Jakarta: Kekerasan seksual terhadap wanita semakin tinggi tiap tahunnya. Berdasarkan Catatan Akhir Tahun Komnas Perempuan tahun 2016-2018 kekerasan seksual tertinggi terjadi di ranah personal, terutama pencabulan.
Kemudian eksploitasi seksual, dan perkosaan pelaku keluarga (inces). Sementara pada kekerasan seksual ranah komunitas tertinggi ada pada kasus pencabulan, perkosaan, dan pelecehan seksual.
Oleh karena itu, Komnas Perempuan mendukung percepatan pengesahan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Apalagi, RUU PKS bersifat lex specialis.
"Karena faktanya kekerasan seksual yang luar biasa dan keberanian korban untuk mengadu semakin tinggi. Sementara payung hukum secara komperehensif belum ada," ujar komisioner Komnas Perempuan Masruchah saat dihubungi Medcom.id, Kamis, 5 September 2019.
Saat ini, tambah dia, kekerasan yang sudah memiliki payung hukum hanya di lingkup rumah tangga, yaitu UU KDRT (UU Nomor 23 Tahun 2004), dan pencabulan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Sedangkan untuk kekerasan seks lainnya belum diatur kecuali bersifat preseden.
Masruchah berharap RUU PKS fokus pada pemidanaan pelaku dan perlindungan korban. Apalagi pelecehan seksual pada perempuan semakin tinggi saat ini.
Sebelumnya, Ketua Komisi VIII Ali Taher menegaskan Panja sedang mengebut pembahasan RUU PKS. Mereka bakal membahas bersama Komisi III agar RUU PKS bisa disahkan bulan ini.
"Hari Selasa (3 September 2019) mau ketemu Komisi III untuk membicarakan substansi hukum terkait filosofi dan sosiologis yang perlu mendapat pendalaman bersama KUHP," kata Ali, Senin, 2 September 2019.
Ali mengakui ada beberapa kendala dalam pembahasan. Beberapa fraksi menginginkan adanya pengubahan judul menjadi UU Pembinaan, Pengawasan, dan Ketahanan Keluarga.
"Berbagai partai punya pandangan sendiri terhadap RUU PKS. Misalnya, istilah kekerasan adalah bagian dalam substansi hukum. Kekerasan masuk dalam sanksi," beber dia.
Jakarta: Kekerasan seksual terhadap wanita semakin tinggi tiap tahunnya. Berdasarkan Catatan Akhir Tahun Komnas Perempuan tahun 2016-2018 kekerasan seksual tertinggi terjadi di ranah personal, terutama pencabulan.
Kemudian eksploitasi seksual, dan perkosaan pelaku keluarga (inces). Sementara pada kekerasan seksual ranah komunitas tertinggi ada pada kasus pencabulan, perkosaan, dan pelecehan seksual.
Oleh karena itu, Komnas Perempuan mendukung percepatan pengesahan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Apalagi, RUU PKS bersifat lex specialis.
"Karena faktanya kekerasan seksual yang luar biasa dan keberanian korban untuk mengadu semakin tinggi. Sementara payung hukum secara komperehensif belum ada," ujar komisioner Komnas Perempuan Masruchah saat dihubungi Medcom.id, Kamis, 5 September 2019.
Saat ini, tambah dia, kekerasan yang sudah memiliki payung hukum hanya di lingkup rumah tangga, yaitu UU KDRT (UU Nomor 23 Tahun 2004), dan pencabulan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Sedangkan untuk kekerasan seks lainnya belum diatur kecuali bersifat preseden.
Masruchah berharap RUU PKS fokus pada pemidanaan pelaku dan perlindungan korban. Apalagi pelecehan seksual pada perempuan semakin tinggi saat ini.
Sebelumnya, Ketua Komisi VIII Ali Taher menegaskan Panja sedang mengebut pembahasan RUU PKS. Mereka bakal membahas bersama Komisi III agar RUU PKS bisa disahkan bulan ini.
"Hari Selasa (3 September 2019) mau ketemu Komisi III untuk membicarakan substansi hukum terkait filosofi dan sosiologis yang perlu mendapat pendalaman bersama KUHP," kata Ali, Senin, 2 September 2019.
Ali mengakui ada beberapa kendala dalam pembahasan. Beberapa fraksi menginginkan adanya pengubahan judul menjadi UU Pembinaan, Pengawasan, dan Ketahanan Keluarga.
"Berbagai partai punya pandangan sendiri terhadap RUU PKS. Misalnya, istilah kekerasan adalah bagian dalam substansi hukum. Kekerasan masuk dalam sanksi," beber dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(NUR)