medcom.id, Jakarta: Artis Nikita Mirzani dan Model Model Putty dicokok Bareskrim Polri pada Kamis, 11 Desember kemarin, di kamar sebuah hotel setelah sebelumnya polisi menangkap dua mucikari, F dan O. Usai pemeriksaan, polisi menetapkan F dan O sebagai tersangka sedangkan Nikita dan Putty dibebaskan.
F dan O dijerat dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Sementara, Nikita dan Putty dianggap sebagai korbannya sehingga lolos dari jerat pidana.
Kriminolog Universitas Indonesia Adrianus Meliala menilai, lepasnya Nikita merupakan konsekuensi dari penggunaan UU TPPO dalam kasus tersebut. "Kenapa pakai UU tersebut? Karena hanya itu yang bisa digunakan," kata Adrianus kepada Metrotvnews.com, Minggu (13/12/2015).
Sementara, dia menilai Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang telah diberlakukan sejak 1958 tak lagi mampu mengikuti perubahan zaman. Padahal, ragam serta modus kejahatan selalu berkembang mengikuti kehidupan manusia. "KUHP sudah ketinggalan zaman," jelas dia.
Di lain pihak, Pengacara Osner Jhonson Suanipar menilai adanya ketidakadilan dalam proses hukum yang dijalani kedua kliennya, O dan F. Dia tak terima Nikita dan Putty hanya dianggap sebagai korban.
"Padahal, yang menentukan tarif mereka (Nikita dan Putty), yang memilih tempat menginap mereka," ujar Osner di Bareskrim Mabes Polri, Jakarta Selatan, Sabtu, 12 Desember 2015.
Menurut dia, penggunaan UU TPPO tidak tepat. Pasalnya, dalam kasus prostitusi ini, sang artis tidak 'diperdagangkan' secara paksa, melainkan bertindak atas kemauan mereka.
"Misalnya perempuan yang dijanjikan kerja di toko, namun ternyata ditipu dan dijual, baru itu namanya korban," ujar Osner.
Untuk itu, menurut Osner, UU yang mengatur mengenai hukuman bagi pelaku prostitusi harusnya direvisi. Dia bahkan sudah berencana untuk mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi dalam waktu dekat.
Sementara, dalam melihat kasus ini, Adrianus menilai aparat penegak hukum tak boleh hanya berhenti dalam mengungkap bisnis prostisusi di kalangan artis. Pasalnya, kata dia, masalah yang lebih nyata adalah prostitusi kelas bawah.
"Prevalensi prostitusi kelas atas kecil. Pelakunya pun orang-orang berpunya yang sekadar ingin bergaya hidup khas saja. Masalah sosial kita adalah prostitusi kelas bawah. Banyak sekali persoalannya," pungkas dia.
medcom.id, Jakarta: Artis Nikita Mirzani dan Model Model Putty dicokok Bareskrim Polri pada Kamis, 11 Desember kemarin, di kamar sebuah hotel setelah sebelumnya polisi menangkap dua mucikari, F dan O. Usai pemeriksaan, polisi menetapkan F dan O sebagai tersangka sedangkan Nikita dan Putty dibebaskan.
F dan O dijerat dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Sementara, Nikita dan Putty dianggap sebagai korbannya sehingga lolos dari jerat pidana.
Kriminolog Universitas Indonesia Adrianus Meliala menilai, lepasnya Nikita merupakan konsekuensi dari penggunaan UU TPPO dalam kasus tersebut. "Kenapa pakai UU tersebut? Karena hanya itu yang bisa digunakan," kata Adrianus kepada Metrotvnews.com, Minggu (13/12/2015).
Sementara, dia menilai Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang telah diberlakukan sejak 1958 tak lagi mampu mengikuti perubahan zaman. Padahal, ragam serta modus kejahatan selalu berkembang mengikuti kehidupan manusia. "KUHP sudah ketinggalan zaman," jelas dia.
Di lain pihak, Pengacara Osner Jhonson Suanipar menilai adanya ketidakadilan dalam proses hukum yang dijalani kedua kliennya, O dan F. Dia tak terima Nikita dan Putty hanya dianggap sebagai korban.
"Padahal, yang menentukan tarif mereka (Nikita dan Putty), yang memilih tempat menginap mereka," ujar Osner di Bareskrim Mabes Polri, Jakarta Selatan, Sabtu, 12 Desember 2015.
Menurut dia, penggunaan UU TPPO tidak tepat. Pasalnya, dalam kasus prostitusi ini, sang artis tidak 'diperdagangkan' secara paksa, melainkan bertindak atas kemauan mereka.
"Misalnya perempuan yang dijanjikan kerja di toko, namun ternyata ditipu dan dijual, baru itu namanya korban," ujar Osner.
Untuk itu, menurut Osner, UU yang mengatur mengenai hukuman bagi pelaku prostitusi harusnya direvisi. Dia bahkan sudah berencana untuk mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi dalam waktu dekat.
Sementara, dalam melihat kasus ini, Adrianus menilai aparat penegak hukum tak boleh hanya berhenti dalam mengungkap bisnis prostisusi di kalangan artis. Pasalnya, kata dia, masalah yang lebih nyata adalah prostitusi kelas bawah.
"Prevalensi prostitusi kelas atas kecil. Pelakunya pun orang-orang berpunya yang sekadar ingin bergaya hidup khas saja. Masalah sosial kita adalah prostitusi kelas bawah. Banyak sekali persoalannya," pungkas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OGI)