan, aturan itu akan mendampak seluruh pihak di level nasional. "Jadi harus melibatkan semua yang memiliki kepentingan di bidang siber. bukan hanya pemerintah, ada swasta, ada perguruan tinggi, ada banyak yang terlibat," ujar Ardi di Jakarta, Rabu, 31 Juli 2019.
Lagipula, dia menyebut tak ada kegentingan atau kegawatan nasional yang mendesak pembentukan aturan itu. Rancangan UU Kamtansiber juga dinilai hanya merefleksikan kondisi yang terjadi di masa lampau.
Padahal, sesuatu yang konvensional tak bisa dihadapkan pada sesuatu yang terus berkembang. Ancaman siber ini merupakan produk dari teknologi, dan teknologi terus mengalami perkembangan.
"Yang namanya siber itu tidak bisa ancamannya hanya satu. Ini sekarang banyak potensi ancaman yang ada dan kita harus pahami itu dulu," ujarnya.
Lebih lanjut, Ardi juga mengaku heran mengapa DPR menjadi pihak yang berinisiatif untuk membuat UU Kamtansiber. Padahal, ia berkata RUU itu merupakan wilayah pemerintah dan masyarakat.
"Sekarang sudah mereka yang membuat UU itu, sekarang mereka mau maksa supaya itu ditandatangani, dikebut. Bagaimana ceritanya coba?," ujar Ardi.
Di sisi lain, Ardi mengaku heran dengan Indonesia yang hingga kini enggan meratifikasi konvensi keamana siber yang dibuat di Eropa karena alasan kedaualatan. Padahal, ia berkata siber tidka memiliki batasan wilayah.
"Artinya kita tidak bisa berdiri sendiri, menganggap bahwa kita dunia sendiri dan kita harus jaga dunia kita. Kita tidak bisa bertahan jika tidak bekerjasama dengan pihak lain, terutama dalam forum-forum bilateral dan multilateral, ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ADN)