Jumiati, seorang pemulung tengah mengumpulkan koran bekas dipakai warga untuk alas salat Idul Adha di depan Masjid Sunda Kelapa, Jakarta Pusat,--Foto: MTVN/Dheri Agriesta
Jumiati, seorang pemulung tengah mengumpulkan koran bekas dipakai warga untuk alas salat Idul Adha di depan Masjid Sunda Kelapa, Jakarta Pusat,--Foto: MTVN/Dheri Agriesta

Kisah Sepasang Suami Istri Pengumpul Koran Bekas di Masjid Sunda Kelapa

Dheri Agriesta • 24 September 2015 16:55
medcom.id, Jakarta: Jumiati duduk di dekat pintu masuk Masjid Sunda Kelapa, senyumnya merekah menyapa orang-orang yang lewat di dekatnya. Tanpa malu, tangan kecilnya lincah menarik koran lusuh dari tumpukan dan melipatnya menjadi rapi.
 
Jumiati berada di dekat pintu masuk Masjid Sunda Kelapa, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (24/9/2015) sedari pagi selepas salat Idul Adha. Sekitar pukul 12.00 WIB, matahari semakin terik, ia bersama dengan suaminya Wahyu masih sibuk merapikan kertas koran bekas yang digunakan jamaah sebagai alas untuk salat dia halaman masjid.
 
"Ini lumayan kalau dijual, sekilonya sekitar Rp1.500, dijualnya di Godangdia kalau enggak di Manggarai," kata Jumiati.

Jumiati tak terganggu dengan pandangan orang yang lewat. Ia juga tak terganggu dengan kehadiran penulis yang tengah duduk di depannya, memperhatikan kecepatan tangannya yang lihai merapikan koran yang telah lusuh.
 
Ia pun tak sungkan menjelaskan kertas mana yang lebih berharga dari kertas lainnya. Kertas koran yang lusuh, kata ia, akan dijual kepada pengepul kertas di Gondangia atau Manggarai.
 
Namun, kertas koran yang masih rapi dan licin tak akan ia jual ke sana. Koran itu akan ia jual sendiri di tengah keramaian ibadah salat Jumat.
 
"Kalau yang ini (nunjuk koran yang rapi), bisa dijual sendiri nanti di masjid buat salat Jumat, bisa satunya seribu," kata dia.
 
Jumiati berasal dari Cirebon, orangtuanya seorang tukang urut yang bekerja di sebuah rumah sakit di sana. Ia memiliki tiga anak, ketiga anaknya ada di Cirebon, bersekolah dan ada di bawah perawatan sang nenek.
 
Uang yang Jumiati peroleh dari mengumpulkan rongsokan akan ia gunakan untuk membiayai sekolah anak, kontrakan, dan sekadar nasi untuk penyumbat lapar. Ia tak hanya mengumpulkan rongsokan, tak jarang ia juga mengamen.
 
"Kadang saya juga ngamen, suami yang tetap ngerongsok, soalnya sekarang harga rongsokan lagi turun. Lumayanlah bang untuk biaya sekolah anak dan bayar kontrakan," kata dia.
 
Tak Kapok Ditangkap
 
Berkeliaran di jalanan tak terlalu aman. Ancaman datang dari mana saja, teman dan juga petugas yang siap menangkap mereka yang dianggap mengganggu ketertiban.
 
Jumiati dan Wahyu pernah ditangkap petugas razia, tak hanya sekali, berkali-kali. Pertama kali tertangkap, Wahyu belum kenal dengan Jumiati, sekitar tahun 2004. Ia ditangkap petugas razia gabungan dan menginap selama 20 hari.
 
Setelah itu, sepuluh kali sudah ia tertangkap petugas gabungan. Namun, ia mengaku tak pernah ditahan sampai sebulan. Paling lama sekitar 25 hari. Setelah itu ia akan kembali mencari nafkah di jalanan.
 
Jumiati pun tak luput dari penangkapan petugas, ia pernah menginap 20 hari di panti sosial Cijantung.
 
"Pernah ditangkap lagi mulung di depan Monas yang deket Istana, ditahan dua puluh hari di Cijantung," kata dia.
 
Jumiati dan Wahyu tak kapok meski ditangkap berkali-kali. Namun mereka mengaku berhati-hati untuk mencari nafkah di jalanan.
 
"Sekarang mah rawan, suka razia gabungan, kita enggak kapok, kalau di jalanan mentalnya harus kuat, cuma hati-hati aja, pinter-pinter," kata Jumiati.
 
Punya Pekerjaan di Kampung
 
Wahyu masih sibuk memilah koran bekas yang menumpuk di depannya. Pekerjaan ini akan memakan waktu lama, adzan Dzuhur sudah berkumandang, tapi tumpukan tak kunjung menyusut.
 
Wahyu merupakan pria asal Medan, ia bertemu dengan Jumiati di Jakarta dan menikah. Sebenarnya, pasangan suami istri ini tak perlu mengadu nasib ke Jakarta. Sudah ada pekerjaan yang bisa dilakoni Wahyu di Cirebon, kampung halaman istrinya.
 
"Sebenarnya di Cirebon, kan istri orang Cirebon, ada kerja bangunan, tapi kitanya enggak mau, keenakan mulung," kata dia, senyum tersungging di bibirnya.
 
Bekerja sebagai kuli bangunan tak cukup menarik perhatian pria asal tanah Batak ini. Ia lebih memilih menjadi pengumpul rongsokan karena tak ada yang mengatur kapan ia harus bekerja dan kapan harus bersantai. Kakinya hanya digerakkan perut yang mulai lapar.
 
"Kalau mulung bebas, enggak ada yang atur," kata dia.
 
Kini, Wahyu masih asyik duduk bersama sang istri memilah koran bekas yang masih menumpuk. Dahaga sesekali ia lepas dengan air mineral botol dan es teh manis. Ia tak sabar menukarkan uang yang ia dapat hari ini untuk membeli sebuah gerobak bekal memulung kelak.
 
"Belum tau juga ini dapetnya berapa, bisa selesai sore nanti. Lumayan ini kerja bakti istilahnya, bang. Soalnya duit ini buat beli gerobak, ada temen yang jual gerobak Rp200.000," pungkas dia sembari membayangkan gerobak yang akan ia dorong mencari rongsokan.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(MBM)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan