Komisioner Bawaslu Nelson Simanjuntak menunjukkan Tabloid Obor Rakyat yang  diduga melanggar aturan kampanye pilpres - ANT/Yudhi Mahatma
Komisioner Bawaslu Nelson Simanjuntak menunjukkan Tabloid Obor Rakyat yang diduga melanggar aturan kampanye pilpres - ANT/Yudhi Mahatma

SPS: Ada Tujuan Politis di Balik Terbitnya Obor Rakyat

17 Juni 2014 20:43
medcom.id, Jakarta: Direktur Eksekutif Serikat Perusahaan Pers (SPS) Pusat, Asmono Wikan mengatakan Tabloid Obor Rakyat diterbitkan demi memenuhi tujuan politis penyandang dana atau investor.
 
"Kalkulasi penerbitan Tabloid Obor Rakyat jelas bukan kalkulasi bisnis melainkan kalkulasi politik pihak penyandang dana atau investor," kata Asmono kepada wartawan di Jakarta, Selasa (17/6/2014).
 
Ia menegaskan kalau memang penyandang dana memiliki hitung-hitungan bisnis, tentu bukan seperti itu caranya. Pasalnya, mendirikan perusahaan pers dan menerbitkan produk seperti tabloid tidak mudah dan murah.

"Untuk biaya operasional dan nonoperasional tabloid 16 halaman sebanyak 100 ribu eksemplar itu kira-kira mengeluarkan biaya sekitar Rp100 juta. Belum ongkos lain-lain, seperti ongkos penulis dan distribusi," ujar Asmono.
 
Tidak hanya itu, lanjutnya, perusahaan yang menerbitkan media massa juga harus memiliki badan hukum yang sah seperti yang diharuskan dalam UU Pers. Pengelola, penanggungjawab dan alamat media massa juga tercantum dalam media, juga harus jelas.
 
"Tabloid Obor Rakyat tidak relevan dengan logika industri, pasar, UU Pers dan kode etik jurnalistik. Terus terang ini melecehkan publik karena mengeluarkan informasi sampah dan satu arah. Perimbangan berita, akurasi dan seluruh isinya berisikan fitnah," kritiknya.
 
Asmono mengaku tidak yakin bila penyandang dana Tabloid Obor Rakyat adalah Setiyardi Budiono. Ia juga mempertanyakan siapa investor media tersebut.
 
"Jangan-jangan dia hanya bemper dari agenda besar. Satu hingga edisi ke lima mungkin mungkin masih kuat membiayainya. Namun, seberapa kuat Obor Rakyat  didanai oleh personal? Tabloid ini sangat absurd karena berpotensi merusak iklim kemerdekaan pers," tandasnya. (*)
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(NAV)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan