medcom.id, Mekkah: “Tentu tidak segampang yang dipikirkan. Setiap saat bisa berubah. Saya melihat di sini, ketentuan penanganan emergency seperti ini belum ada protap yang jelas. Sehingga, ketika hari ini kita diperlakukan model A, besok mungkin berubah cara mereka memperlakukan kita. Setiap orang tidak memiliki standar pelayanan yang jelas.”
Demikian sekelumit gambaran Ketua Tim Identifikasi Jenazah, Letkol Jaetul Muchlis (47), tentang betapa susahnya mengemban tugas menemukan jenazah anggota jemaah haji Indonesia yang menjadi korban peristiwa Mina seperti dilansir dari situs resmi Kementerian Agama, Kamis (8/10/2015).
Kamis (24/09), hari itu langit cerah dan cenderung panas. Sementara di Tanah Air sedang merayakan Idul Adha, jemaah haji di seluruh dunia, termasuk Indonesia, pagi itu mulai tiba di Mina setelah menginap (mabit) di Muzdalifah.
Semua berjalan lancar sampai sekitar pukul 09.00 waktu Arab Saudi, terjadi peristiwa jamaah haji berdesakan di Jalan Arab Nomor 204, Mina. Ribuan korban jamaah haji meninggal, termasuk lebih dari 100 jamaah haji Indonesia yang saat itu melintas di sana.
Senin (05/10) malam, Ketua Tim Identifikasi Jenazah korban peristiwa Mina, Jaetul Muchlis, menyempatkan diri untuk berbagi kisah dengan Tim Media Center Haji (MCH) Daker Makkah tentang upayanya dalam menembus keterbatasan akses identifikasi jenazah di Majma’ Ath-Thawary bil-Mu’aishim atau tempat pemulasaraan jenazah di Mu’aishim.
Peristiwa “Jalur 204” sebenarnya bukan berada pada jalur jamaah haji Indonesia ketika akan menuju ke atau pulang dari Jamarat (tempat melempar jumrah). Jamaah haji Indonesia yang tinggal di Harratul Lisan Mina, jalur menuju Jamarrat nya melalui terowongan Mu’aishim. Sedang bagi mereka yang tinggal di tenda Mina Jadid, jalurnya melewati Jalan Malik Fahd.
Namun demikian, langkah-langkah strategis tetap dilakukan untuk mengidentifikasi apakah ada korban jemaah haji Indonesia ataukah tidak. Karenanya, tidak lama setelah kejadian, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin selaku Amirul Haj segera membentuk 3 tim yang bergerak secara paralel.
Tim pertama bertugas mendata ulang jamaah yang belum kembali ke rombongan. Tim Kedua, mencari jejak korban di rumah sakit Arab Saudi.
“Kami di Tim Linjam ini mempunyai spesifikasi khusus. Kami ditugasi untuk lebih awal mengetahui berapa sebenarnya korban yang dinyatakan wafat dalam peristiwa ini. Makanya, akses kami tentunya mungkin agak unik, ke kamar-kamar jenazah ataupun ke penampungan pemulasaraan jenazah yang ada di Arab Saudi,” jelas Muchlis mendeskripsikan tim ketiga (Tim Identifkasi Jenazah) di mana dirinya bertugas.
Tim Identifikasi jenazah korban Mina ini beranggotakan 4 orang, yaitu: Letkol Jaetul Muchlis (Kemenag/TNI) selaku ketua, dengan anggota: dr. Taufik Tjahjadi (Kemenkes), Naif Bajri Basri Marjan (Temus), dan Fadhil Ahmad (KJRI).
Menurut Taufik (60), tim identifikasi ini sebelumnya adalah orang-orang yang juga melakukan proses identifikasi pada peristiwa crane. Hanya saja pada saat identifikasi korban crane, masing-masing dari mereka bekerja sendiri-sendiri, antara tim Daker Mekkah dan tim Balai Pengobatan Haji Indonesia (BPHI).
Untuk penanganan peristiwa Mina, tim ini bergabung menjadi satu untuk bekerjasama mengindentifikasi jenazah yang diduga anggota jemaah haji Indonesia.
“Dalam bekerja, kita bersama-sama, ada yang mencatat, ada yang melihat, dan juga ada yang membongkar arsip dokumen,” terang Taufik, Kamis (08/10).
Mendapat mandat khusus untuk “bergelut” dengan jenazah, Tim Identifikasi ini lekas bergerak menyisir sudut-sudut tempat pemulasaraan Mua’ishim.
“Sayang, lebih dari 1×24 jam sejak peristiwa, kita baru dapat akses di Mu’aishim, itupun terbatas hanya untuk melihat, mengamati, mencermati foto-foto yang mereka rilis,” terang Muchlis.
“Foto-foto yang sudah dipublish, bisa kita lihat, kita amati. Itulah modal awal kami untuk mencari jemaah,” tambahnya.
Akses yang sudah diperoleh, meski kecil, dimaksimalkan. Ribuan foto yang didisplay pada dua ruang galeri di Mu’aishim dipelototi satu persatu, mencari petunjuk awal dalam proses identifikasi. Sebenarnya ada tiga hal yang dilakukan pihak Mu’aishim terhadap jenazah korban Mina.
Setiap jenazah yang diturunkan dari kontainer berpendingin itu, difoto, diambil sidik jari, lalu diambil sampel DNA. Pada saat bersamaan, seluruh perangkat yang melekat pada jenazah jamaah disimpan dalam satu file sebagai data pendukung identifikasi jamaah.
Sayang, akses yang diberikan ke tim identifikasi baru sekedar melihat dan mengamati foto untuk mengenali jenazah jamaah haji Indonesia. Dengan ribuan foto yang ada tentu ini bukan pekerjaan mudah, belum lagi konsentrasi mereka harus diganggu oleh sengat bau yang menusuk dari gedung seberang jalan yang menjadi tempat pemulasaraan jenazah.
Perlahan tapi pasti, jenazah mulai diidentifikasi. Selang Dua hari, tim identifikasi berhasil mengidentifikasi tiga jenazah anggota jemaah haji Indonesia.
“Ada yang bisa kita lihat, kita identifikasi, kita verifikasi, yang berangkat dari kebiasaan orang Indonesia, kelaziman orang Indonesia. Baik dari segi berpakaian mungkin, dari raut mukanya mungkin. Juga hal-hal yang mungkin khas dipakai jamaah Indonesia, seperti gelang dan slayer beraneka warna. Ini modal awal kami di tim ini untuk menelusuri keberadaan dari yang diduga sebagai korban dalam peristiwa ini,” terangnya.
Dengan akses yang sangat terbatas saat itu, mampu mengidentifikasi tentunya adalah sebuah prestasi. Tapi sepertinya tidak bagi sebagian orang yang sebenarnya tidak tahu kondisi riil di lapangan, lalu ikut berkomentar, dan menilai bahwa tim ini lambat dalam mengidentifikasi.
Mendobrak Akses
Muchlis berkisah bahwa tim identifikasi tidak mau menyerah. Baginya, akses terhadap foto adalah modal yang harus dioptimalkan untuk menembus akses-akses lainnya. Tim identifikasi sadar bahwa mengandalkan foto saja tentu akan sulit dalam proses identifikasi.
Hal lain yang diperlukan adalah akses terhadap data pendukung terkait jenazah yang diarsip (file) oleh pihak Mu’aishim. Menurut Muchlis, akses itu harus ditembus, telebih tersimpan di tempat pemulasaraan Mu’aishim juga.
“Inilah yang senantiasa kita lakukan siang malam. Dengan pendekatan-pendekatan khusus, kita coba menembus akses. Karena institusi yang ada di sini, baik kepolisiannya, kesehatannya, boleh dikatakan agak sulit kita tembus aksesnya,” kenang Muchlis.
Berbagai upaya dilakukan, termasuk melalui pendekatan kultural. Naif Bajri (33) yang lahir dan besar di Saudi sehingga tahu bahasa dan kultur orang-orang Saudi, berada di depan untuk bernegosiasi.
“Pak Naif ini yang tahu kultur, bahasa, dan habitnya orang Arab sini. Dia tahu hal-hal yang bisa menyentuh dan mempererat silaturahmi sehingga mereka bisa terbuka. Itu kami lakukan,” ujarnya.
“Kalau mungkin lazimnya orang sini harus peluk kiri-kanan, cipika-cipiki, kita lakukan semua itu. Kita ekspose apa yang mereka senangi. Kita perkenalkan Indonesia sehingga ada komunikasi. Kalau ada komunikasi, terjalin harmoni di antara kami dengan mereka. Inilah jalan akses kami masuk ke situ,” tambahnya.
Senada dengan Muchlis, Taufik melihat pentingnya komunikasi awal dalam menjalin hubungan dengan para petugas di Mu’aishim. Karenanya, keberadaan Naif memang cukup signifikan. Selain bisa berbahasa Arab, menurut Taufik, Naif juga tidak mudah menyerah.
Naif (33) mengiyakan apa yang disampaikan ketua timnya, Jaetul Muchlis dan sejawatnya Taufik. Dia mengaku dengan orang Arab itu bisa seperti teman, meski orang Arab sering kaget ketika melihat wajahnya khas Indonesia tapi lebih lancar berbahasa Arab.
“Saya bisa gunakan bahasa Arab sehingga bisa ambil informasi. Saya bilang mau data ini langsung dikasih. Itu karena ada kemampuan bahasa, apalagi saya juga tahu sifat orang Arab,” terangnya.
Naif sadar betul kalau kemampuan bahasa Arabnya bisa dimanfaatkan untuk melakukan pendekatan awal. Langkah selanjutnya adalah membantu pekerjaan orang Arab karena mereka senang kalau dibantu.
“Saya tahu orang Arab, kalau kita mau bantuin, dia suka. Orang Arab di sini senang kalau kita bantu. Misalnya, kita bantu pekerjaan mereka mengarsip dokumen, dia suka. Ya sudah kita bisa sekalian ambil data yang kita mau, tuturnya.
Meski demikian, Naif mengaku kendala tetap saja ada. Kalau ada masalah, dia pun mencoba mencari jalan lain. Kalau bertemu dengan satu petugas yang sulit untuk dimintai tolong, maka dia akan beralih ke petugas lainnya, begitu dan seterusnya.
“Ini enggak bisa jalan, saya cari yang lain yang bisa,” katanya.
Hasilnya, akses terhadap arsip (file) jenazah diperoleh. Berbeda dengan gedung galeri foto, tempat penyimpanan file ini berada pada gedung yang sama dengan tempat pemulasaraan jenazah.
Persisnya pada ruang yang bersebelahan. Terbayang, perjuangan akan semakin berat mengingat jarak yang semakin dekat dengan posisi jenazah yang usianya terus bertambah. Bau yang dirasa pun semakin menyengat.
Tidak masalah bagi Muchlis dan tim, terpenting adalah akses terhadap file bisa didapat. Meski demikian, Muchlis mengaku kalau prosesnya tidak segampang yang dibayangkan. Maklum, di Mu’aishim ada banyak polisi yang ide dan pikirannya tidak sama semua. Tidak jarang kebijakan berubah karena antara satu dan lainnya memang berbeda.
Akibatnya, akses pun tidak selalu mudah untuk diperolehnya. “Setiap saat bisa berubah. Nah, yang saya lihat di sini bahwa ketentuan penanganan emergency yang seperti kejadian ini belum ada protap yang jelas. Atau mungkin kita tidak tahu tentang protap itu,” jelas Muchlis.
“Mungkin satu orang mempersilakan kita mengakses buka file di gudang arsip mereka, tapi satu orang lagi melarangnya. Inilah terjadi friksi-friksi yang kami hadapi. Tapi dengan berbagai upaya bagaimana tim ini bisa mencari titik-titik atau celah sekecil apapun untuk bisa masuk dan mendapatkan akses orang yang ada di sini,” imbunya.
Tidak adanya peraturan yang baku dalam penanganan jenazah di Mu’aishim juga diakui Taufik sebagai salah satu kendala. Taufik mengaku merasakan sendiri bagaimana dirinya terkadang bisa mendapat akses untuk melihat file dan terkadang sama sekali tidak bisa.
Menurutnya, diusir petugas saat akan mengidentifikasi menjadi hal biasa. Karenanya, ketika akses itu tidak diberikan, Taufik dan tim bukannya pulang.
“Kita tidak pulang. Kita sudah tahu bahwa kayak begini kerja mereka. Jadi kita harus sabar. Paling geser aja dulu, nanti sebentar yang lain lagi ajak kita masuk. Walaupun pada akhirnya kita diusir lagi, itu tidak masalah,” tegasnya.
“Jadi memang dibutuhkan kesabaran, karena tidak ada yang pasti. Saya selalu mengatakan bahwa yang pasti di sini itu cuma satu, yaitu ketidakpastian,” tambahnya.
Apapun dan bagaimanapun keadaannya, Muchlis dan tim bersyukur. Sebab, sebatas yang diketahuinya, tim identifikasi Indonesia menjadi satu-satunya atau yang pertama yang berhasil mengakses gudang arsip jenazah di Mu’aishim.
Pencarian dilakukan pada tahapan berikutnya. Bermodalkan hasil identifikasi foto, tim ini kemudian mencocokkannya dengan arsip milik polisi Mu’aishim sesuai dengan nomor register yang tercatat di foto.
“Dari foto yang patut kita duga warga Indonesa dengan karakteristik tertentu, kita cocokkan dengan file yang dimiliki kepolisian. Jika file itu mendukung dugaan jenazah berasal dari Indonesia, seperti ada gelang identitas, atau ada paspor, atau lainnya, baru kita bisa memastikan bahwa itu adalah jenazah jamaah haji Indonesia,” tegas Muchlis.
Jika masih meragukan, lanjut Muchlis, maka tim ini masuk pada tahapan ketiga, yaitu melihat langsung jenazah korban sesuai nomor foto yang diperoleh.
“Kita buka file dengan nomor yang sama dengan foto itu. Dan di tahap ketiga, kita meyakinkan dengan melihat jenazah yang ada dalam peti itu,” kata Muchlis.
Senada dengan Muchlis, Taufik mengatakan bahwa jika identitas jenazah tidak ditemukan dalam arsip padahal sudah yakin itu adalah orang Indonesia, maka tim mencoba untuk mengakses jenazah.
Taufik mengaku pernah melihat ada gelang jamaah yang masih melekat di jenazah dan itu akan sangat membantu. Dari gelang itu, tim berkesimpulan bahwa jenazah tersebut adalah jamaah haji Indonesia.
“Kejadiannya pernah. Pertama-pertama, ternyata ada yang seperti itu. Tidak ada isi file, tapi ternyata ada gelang menempel di tangannya. Itu sudah kita buktikan lagi bahwa ternyata benar orangnya,” ujar Taufik.
Pelan tapi pasti, jenazah demi jenazah berhasil diidentifikasi. Sampai dengan hari ini, Rabu (07/10), 120 jenazah dipastikan orang Indonesia, terdiri dari 115 jenazah jamaah haji dan 5 jenazah yang mukim di Arab Saudi. Proses identifikasi tetap berlanjut karena masih ada 8 jamaah haji Indonesia yang dilaporkan belum kembali.
14 hari masa pencarian, mungkin bukan waktu yang cepat, terutama bagi keluarga jamaah yang menjadi korban Mina. Tapi dengan akses yang terbatas, empat belas hari dapat mengidentifikasi 120 jenazah adalah prestasi yang patut diapresiasi. Sekira akses terhadap arsip dan jenazah bisa diberikan sejak awal, mungkin proses identifikasi akan lebih cepat lagi.
Belajar dari peristiwa
Di setiap kejadian, tentu banyak hikmah dan pelajaran yang bisa dipetik, termasuk dari peristiwa Mina yang Muchlis sendiri tidak mau menyebutnya sebagai musibah.
Menurutnya, banyak pelajaran yang didapatkan. Salah satunya adalah perlunya petunjuk teknis antisipasi kejadian darurat. Meski berharap peristiwa Mina tidak akan terulang, namun menurut Muchlis, tahapan kerja penanganan krisis tetap harus ada.
“Jadi perlu contingency untuk mengantisipasi ini, sudah terstruktur dari awal dengan ketentuan yang jelas,” tuturnya.
Baginya, keberadaan petunjuk teknis penting untuk mempercepat pengambilan tindakan pada saat gawat darurat. Tindakan yang cepat dan tepat sangat dibutuhkan dan keberadaan juknis dibutuhkan agar jelas siapa harus berbuat apa.
Selain itu, perlu penguatan organisasi kloter. Hal ini penting untuk mempermudah mengetahui setiap pergerakan dan keberadaan jamaah haji Indonesia. Setiap petugas kloter, kepala regu, dan kepala rombongan harus tahu betul keberadaan Jemaah yang ada di bawah kendalinya.
“Organisasi kloter ke depan harus lebih dipotimalkan sehingga mudah untuk mendapat kepastian jumlah jemaah yang belum kembali ke kloternya ketika ada peristiwa semacam ini,” kata Muchlis.
Hal lainnya terkait penggunaan gelang identitas yang tidak mudah lepas. Di sela-sela mengidentifikasi jenazah, Muchlis mengaku mendapat masukan menarik dari penanggung jawab pemakaman Mu’aishim terkait gelang identitas jamaah dari salah satu negara pengirim jamaah haji yang tidak mudah terlepas.
“Dari informasi yang saya peroleh, gelang identitas itu tidak bisa lepas dari tangan jamaah apapun keadaannya, kecuali putus tangannya atau digunting gelangnya. Ini yang membantu memudahkan identifikasi mereka,” tutur Muchlis.
Sebab, lanjut Muchlis, informasi yang ada di gelang identitas sudah lengkap, ada nama, nomor kloter, dan nomor paspor sehingga mudah untuk mengidentifikasi. “Tinggal bagaimana agar bisa didesain sehingga tidak mudah lepas,” jelasnya.
Keberadaan gelang yang tidak mudah dilepas penting agar ketika ada peristiwa, misalnya anggota jemaah pingsan lalu dibawa ambulans Arab Saudi dan dirawat di RS Arab Saudi, gelang itu tetap melekat.
Siapapun yang tidak mengetahui fungsi gelang itu, tidak dapat dengan mudah melepasnya dari jemaah. Muchlis mengaku selama ini banyak anggota jemaah dirawat di ICU rumah sakit, tanpa identitas yang diketahui.
“Sehingga dari awal masuk pun di pendaftaran majhul (tidak diketahui identitasnya) cuma dikatakan itu Indonesia. Ini juga jadi ada kerja tambahan kalau tidak lengkap,” jelasnya.
Hal sama disampaikan Taufik. Menurut pria kelahiran Makassar 1955 ini, ke depan perlu dipikirkan agar gelang jemaah haji tidak mudah terlepas. Selain itu, nama jamaah haji di gelang juga perlu ditulis dalam huruf Arab karena penulisan identitas jenazah di sini menggunakan huruf Arab yang terkadang menjadi susah untuk membacanya.
“Nama jemaah sebaiknya ada tulisan arabnya. Jadi ketika mereka melihat gelang itu, tinggal disalin saja sesuai dengan yang ada dalam tulisan,” katanya.
Terakhir, Muchlis berharap ke depan jemaah haji Indonesia lebih disiplin dalam mematuhi jadwal pelaksanaan lontar jumrah sebagaimana ditetapkan oleh Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH).
Jadwal dibuat tentu karena sebuah alasan, demi mengatur pergerakan jemaah agar tidak terkonsentrasi pada waktu yang sama sehingga meminimalisir potensi berdesakan.
“Ini sering kita sampaikan ke jemaah, dari mulai selebaran, sosialisasi langsung, dan sebagainya. Tapi jemaah haji kita masih ada saja yang tidak mematuhinya. Ini harus dipertajam lagi sosialisasi. Bila perlu sejak dari Tanah Air,” pungkas dia.
medcom.id, Mekkah: “Tentu tidak segampang yang dipikirkan. Setiap saat bisa berubah. Saya melihat di sini, ketentuan penanganan emergency seperti ini belum ada protap yang jelas. Sehingga, ketika hari ini kita diperlakukan model A, besok mungkin berubah cara mereka memperlakukan kita. Setiap orang tidak memiliki standar pelayanan yang jelas.”
Demikian sekelumit gambaran Ketua Tim Identifikasi Jenazah, Letkol Jaetul Muchlis (47), tentang betapa susahnya mengemban tugas menemukan jenazah anggota jemaah haji Indonesia yang menjadi korban peristiwa Mina seperti dilansir dari situs resmi Kementerian Agama, Kamis (8/10/2015).
Kamis (24/09), hari itu langit cerah dan cenderung panas. Sementara di Tanah Air sedang merayakan Idul Adha, jemaah haji di seluruh dunia, termasuk Indonesia, pagi itu mulai tiba di Mina setelah menginap (mabit) di Muzdalifah.
Semua berjalan lancar sampai sekitar pukul 09.00 waktu Arab Saudi, terjadi peristiwa jamaah haji berdesakan di Jalan Arab Nomor 204, Mina. Ribuan korban jamaah haji meninggal, termasuk lebih dari 100 jamaah haji Indonesia yang saat itu melintas di sana.
Senin (05/10) malam, Ketua Tim Identifikasi Jenazah korban peristiwa Mina, Jaetul Muchlis, menyempatkan diri untuk berbagi kisah dengan Tim Media Center Haji (MCH) Daker Makkah tentang upayanya dalam menembus keterbatasan akses identifikasi jenazah di Majma’ Ath-Thawary bil-Mu’aishim atau tempat pemulasaraan jenazah di Mu’aishim.
Peristiwa “Jalur 204” sebenarnya bukan berada pada jalur jamaah haji Indonesia ketika akan menuju ke atau pulang dari Jamarat (tempat melempar jumrah). Jamaah haji Indonesia yang tinggal di Harratul Lisan Mina, jalur menuju Jamarrat nya melalui terowongan Mu’aishim. Sedang bagi mereka yang tinggal di tenda Mina Jadid, jalurnya melewati Jalan Malik Fahd.
Namun demikian, langkah-langkah strategis tetap dilakukan untuk mengidentifikasi apakah ada korban jemaah haji Indonesia ataukah tidak. Karenanya, tidak lama setelah kejadian, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin selaku Amirul Haj segera membentuk 3 tim yang bergerak secara paralel.
Tim pertama bertugas mendata ulang jamaah yang belum kembali ke rombongan. Tim Kedua, mencari jejak korban di rumah sakit Arab Saudi.
“Kami di Tim Linjam ini mempunyai spesifikasi khusus. Kami ditugasi untuk lebih awal mengetahui berapa sebenarnya korban yang dinyatakan wafat dalam peristiwa ini. Makanya, akses kami tentunya mungkin agak unik, ke kamar-kamar jenazah ataupun ke penampungan pemulasaraan jenazah yang ada di Arab Saudi,” jelas Muchlis mendeskripsikan tim ketiga (Tim Identifkasi Jenazah) di mana dirinya bertugas.
Tim Identifikasi jenazah korban Mina ini beranggotakan 4 orang, yaitu: Letkol Jaetul Muchlis (Kemenag/TNI) selaku ketua, dengan anggota: dr. Taufik Tjahjadi (Kemenkes), Naif Bajri Basri Marjan (Temus), dan Fadhil Ahmad (KJRI).
Menurut Taufik (60), tim identifikasi ini sebelumnya adalah orang-orang yang juga melakukan proses identifikasi pada peristiwa crane. Hanya saja pada saat identifikasi korban crane, masing-masing dari mereka bekerja sendiri-sendiri, antara tim Daker Mekkah dan tim Balai Pengobatan Haji Indonesia (BPHI).
Untuk penanganan peristiwa Mina, tim ini bergabung menjadi satu untuk bekerjasama mengindentifikasi jenazah yang diduga anggota jemaah haji Indonesia.
“Dalam bekerja, kita bersama-sama, ada yang mencatat, ada yang melihat, dan juga ada yang membongkar arsip dokumen,” terang Taufik, Kamis (08/10).
Mendapat mandat khusus untuk “bergelut” dengan jenazah, Tim Identifikasi ini lekas bergerak menyisir sudut-sudut tempat pemulasaraan Mua’ishim.
“Sayang, lebih dari 1×24 jam sejak peristiwa, kita baru dapat akses di Mu’aishim, itupun terbatas hanya untuk melihat, mengamati, mencermati foto-foto yang mereka rilis,” terang Muchlis.
“Foto-foto yang sudah dipublish, bisa kita lihat, kita amati. Itulah modal awal kami untuk mencari jemaah,” tambahnya.
Akses yang sudah diperoleh, meski kecil, dimaksimalkan. Ribuan foto yang didisplay pada dua ruang galeri di Mu’aishim dipelototi satu persatu, mencari petunjuk awal dalam proses identifikasi. Sebenarnya ada tiga hal yang dilakukan pihak Mu’aishim terhadap jenazah korban Mina.
Setiap jenazah yang diturunkan dari kontainer berpendingin itu, difoto, diambil sidik jari, lalu diambil sampel DNA. Pada saat bersamaan, seluruh perangkat yang melekat pada jenazah jamaah disimpan dalam satu file sebagai data pendukung identifikasi jamaah.
Sayang, akses yang diberikan ke tim identifikasi baru sekedar melihat dan mengamati foto untuk mengenali jenazah jamaah haji Indonesia. Dengan ribuan foto yang ada tentu ini bukan pekerjaan mudah, belum lagi konsentrasi mereka harus diganggu oleh sengat bau yang menusuk dari gedung seberang jalan yang menjadi tempat pemulasaraan jenazah.
Perlahan tapi pasti, jenazah mulai diidentifikasi. Selang Dua hari, tim identifikasi berhasil mengidentifikasi tiga jenazah anggota jemaah haji Indonesia.
“Ada yang bisa kita lihat, kita identifikasi, kita verifikasi, yang berangkat dari kebiasaan orang Indonesia, kelaziman orang Indonesia. Baik dari segi berpakaian mungkin, dari raut mukanya mungkin. Juga hal-hal yang mungkin khas dipakai jamaah Indonesia, seperti gelang dan slayer beraneka warna. Ini modal awal kami di tim ini untuk menelusuri keberadaan dari yang diduga sebagai korban dalam peristiwa ini,” terangnya.
Dengan akses yang sangat terbatas saat itu, mampu mengidentifikasi tentunya adalah sebuah prestasi. Tapi sepertinya tidak bagi sebagian orang yang sebenarnya tidak tahu kondisi riil di lapangan, lalu ikut berkomentar, dan menilai bahwa tim ini lambat dalam mengidentifikasi.
Mendobrak Akses
Muchlis berkisah bahwa tim identifikasi tidak mau menyerah. Baginya, akses terhadap foto adalah modal yang harus dioptimalkan untuk menembus akses-akses lainnya. Tim identifikasi sadar bahwa mengandalkan foto saja tentu akan sulit dalam proses identifikasi.
Hal lain yang diperlukan adalah akses terhadap data pendukung terkait jenazah yang diarsip (file) oleh pihak Mu’aishim. Menurut Muchlis, akses itu harus ditembus, telebih tersimpan di tempat pemulasaraan Mu’aishim juga.
“Inilah yang senantiasa kita lakukan siang malam. Dengan pendekatan-pendekatan khusus, kita coba menembus akses. Karena institusi yang ada di sini, baik kepolisiannya, kesehatannya, boleh dikatakan agak sulit kita tembus aksesnya,” kenang Muchlis.
Berbagai upaya dilakukan, termasuk melalui pendekatan kultural. Naif Bajri (33) yang lahir dan besar di Saudi sehingga tahu bahasa dan kultur orang-orang Saudi, berada di depan untuk bernegosiasi.
“Pak Naif ini yang tahu kultur, bahasa, dan habitnya orang Arab sini. Dia tahu hal-hal yang bisa menyentuh dan mempererat silaturahmi sehingga mereka bisa terbuka. Itu kami lakukan,” ujarnya.
“Kalau mungkin lazimnya orang sini harus peluk kiri-kanan, cipika-cipiki, kita lakukan semua itu. Kita ekspose apa yang mereka senangi. Kita perkenalkan Indonesia sehingga ada komunikasi. Kalau ada komunikasi, terjalin harmoni di antara kami dengan mereka. Inilah jalan akses kami masuk ke situ,” tambahnya.
Senada dengan Muchlis, Taufik melihat pentingnya komunikasi awal dalam menjalin hubungan dengan para petugas di Mu’aishim. Karenanya, keberadaan Naif memang cukup signifikan. Selain bisa berbahasa Arab, menurut Taufik, Naif juga tidak mudah menyerah.
Naif (33) mengiyakan apa yang disampaikan ketua timnya, Jaetul Muchlis dan sejawatnya Taufik. Dia mengaku dengan orang Arab itu bisa seperti teman, meski orang Arab sering kaget ketika melihat wajahnya khas Indonesia tapi lebih lancar berbahasa Arab.
“Saya bisa gunakan bahasa Arab sehingga bisa ambil informasi. Saya bilang mau data ini langsung dikasih. Itu karena ada kemampuan bahasa, apalagi saya juga tahu sifat orang Arab,” terangnya.
Naif sadar betul kalau kemampuan bahasa Arabnya bisa dimanfaatkan untuk melakukan pendekatan awal. Langkah selanjutnya adalah membantu pekerjaan orang Arab karena mereka senang kalau dibantu.
“Saya tahu orang Arab, kalau kita mau bantuin, dia suka. Orang Arab di sini senang kalau kita bantu. Misalnya, kita bantu pekerjaan mereka mengarsip dokumen, dia suka. Ya sudah kita bisa sekalian ambil data yang kita mau, tuturnya.
Meski demikian, Naif mengaku kendala tetap saja ada. Kalau ada masalah, dia pun mencoba mencari jalan lain. Kalau bertemu dengan satu petugas yang sulit untuk dimintai tolong, maka dia akan beralih ke petugas lainnya, begitu dan seterusnya.
“Ini enggak bisa jalan, saya cari yang lain yang bisa,” katanya.
Hasilnya, akses terhadap arsip (file) jenazah diperoleh. Berbeda dengan gedung galeri foto, tempat penyimpanan file ini berada pada gedung yang sama dengan tempat pemulasaraan jenazah.
Persisnya pada ruang yang bersebelahan. Terbayang, perjuangan akan semakin berat mengingat jarak yang semakin dekat dengan posisi jenazah yang usianya terus bertambah. Bau yang dirasa pun semakin menyengat.
Tidak masalah bagi Muchlis dan tim, terpenting adalah akses terhadap file bisa didapat. Meski demikian, Muchlis mengaku kalau prosesnya tidak segampang yang dibayangkan. Maklum, di Mu’aishim ada banyak polisi yang ide dan pikirannya tidak sama semua. Tidak jarang kebijakan berubah karena antara satu dan lainnya memang berbeda.
Akibatnya, akses pun tidak selalu mudah untuk diperolehnya. “Setiap saat bisa berubah. Nah, yang saya lihat di sini bahwa ketentuan penanganan emergency yang seperti kejadian ini belum ada protap yang jelas. Atau mungkin kita tidak tahu tentang protap itu,” jelas Muchlis.
“Mungkin satu orang mempersilakan kita mengakses buka file di gudang arsip mereka, tapi satu orang lagi melarangnya. Inilah terjadi friksi-friksi yang kami hadapi. Tapi dengan berbagai upaya bagaimana tim ini bisa mencari titik-titik atau celah sekecil apapun untuk bisa masuk dan mendapatkan akses orang yang ada di sini,” imbunya.
Tidak adanya peraturan yang baku dalam penanganan jenazah di Mu’aishim juga diakui Taufik sebagai salah satu kendala. Taufik mengaku merasakan sendiri bagaimana dirinya terkadang bisa mendapat akses untuk melihat file dan terkadang sama sekali tidak bisa.
Menurutnya, diusir petugas saat akan mengidentifikasi menjadi hal biasa. Karenanya, ketika akses itu tidak diberikan, Taufik dan tim bukannya pulang.
“Kita tidak pulang. Kita sudah tahu bahwa kayak begini kerja mereka. Jadi kita harus sabar. Paling geser aja dulu, nanti sebentar yang lain lagi ajak kita masuk. Walaupun pada akhirnya kita diusir lagi, itu tidak masalah,” tegasnya.
“Jadi memang dibutuhkan kesabaran, karena tidak ada yang pasti. Saya selalu mengatakan bahwa yang pasti di sini itu cuma satu, yaitu ketidakpastian,” tambahnya.
Apapun dan bagaimanapun keadaannya, Muchlis dan tim bersyukur. Sebab, sebatas yang diketahuinya, tim identifikasi Indonesia menjadi satu-satunya atau yang pertama yang berhasil mengakses gudang arsip jenazah di Mu’aishim.
Pencarian dilakukan pada tahapan berikutnya. Bermodalkan hasil identifikasi foto, tim ini kemudian mencocokkannya dengan arsip milik polisi Mu’aishim sesuai dengan nomor register yang tercatat di foto.
“Dari foto yang patut kita duga warga Indonesa dengan karakteristik tertentu, kita cocokkan dengan file yang dimiliki kepolisian. Jika file itu mendukung dugaan jenazah berasal dari Indonesia, seperti ada gelang identitas, atau ada paspor, atau lainnya, baru kita bisa memastikan bahwa itu adalah jenazah jamaah haji Indonesia,” tegas Muchlis.
Jika masih meragukan, lanjut Muchlis, maka tim ini masuk pada tahapan ketiga, yaitu melihat langsung jenazah korban sesuai nomor foto yang diperoleh.
“Kita buka file dengan nomor yang sama dengan foto itu. Dan di tahap ketiga, kita meyakinkan dengan melihat jenazah yang ada dalam peti itu,” kata Muchlis.
Senada dengan Muchlis, Taufik mengatakan bahwa jika identitas jenazah tidak ditemukan dalam arsip padahal sudah yakin itu adalah orang Indonesia, maka tim mencoba untuk mengakses jenazah.
Taufik mengaku pernah melihat ada gelang jamaah yang masih melekat di jenazah dan itu akan sangat membantu. Dari gelang itu, tim berkesimpulan bahwa jenazah tersebut adalah jamaah haji Indonesia.
“Kejadiannya pernah. Pertama-pertama, ternyata ada yang seperti itu. Tidak ada isi file, tapi ternyata ada gelang menempel di tangannya. Itu sudah kita buktikan lagi bahwa ternyata benar orangnya,” ujar Taufik.
Pelan tapi pasti, jenazah demi jenazah berhasil diidentifikasi. Sampai dengan hari ini, Rabu (07/10), 120 jenazah dipastikan orang Indonesia, terdiri dari 115 jenazah jamaah haji dan 5 jenazah yang mukim di Arab Saudi. Proses identifikasi tetap berlanjut karena masih ada 8 jamaah haji Indonesia yang dilaporkan belum kembali.
14 hari masa pencarian, mungkin bukan waktu yang cepat, terutama bagi keluarga jamaah yang menjadi korban Mina. Tapi dengan akses yang terbatas, empat belas hari dapat mengidentifikasi 120 jenazah adalah prestasi yang patut diapresiasi. Sekira akses terhadap arsip dan jenazah bisa diberikan sejak awal, mungkin proses identifikasi akan lebih cepat lagi.
Belajar dari peristiwa
Di setiap kejadian, tentu banyak hikmah dan pelajaran yang bisa dipetik, termasuk dari peristiwa Mina yang Muchlis sendiri tidak mau menyebutnya sebagai musibah.
Menurutnya, banyak pelajaran yang didapatkan. Salah satunya adalah perlunya petunjuk teknis antisipasi kejadian darurat. Meski berharap peristiwa Mina tidak akan terulang, namun menurut Muchlis, tahapan kerja penanganan krisis tetap harus ada.
“Jadi perlu contingency untuk mengantisipasi ini, sudah terstruktur dari awal dengan ketentuan yang jelas,” tuturnya.
Baginya, keberadaan petunjuk teknis penting untuk mempercepat pengambilan tindakan pada saat gawat darurat. Tindakan yang cepat dan tepat sangat dibutuhkan dan keberadaan juknis dibutuhkan agar jelas siapa harus berbuat apa.
Selain itu, perlu penguatan organisasi kloter. Hal ini penting untuk mempermudah mengetahui setiap pergerakan dan keberadaan jamaah haji Indonesia. Setiap petugas kloter, kepala regu, dan kepala rombongan harus tahu betul keberadaan Jemaah yang ada di bawah kendalinya.
“Organisasi kloter ke depan harus lebih dipotimalkan sehingga mudah untuk mendapat kepastian jumlah jemaah yang belum kembali ke kloternya ketika ada peristiwa semacam ini,” kata Muchlis.
Hal lainnya terkait penggunaan gelang identitas yang tidak mudah lepas. Di sela-sela mengidentifikasi jenazah, Muchlis mengaku mendapat masukan menarik dari penanggung jawab pemakaman Mu’aishim terkait gelang identitas jamaah dari salah satu negara pengirim jamaah haji yang tidak mudah terlepas.
“Dari informasi yang saya peroleh, gelang identitas itu tidak bisa lepas dari tangan jamaah apapun keadaannya, kecuali putus tangannya atau digunting gelangnya. Ini yang membantu memudahkan identifikasi mereka,” tutur Muchlis.
Sebab, lanjut Muchlis, informasi yang ada di gelang identitas sudah lengkap, ada nama, nomor kloter, dan nomor paspor sehingga mudah untuk mengidentifikasi. “Tinggal bagaimana agar bisa didesain sehingga tidak mudah lepas,” jelasnya.
Keberadaan gelang yang tidak mudah dilepas penting agar ketika ada peristiwa, misalnya anggota jemaah pingsan lalu dibawa ambulans Arab Saudi dan dirawat di RS Arab Saudi, gelang itu tetap melekat.
Siapapun yang tidak mengetahui fungsi gelang itu, tidak dapat dengan mudah melepasnya dari jemaah. Muchlis mengaku selama ini banyak anggota jemaah dirawat di ICU rumah sakit, tanpa identitas yang diketahui.
“Sehingga dari awal masuk pun di pendaftaran majhul (tidak diketahui identitasnya) cuma dikatakan itu Indonesia. Ini juga jadi ada kerja tambahan kalau tidak lengkap,” jelasnya.
Hal sama disampaikan Taufik. Menurut pria kelahiran Makassar 1955 ini, ke depan perlu dipikirkan agar gelang jemaah haji tidak mudah terlepas. Selain itu, nama jamaah haji di gelang juga perlu ditulis dalam huruf Arab karena penulisan identitas jenazah di sini menggunakan huruf Arab yang terkadang menjadi susah untuk membacanya.
“Nama jemaah sebaiknya ada tulisan arabnya. Jadi ketika mereka melihat gelang itu, tinggal disalin saja sesuai dengan yang ada dalam tulisan,” katanya.
Terakhir, Muchlis berharap ke depan jemaah haji Indonesia lebih disiplin dalam mematuhi jadwal pelaksanaan lontar jumrah sebagaimana ditetapkan oleh Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH).
Jadwal dibuat tentu karena sebuah alasan, demi mengatur pergerakan jemaah agar tidak terkonsentrasi pada waktu yang sama sehingga meminimalisir potensi berdesakan.
“Ini sering kita sampaikan ke jemaah, dari mulai selebaran, sosialisasi langsung, dan sebagainya. Tapi jemaah haji kita masih ada saja yang tidak mematuhinya. Ini harus dipertajam lagi sosialisasi. Bila perlu sejak dari Tanah Air,” pungkas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(MEL)